Kasus perundungan akhir-akhir ini telah menarik perhatian banyak masyarakat. Viralnya di media sosial ketika seorang anak menjadi korban kekerasan fisik dari teman sebayanya atau melompatnya seorang anak karena tidak kuat dirundung.Â
Semua itu seolah-olah mempertanyakan kepada diri kita sendiri, mengapa hal itu bisa terjadi kepada anak-anak kita? Apa yang sudah kita lakukan selama ini untuk mencegahnya?
Hal yang membuat kita terenyuh, ketika data asesmen nasional dikatakan jika 1 dari 3 anak Indonesia berpotensi dirundung.Â
Dasar inilah kemudian Kemendikbudristek bersama dengan UNESCO telah hadir dengan program Anti-Roots, telah melibatkan ribuan pendidik dan tenaga kependidikan untuk menciptakan agen-agen perubahan yang berasal dari peserta didik.Â
Upaya menjadikan peserta didik yang selama ini menonton atau menjadi bystander kemudian berani membela korban perundungan. Atau menjadikan korban perundungan berani melawan bahkan melapor dengan menyimpan bukti-bukti.Â
Salah terobosan luar biasa adalah Permendikbudristek yang baru dilaunching pada tanggal 8 Agustus 2023, sebuah momen sejarah paling penting bagi dunia pendidikan.Â
Kekuatan hukum untuk menciptakan sekolah aman dari kekerasan baru ada, inilah momentum semua pihak mengimplementasikan regulasi ini.Â
Salah satu amanah dari aturan tersebut adalah pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan dan Satuan Tugas (Satgas) di tingkat pemerintahan provinsi/kabupaten/kota.Â
Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat juga diberikan ruang, ketika di TPPK ada peran orang tua sebagai anggotanya dan di Satgas ada peran lembaga swadaya masyarakat atau orsosmas.
Semua paham, jika penguatan karakter itu membutuhkan waktu, butuh pembiasaan, internalisasi dalam diri, hingga kemudian menjadi karakter bahkan menjadi agen perubahan. Tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.Â