Mohon tunggu...
Kosasih Ali Abu Bakar
Kosasih Ali Abu Bakar Mohon Tunggu... Dosen - Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Baca, Tulis, Travelling, Nongkrong, Thinking

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengira Dinamika Pemilu 2024 bagi Kaum Milenial

21 Januari 2024   08:52 Diperbarui: 21 Januari 2024   08:53 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2024 perpolitikan semakin panas. Semua orang bicara tentang etika, hukum, dan dinasti atau kelompok. Semua tiba-tiba ingin menunjukkan siapa yang lebih berhak memimpin bangsa ini, sampai-sampai merasa paling berjasa buat negara ini.

Bicara paling berjasa bagi negara ini, pastinya hanya satu, para founding father negara kita, Bung Karno dan Bung Hatta, tanpa adanya proklamasi kemerdekaan bangsa ini oleh mereka, maka tidak ada Indonesia. Walaupun semua tahu, perjuangan bangsa ini tidak hanya oleh mereka berdua. Tapi waktu membuktikan merekalah yang didaulat membacakan naskah proklamasi kemerdekaan sebagai perwakilan seluruh pejuang kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.

Walau setelah proklamasi kemerdekaan, perjuangan bangsa ini tuk diakui kemerdekaannya masih terus dilakukan hingga 1949/1950. Ketika founding father kita sekali lagi mengembalikan bentuk negara ini menjadi NKRI, bukan bentuk lainnya.

Demokrasi di Indonesia juga berkembang, ketika nusantara masih bernama Hindia Belanda, Indonesia adalah jajahan dari Belanda. Indonesia merdeka, bentuk negara terus mencari bentuk dari Negara Indonesia Serikat hingga akhirnya menjadi NKRI. Sistem pemerintahan pun berkembang dari demokrasi perwakilan, pemilihan langsung anggota legislatif yang kemudian memilih Presiden, kemudian Presiden memilih Gubernur dan Wali Kota. Kemudian pemilihan langsung kedua-duanya, baik legislatif maupun eksekutif sejak reformasi 1998.

Etika Demokrasi

Etika dalam demokrasi juga berkembang, dalam perjuangan dari penjajah maka isu yang diangkat adalah Indonesia Merdeka dan Devide et Impera. Etika yang diangkat adalah kesetaraan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda, serta hak bangsa Indonesia untuk bisa berdiri sendiri. 

Setelah Merdeka, etika berkuasa ditentukan oleh sekelompok elit saja, founding father kita yang telah mendapatkan mandat dari segenap kelompok perjuangan dari berbagai identitas. 

Kelebihan dari founding father kita tidak pernah terpikir pun kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, semuanya lebur untuk tujuan yang satu, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan meraih dukungan. Tuhan telah menciptakan orang-orang hebat untuk Indonesia demi tujuan itu. Bayangkan, banyak dari mereka masih muda, pendidikan awalnya buat mereka diberikan  hanya sekedarnya, tapi mereka melampaui zamannya, pandai berbagai macam bahasa, dan ahli berstrategi dengan mengedepankan kemanusiaan.

Kekuasaan membawa pengaruh dan merubah seseorang. Pasca Muhammad meninggal, sejarah memperlihatkan bagaimana kemudian terjadi perebutan kekuasaan antara berbagai golongan atau fraksi, sehingga lahirlah Muawiyah, Syiah, dan Khawarij. Pasca Indonesia merdeka, terjadi juga perebutan kekuasaan antar berbagai kelompok atau fraksi, Indonesia kemudian diperebutkan oleh berbagai ideologi dan suku bangsa. Sehingga lahirlah gerakan-gerakan pemberontakan separatis hingga kudeta. Perputaran roda kehidupan berjalan, ketika tujuan holistik tercapai maka yang akan timbul adalah perebutan pengaruh atau kekuasaan.

Oleh karena itu, lahirlah sistem pemindahan kekuasaan, upaya perpindahan kekuasaan secara damai dan legitimate. Baik secara kerajaan, demokrasi, maupun bentuk lainnya. Selama proses itu berlangsung damai dan diakui oleh masyarakatnya, maka tidak ada yang salah disitu. 

Walaupun masuknya pengaruh-pengaruh zaman cukup berdampak, semuanya ketika kesejahteraan sudah mulai terganggu. Kerajaan mendapatkan ancaman kekuasaan ketika otoriterisasi mulai kejam dan mulai mementingkan kepentingan keluarganya saja. Demokrasi akan terancam ketika kelompok mayoritas tidak memperhatikan kelompok minoritas selain kaum elite yang semakin menguat. Sosialis akan semakin terancam ketika elit pemerintahnya semakin otoriter dan tidak lagi mendengarkan rakyatnya.

Untuk sistem demokrasi yang berbasiskan popularitas, maka "siapa" yang "telah" melakukan "apa" akan menjadi "bahan" kampanye. Ini sebenarnya, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh founding father dan pejuang kemerdekaan lainnya, mereka yang berpikir "apa" yang diberikan demi bangsa "tanpa" harus mendapatkan "apa-apa".

Masa perjuangan kemerdekaan memang berbeda dengan masa mengisi kemerdekaan atau damai. Masa perdamaian dipenuhi dengan masa pemenuhan materi, masa pemenuhan kesejahteraan, masa gengsi dan martabat pribadi/kelompok/golongan menjadi utama, baik secara materi maupun non materi.

Fenomena Menarik 2024

Pada 2024 ini ada beberapa fenomena menarik. Fenomena Muhaimin, Mahfudz MD, dan Gibran, dalam diskusi yang berkembang diawal, elektabilitas  capres dan cawapres amat diperhitungkan, tapi dalam kenyataannya tidak. Ketiganya sama sekali tidak mempunyai elektabilitas yang tinggi. Hanya saja, pemilihannya lebih berdasarkan pengaruh NU yang melekat pada Muhaimin, pengaruh figur Jokowi yang melekat pada Gibran, dan pengaruh orang berani dan bersih dari korupsi yang melekat pada Mahfudz. Bukan elektabilitas. 

Fenomena PSI juga menarik, partai ini dengan jadinya Kaesang menjadi Ketum, telah mendongkrak suara dari partai ini, diakui atau tidak. Pengaruh Jokowi untuk partai diarahkan ke PSI dan untuk penggantinya diarahkan ke Gibran. Fenomena lainnya adalah bergabungnya Muhaimin dengan Anies Baswedan juga memberikan perspektif tersendiri akan begitu cairnya perpolitikan di Indonesia saat ini.

Ketika Prabowo memilih Gibran sebagai cawapresnya, bahkan setelah adanya narasi Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Keluarga karena ada kesan semua kekuatan atau skenario menggolkan Gibran agar bisa menjadi Cawapres. Tetap saja elektabilitas Prabowo-Gibran menguat, ada kecenderungan naik. Tentu saja ini menjadi pemikiran bagi banyak Ahli. 

Padahal jawabannya adalah sederhana. Jika memang pemilih saat ini adalah generasi muda, generasi z dan milenial. Maka bisa jadi pendekatan dari Prabowo dan Gibran lebih disukai oleh pemilih terbanyak itu, generasi yang suka didiskreditkan sebagai generasi strawberry ini. Generasi yang tidak mengalami gejolak 66, 98, bahkan pra kemerdekaan, bahkan sejarah tentang masa tersebut saja, bisa jadi belum paham sekali. Tidak tahu mereka mengerti apa itu marhaen, apa itu Pancasila, apa itu Pan Islam, komunisme dan Marxisme, sosialis dan kapitalisme, dst.

Redefinisi Etika?

Etika adalah konsep nilai pada diri seseorang atau kelompok. Etika ini berkembang dan berubah sesuai keadaan zamannya. Ketika zaman kerajaan, seorang anak Raja menjadi Raja, itu tidak melanggar etika. Karena nilai yang paling tinggi adalah kesejahteraan, selama sejahtera sebagian besar masyarakat tidak memperdulikannya, bahkan menghormati orang yang "mengurusi" mereka.

Etika berpolitik "loyalitas", dahulu menjadi acuan yang paling penting, kini semakin memudar. Ketika ideologi adaptif dan pragmatisme untuk mencapai tujuan utama lebih dikedepankan dibandingkan ideologi partai atau agama. Sehingga seseorang atau kelompok kemudian berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Sebenarnya ini terjadi di daerah-daerah, ketika ketokohan daerah lebih dilihat, apapun partai tokoh di sebuah daerah, maka ia akan mengikutinya.

Etika "Balas Budi" yang juga dahulu menjadi penting, juga semakin memudar. Ketika semua orang dihadapi kenyataan bahwa kekuatan suara rakyat adalah yang menentukan, belum lagi pemisahan suara legislatif berdasarkan profil seseorang dan juga Presiden berdasarkan profil seseorang juga. Strategi pilpres dan pileg kemudian menjadi berbeda. 

Ketika ada redefinisi etika di kalangan milineal ini, suara mayoritas pemilu 2024. Ketika kalangan non milineal menganggap ada penurunan etika dari kaum milineal. Sehingga keputusan pragmatismenya adalah bagaimana mendapatkan suara kaum milineal dengan "memahami" mereka. Permasalahannya, pemahaman etika itu butuh waktu, sehingga tidak bisa berubah dengan cepat atau memaksakan. Kaum banyak boomer ketika bicara dikalangan mereka sendiri beranggapan itu ada masalah etika, tapi kalangan milineal sebaliknya.

Hasil survei menunjukkan suara Prabowo-Gibran bertambah walaupun ada isu etika di MK. Banyak yang mendukung dan tidak. Mendukung ada masalah etika karena pamannya "Gibran" adalah Ketua MK pada waktu itu, walau yang tidak mendukungnya mempunyai alasan jika penuntutnya tidak langsung Gibran dan dampaknya kepada semua orang. Ketika isu anak Presiden seharusnya tidak ikut, maka yang menolaknya kemudian melihat kedirinya masing-masing, khususnya kaum milineal menengah ke atas yang berasal dari orang tua yang mapan, merasa mereka seolah-olah dilarang berkontribusi di dalam aksi nyata.

Etika kaum milineal itu lebih pragmatis tapi juga melankolis sekaligus rasional. Sehingga mereka cenderung bukan komunitas yang dituntut loyalitas penuh, mereka punya pikiran sendiri dan agak kesulitan dalam melakukan pemaksaan kepada mereka. Sehingga ingin tahu mereka, tidak bisa hanya merefleksikan kepada diri kita sendiri, tapi membawa diri kita kepada diri mereka juga tidak mudah karena perbedaan nilai dan zaman.

Fenomena Dinasti

Mau tidak mau, Presiden Jokowi adalah tokoh fenomenal. Secara common sense, ia adalah korban dari Ibu Megawati, sebutan Petugas Partai, cara memperlakukan Presiden di depan umum, dst. Dengan alasan itu, alih2 ke PDI Perjuangan, ia memperjuangkan anaknya ke Cawapres  (berhasil jadi Walkot) dan anak bungsunya menjadi Ketum PSI dengan segala kontroversialnya. Seolah-olah ingin melawan ketidakadilan. Ini cukup menarik perhatian pemilih potensial.

Sehingga ketika isu "ordal" atau ""dinasti/keluarga" menjadi tidak relevan digoreng. Seorang Jokowi, tidak punya partai, pada masanya anaknya Wali Kota Solo, Wali Kota Medan, dan Ketum PSI, bahkan menjadi Cawapres bersama Prabowo dengan potensi kemenangan yang besar sekali. 

Secara politik, semua partai di Indonesia banyak yang dinasti, karena modal partai tersebut hanya dari segelintir orang seperti Nasdem dengan Prananda Surya Paloh, Perindo juga sama ada Angela Tanoesoedibyo, PDIP ada Puan Maharani dan Prananda Prabowo, Demokrat dengan AHY-nya, ditambah Kaesang Jokowi dengan PSI-nya. Apa yang terjadi di PDIP saat ini dan Demokrat sebelumnya dengan isu dinasti akan terjadi juga di partai-partai tersebut ke depannya. 

Bahkan Anies Baswedan sendiri masuk ke dalam kekuatan Surya Paloh dengan dinastinya. Kecuali Anies Baswedan kemudian mendirikan partai sendiri dengan segala aksi perubahannya, tapi selama di bawah Nasdem maka ada dinasti Surya Paloh. Hal yang sama dengan Ganjar, seperti yang dialami oleh Jokowi, ia kemudian dianggap petugas partai yang dikuasai oleh dinasti Megawati. Berbeda dengan Prabowo, sampai saat ini belum terlihat dinastinya, kita akan melihat ke depan. Semua calon Presiden dan Wapres kita tidak terlepas dari pengaruh dinasti. 

Potensi

Pilpres 2024 ini, seharusnya lebih kepada program, tidak kepada personal. Karena ketika membahas isu personal hanya akan menampar mukanya sendiri. Dalam bayangan saya, kaum milenial hanya akan menertawakannya dan akan lebih memihak kepada yang paling ditekan atau dipojokkan.

Isu program perubahan dan tidak perubahan kemudian terbagi, Prabowo sebagai status quo dan Anies sebagai Perubahan, maka Ganjar yang status quo dan perubahan. Ketika Kaesang menanyakan kemana arah Ganjar itu menjadi perhatian yang penting sebenarnya.

Namun, masalah personal selalu menjadi dinamika politik di Indonesia. Mulai dari Ahok, isu polarisasi Jokowi versus Prabowo tahun 2019, hingga saat ini masalah etika dan dinasti, tahun 2024. Ketika Tim sukses Anies dan Uno yang begitu piawai memainkan isu menjatuhkan Ahok dan Tim Sukses Jokowi-Maruf dengan piawai menangkal isu dari Prabowo-Uno.

Walau sebenarnya, isu personal itu untuk milineal tidak terlalu efektif, karena karakter pragmatisme, melankolis, dan rasional mereka. Sehingga mereka cenderung dengan karakter mereka yang kemudian memasukkan ke diri mereka bila isu dan janji itu. Keuntungan buat mereka dan apakah itu rasional atau tidak. 

Mereka kurang terpengaruh dengan sejarah masa lalu dan masalah dinasti, mereka lebih suka melihat ke depan dan tidak suka didikte jika pemikiran mereka disamakan dengan pemikiran pendahulunya. Selama kita berpikir kaum milineal sama dengan kita pemikirannya, maka dipastikan strategi yang demikian akan sulit menang. Mudahnya, bagi kaum milineal mereka akan lebih memilih datang ke konsernya K-Pop atau Slank/Rhoma Irama? Ntahlah.

Selamat memilih dan segera masuk ke minggu tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun