Mohon tunggu...
Kosasih Ali Abu Bakar
Kosasih Ali Abu Bakar Mohon Tunggu... Dosen - Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Baca, Tulis, Travelling, Nongkrong, Thinking

Selanjutnya

Tutup

Games Pilihan

E-Sport Menjawab Weakness Generasi Z

1 September 2022   17:40 Diperbarui: 1 September 2022   18:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Games. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia sudah mulai memasuki bonus demografi, puncaknya sendiri nanti pada tahun 2035. Peta demografi penduduk Indonesia kemudian dibagi menjadi beberapa generasi, yaitu generasi baby boomers, generasi X, generasi milineal, generasi Z, dan generasi alpha. Istilah ini berdasarkan tahun kelahirannya.

Pada dunia pendidikan, usia sekolah antara umur 7 -- 23 tahun, ini mendekati kepada karakteristik dari generasi Z. Generasi Z sering kali disebut dengan generasi internet atau generasi-i. generasi inilah yang saat ini hampir mendominasi semua jenjang pendidikan di Indonesia. 

Data BPS tahun 2021 menginformasikan jika generasi Z yang berumur 8 -- 23 tahun berjumlah 27,94% atau 74,9 juta jiwa, hampir semua sasaran pendidikan kita saat ini ada di generasi Z.

Generasi Z sendiri mempunyai beberapa karakteristik, mereka sudah terbiasa hidup dengan teknologi internet dan sering berkomunikasi di dunia maya. Secara karakter, mereka cenderung lebih toleran, mandiri bahkan sering kali mengumbar privasinya. 

Generasi ini juga cenderung lebih ambisius dan berpikir bahwa permasalahan finansial itu penting. Dengan karakter seperti ini, motivasi dari generasi Z biasanya tinggi, multitasking, dan ingin terus berkembang.

Namun, ada beberapa kelemahan, antara lain mereka cenderung lebih individualistis, kurang focus kepada sesuatu hal, kurang menghargai proses atau lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya instan, emosi yang cenderung labil, amat memprioritaskan uang, dan amat bergantung teknologi sehingga akan kesulitan ketika dihadapkan kepada hal-hal yang konvensional.

Sesuai dengan judul di atas, bagaimana E-Sport bisa menjawab kelemahan-kelemahan pada generasi Z? Generasi yang mendominasi populasi siswa kita tersebut. Sebelum menjawabnya, tentunya kita semua harus terlebih dahulu mengetahui tentang E-Sport itu sendiri. E-Sport adalah sebuah bidang olah raga sebagai bidang kompetitif yang berbasis elektronik. E-Sport sendiri bisa dilakukan dalam sebuah tim.

Kemudian, perlu juga dipahami bagaimana E-Sport itu bisa menjadi sebuah games. Pertama, E-Sport itu membutuhkan skill motoric yang luar biasa. Dalam satu menit para atlet E-Sport bisa melakukan Gerakan di keyboard dan mouse hingga 400 gerakan setiap menitnya. 

Gerakan asimetris ketika kedua tangan memiliki Gerakan yang berbeda di saat yang bersamaan, ini membutuhkan kerja keras otak juga. Kedua, mereka yang bermain E-Sport secara tim memiliki denyut nadi setara atlet marathon, 160-180 denyutan. 

Ketiga, perlu ada treatmen khusus terkait dengan menjaga bentuk tubuh. Hal ini tidak terlepas dari bermain game berakibat kepada bentuk tubuh yang kurang baik. Keempat, perlu ada control gizi dan nutrisi yang baik, ini tidak terlepas dari mereka harus berjaga di depan layer selama berjam-jam untuk Latihan dan bermain. Dan kelima, atlet E-Sport memiliki batasan umur yang harus dipenuhi.

Katadata menginformasikan jika dari Laporan We Are Social, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemain video game terbanyak ke tiga di dunia, terdapat 94,5% pengguna internet berusia 16-64 tahun.  Kajian terbaru dari VERO tahun 2021 menemukan jumlah pemain E-Sport Indonesia sebanyak 52 juta orang. 

Ahli Adiksi Perilaku, dr. Kristian Siste melakukan survey pada bulan Mei -- Juli 2020 menemukan jika 19,3% remaja telah kecanduan internet, sebagian besar waktu yang digunakan untuk bermain game online dan media sosial. Tentunya isu permasalahan ini perlu mendapat perlakuan yang tepat. Terlebih lagi bila menyasar kepada generasi Z, generasi penerus di masa datang.

Platform Mabar.Com.Co yang telah ada sejak bulan April 2022 hingga saat ini sudah digunakan oleh kurang lebih 10 ribu murid, 1000 tim, 800 sekolah pada 16 provinsi di seluruh Indoneisa. Animo masyarakat, khususnya siswa amat besar.

Mabar bekerjasama dengan Tim Laboratorium Cognition, Affect, and Well-Being (CAW Lab) Fakultas Universitas Indonesia telah melakukan sebuah riset dengan membandingkan 3 (tiga) grup pelajar, yaitu pelajar competitive gamers, casual gamers, dan non gamers untuk mengukur kemampuan kognitif dan psikologisnya. 

Competitive Gamers adalah mereka yang bermain games secara kompetitif sedangkan casual gamers bermain games sekenanya saja. 

Ada perbedaan yang cukup signifikan antara competitive gamers dengan casual gamers. Hasil penelitian yang dilakukan oleh CAW Lab tersebut memperlihatkan jika competitive gamers lebih unggul pada aspek control respons sehingga membuatnya lebih focus dalam mengerjakan sesuatu, mempunyai akurasi yang lebih tinggi, kemampuan regulasi lebih baik, dan kepribadian yang tidak impulsive dan tidak rentan stress. 

Penelitian ini juga mengemukakan jika keunggulan cognitive gamers untuk control respons yang baik tersebut akan meningkatkan grit (daya juang) dalam sesuatu hal dan kemampuan mengontrol emosi yang baik.

MABAR juga memaparkan hasil risetnya terdapat dalam E-Sport yang dikelola dengan baik terdapat pembangunan karakter-karakter positif sebagai pondasi dalam pembentukan profil Pelajar Pancasila. Kemampuan pengendalian diri bisa dikatakan sebagai pondasi untuk mengembangkan akhlak mulia sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 

Grit atau daya juang yang terbentuk dari E-Sport akan menumbuhkan sikap mandiri, dari melatih kesadaran akan diri, minat, dan situasi yang dihadapi, kemudian mampu meregulasi diri untuk bisa berusaha keras mencapai tujuan. 

Tidak hanya itu, kemampuan merespon dengan akurasi yang tinggi, focus, dan tidak impulsif dapat menumbuhkan sikap bernalar kiritis, E-Sport menuntut siswa untuk mempelajari dan memproses informasi, serta melakukan penalaran dan merefleksikan pemikiran. 

E-Sport juga yang membutuhkan regulasi emosi yang baik sehingga dapat mendukung pelajar dalam komunikasi interkulutral dan berinteraksi dengan sesame, dimensi berkebinekaan global bisa terpenuhi. 

Tidak kalah penting terkait dengan dimensi gotong-royong, E-Sport membutuhkan kerjasama tim dan kolaborasi, meningkatkan kepedulian dan berbagi dengan sesama ketika mencapai sebuah tujuan. Kemampuan regulasi emosi dan control respon yang terlatih dengan baik diharapkan dapat menumbuhkan sikap kreatif sehingga menghasilkan gagasan, karya dan Tindakan yang orisinil.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, bisa disimpulkan jika E-Sport bisa dijadikan sebagai bagian pembelajaran dan penumbuhan karakter yang baik bagi siswa. Kuncinya adalah upaya melakukan perubahan dari casual gamers menjadi competitive gamers, E-Sport akan menjadi sebuah wadah dalam meningkatkan kemampuan diri, kolaborasi, dan eksistensi diri.

Kelemahan-kelemahan dari karakter generasi Z bisa diperbaiki melalui E-Sport yang dikelola dengan baik berdasarkan uraian di atas. Sebagai contoh, kecenderungan sifat individualis akan terkikis dengan kerjasama tim yang ada di E-Sport. 

Tidak hanya itu, kemampuan meregulasi diri dengan kemampuan mengontrol emosi akan mengikis kecendrungan instanly dan emosi yang labih karena lebih menghargai proses dalam melakukan sesuatu serta kepribadian yang implulsif. Karakter kurang fokus dalam sesuatu hal juga akan bisa dihilangkan dengan akurasi yang dituntut dalam E-Sport.

Oleh karena itu, E-Sport yang sudah menjadi bagian dari salah satu cabang olah raga oleh Kemenpora bisa dijadikan sebagai usulan kegiatan ekstra kokurikuler yang dilakukan oleh sekolah, seperti halnya cabang olah raga lainnya seperti basket, bola volley, dst. 

Namun, hal itu membutuhkan sebuah pedoman yang perlu dibuat dengan baik dan juga lomba-lomba sebagai ajang untuk menjadikan E-Sport tersebut menarik sehingga diikuti oleh sekolah-sekolah.

Teknologi itu pedang bermata dua, kemampuan kita dalam memanfaatkan teknologi adalah hal terbaik yang bisa dilakukan.  Hal yang sama dengan E-Sport, sejalan dengan perkembangan teknologi yang sudah masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita. Dari pada kita melarang anak kita bermain games atau anak kita bermain games tanpa pendampingan, maka hal yang terbaik adalah memberikan perlakuan yang tepat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun