Dari balik kokohnya tiang-tiang hotel prodeo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto (Setnov), si "papa" yang terluka akibat "persinggungannya" dengan tiang listrik, mengirimkan apa yang disebut Kompas sebagai "Surat Sakti dari Balik Jeruji Besi..." (http://nasional.kompas.com/read/2017/11/22/11331021/surat-sakti-dari-balik-jeruji-besi)
Dalam surat tersebut, Setnov meminta kepada DPR RI dan Partai Golkar, agar kedua institusi politik itu tidak menonaktifkannya dari jabatannya, entah sebagai pemimpin legislatif dan pemimpin partai berlambang pohon beringin itu, sebelum ada putusan pengadilan yang membuktikan kesalahannya di hadapan hukum.Â
Dalam surat sakti ini pertama-tama terlihat keyakinan teguh Setnov yang membantah dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi E-KTP. Sebagai sebuah keyakinan pribadi, pernyataan Setnov tetap kita hargai. Hal ini searah dengan prinsip hukum tentang asas praduga tak bersalah.
Dalam perjalanan kasus Setnov, kita dapat melihat dengan jelas dua gejala hukum. Pertama, asas hukum praduga tak bersalah dipegang teguh oleh KPK dan institusi peradilan Indonesia. Kedua lembaga tersebut menjunjung tinggi hukum peradilan Indonesia denan memberikan kesempatan kepada Setnov, melalui pengacaranya, untuk membela diri di hadapan persidangan. Kedua, ternyata kesempatan ini menjadi waktu akal-akalan bagi Setnov untuk meloloskan diri dari jeratan hukum, sampai akhirnya termakan permainannya sendiri menjadi pasien inap tahap kedua di rumah sakit.
Hal kedua yang dapat dibaca dari surat sakti tersebut adalah kentalnya interese politik pribadi Setnov dalam mempertahankan kekuasaannya di DPR dan Partai Golkar. Di satu pihak, tampaknya Setnov menggunakan kedua lembaga ini sebagai "instrument politik" yang signifikan untuk melanggengkan ambisi kekuasaan pribadinya. Di lain pihak, tampaknya kedua institusi ini pun seakan bersedia menjadi instrument politik kekuasaan pribadi Setnov. Dalam konteks ini kita bisa memahami mengapa surat Setnov dari balik jeruji hotel prodeo KPK dianggap sebagai "sakti".
Secara politis, surat Setnov dari balik jeruji hotel prodeo KP dapat disebut sakti karena sebagai seorang pimpinan, Setnov mampu mengkooptasi baik DPR RI maupun Partai Golkar dengan pengaruh pribadinya agar ia tidak terjungkil dari tampuk kekuasaannya. Bukan hanya itu, surat itu juga sakti karena, patut dapat diduga, mengandung pesan aliran dana yang besar kepada pihak-pihak yang mendukungnya. Hal ini bisa terjadi karena, dalam blantika politik praktis, politik dukung mendukung tidak pernah absen dari kucuran dana sebagai salah satu bentuk konsensi politik.
Kita dapat melihat secara implisit dalam kasus ini bahwa Setnov dan para pendukungnya mengajarkan kepada publik paradigm politik yang sangat memalukan.Â
Paradigm memalukan dalam surat sakti itu adalah bahwa penahanan Setnov tidak dapat dianggap sebagai sebuah fakta yang mengharuskan agar Setnov dijungkirkan dari tampuk kekuasannya, apapun kesalahan yang diduga dilakukan oleh yang bersangkutan. Penahanan itu sendiri bukan indikasi sebuah kejahatan. Kejahatan baru disebut kejahatan apabila sungguh-sunguh tertangkap tangan melakukan kejahatan.
Sungguh memalukan dan berbahaya bagi budaya politik Indonesia apabila paradigm ini hidup dalam diri para politisi tanah air. Sebab dalam paradigma di atas terlihat kekosongan sensitivitas yang signifikan, atau adanya the loss of political sensitivity terhadap falsifikasi hukum dan politik yang diduga dilakukan oleh seorang Setnov.
Hilangnya sensitivitas dan cita rasa politik ini menggambarkan rendahnya mutu sebagian politisi tanah air. Mereka lebih memilih mempertahankan status quo dan interese politik kekuasaan daripada memajukan politik yang berbudaya dan bermatabat, sebuah politik tanah air yang lebih mengedepankan nilai-nilai demokrasi modern dalam bingkai etika dan moral. Alih-alih mengedepankan asas hukum ternyata nuansa politik kekuasaan lebih aromatik tercium oleh publik yang semakin kritis.
Dengan latar belakang paradigmatis di atas, surat si "papa" lebih tepat disebut sebagai sebuah SURAT SAKIT, karena secara gamblang mendevaluasi dan mendekonstruksi nilai-nilai etika politik egaliter.Â
Surat itu sebuah surat sakit karena secara kasat mata mempertontonkan absensi rasa malu dan hilangnya nurani politik yang jernih dari seorang yang sudah lama mengenyam politik praktis.Â
Surat itu sakit karena ternyata menunjukkan bahwa selama masa berpolitik praktis yang panjang, Setnov mempelajari dan mempraktekkan sebuah politik kekuasaan sempit walaupun harus memanggul atribut sebagai tahanan.
Kalau kita membiarkan diri dipimpin oleh seorang politisi yang dipenjara karena masalah hukum yang kuat dugaan dilakukannya, akan jadi apakah budaya politik kita selanjutnya?
Manila, 21 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H