PSBB di DKI Jakarta akan kembali dilaksanakan mulai tanggal 14 September 2020. Sesaat setelah gubernur Anies Baswedan mengumumkan keputusan tersebut, beragam reaksi timbul dari masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sekitarnya.Â
Pemberlakuan PSBB ini didasarkan pada data kasus positif di Jakarta yang seminggu terakhir ini memberikan kontribusi nyaris 30% dari data nasional. Selain itu tingkat ketersediaan ranjang di ruang isolasi dan ruang ICU di Rumah sakit dianggap sudah dalam jumlah yang mengkhawatirkan.
Pemberlakuan PSBB ini kembali memicu pro dan kontra. Reaksi negatif terutama ditunjukkan oleh tiga menteri ekonomi (Menko Ekonomi, Mendag, dan Menperin) di negara kita.Â
Pemberlakuan PSBB ini dianggap sebagai penyebab anjloknya pasar saham yang menyebabkan terhentinya perdagangan sementara karena penurunan mencapai angka 5%. PSBB ini dianggap merusak ritme perekonomian yang sudah mulai naik dan akan mempengaruhi kinerja industri.Â
Reaksi dari menteri-menteri ini seakan mejadi gambaran apa yang terjadi selama ini. Kebijakan yang sebelumnya dijalankan hanya memandang sektor ekonomi adalah yang harus diselamatkan terlebih dahulu.Â
Pernyataan Menko Airlangga di kanal YouTube BNPB pada Kamis, 10 September mencerminkan kurangnya pemahaman mengenai kondisi yang menjadi alasan penerapan PSBB ini, sekaligus menjadi cermin bagaimana pemerintah selama ini memandang ekonomi sebagai hal paling utama yang harus diselamatkan.
Menko Airlangga memberikan reaksi yang berlawanan dengan pernyataan presiden sebelumnya yaitu bahwa urusan COVID harus ditangani terlebih dahulu sebelum restart ekonomi. Urusan ekonomi memang penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Tetapi urusan kesehatan yang tidak ditangani dengan baik akan membuat perekonomian kita terpuruk.Â
Tidak seharusnya lagi kita memperdebatkan mana yang lebih penting kesehatan atau ekonomi. Strategi memprioritaskan salah satu saja pasti akan membawa dampak yang pada akhirnya membawa ekonomi lebih buruk lagi. Alangkah sia-sianya semua insentif yang diberikan kepada pengusaha jika tidak ada karyawan yang bisa bekerja maksimal karena Covid ini.Â
Belum lagi biaya promosi pariwisata yang jumlahnya tidak sedikit itu jika tidak ada wisatawan yang berkunjung. Enam bulan kita menghadapi masa pandemi ini, sudah tidak pantas lagi masyarakat melihat pemerintahnya saling serang kebijakan.
Pemerintah pusat melalui Pak Menko seakan-akan hanya melihat masalah kesehatan dari segi penyediaan fasilitas dan infrastruktur saja. Masalah  yang diangkat hanya kekurangan ranjang dan ruang isolasi.Â
Solusi yang ditawarkan adalah memindahkan pasien yang hampir sembuh ke Wisma Atlet. Relaksasi rumah sakit dengan cara relokasi pasien diharapkan dapat membuat jumlah ruangan kembali tersedia. Lebih jauh lagi bahkan direncanakan untuk menambah ranjang dan ruang isolasi lain dengan memanfaatkan hotel bintang 2 dan 3.Â
Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi petugas kesehatan di sana? Kalau hanya urusan bangungan dan fasilitas, Pulau Galang harusnya sudah siap menampung semua pasien itu.Â
Pemerintah pusat seakan menutup mata dengan kondisi tenaga kesehatan kita yang sudah hampir kolaps. Jumlah tenaga kesehatan yang meninggal sudah mencapai ratusan, belum lagi yang dinyatakan postif COVID sehingga harus menjalani isolasi.Â
Kekurangan satu tenaga kesehatan terampil saja tentu sudah cukup membuat timpang satu kelompok kerja (shift), apalagi dalam jumlah banyak. Pemerintah pusat perlu membuka mata dan telinga serta membaca data dari daerah, berapa banyak puskesmas yang terpaksa tutup sementara waktu karena nakes positif, tidak usah jauh-jauh ke daerah, coba cek di Jakarta dulu saja.
Data-data yang diberikan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan cukup sebagai alasan kenapa "tuas rem" PSBB transisi harus ditarik. Tidak usah membahas kebijakan-kebijakan kontroversial yang sebelumnya, mari kita apresiasi keberanian beliau mengambil keputusan yang jauh dari populer ini demi mencegah kolapsnya sistem kesehatan di Jakarta.Â
Menambahkan ruangan dan ranjang perawatan tidak akan langsung memberikan dampak signifikan. Mari juga berhitung berapa banyak tenaga yang harus dikerahkan jika seluruh fasilitas kesehatan kita penuh. Hanya sekedar merekrut orang baru tidak akan menjawab masalah ini. Pasien Covid berhak mendapatkan perawatan dari tenaga kesehatan yang terampil dan berpengalaman.Â
Jika para menteri meragukan data yang disuguhkan, baiknya mereka juga melawan dengan data, bukan hanya dengan pernyataan dan janji bahwa infrastruktur yang dibutuhkan segera disiapkan.
PSBB ini pasti akan memberatkan banyak pihak, namun marilah kita melihat dari sudut pandang lain. Anggaplah PSBB ini sebagai jalan untuk membeli waktu untuk berfikir strategi apa yang harus dilakukan.Â
Bagaimana pemerintah pusat dan daerah bisa menarik napas sejenak dan melihat kembali kebijakan-kebijakannya dan berkolaborasi untuk menekan penyebaran virus lebih jauh lagi. Dengan PSBB ini kita kembali diingatkan untuk kembali disiplin menjalankan protokol kesehatan.Â
PSBB ini juga memberikan sedikit kesempatan bagi tenaga kesehatan yang aktif bekerja selama 6 bulan ini untuk sedikit menarik napas dan kembali mengumpulkan energi mereka karena kita masih belum tahu sampai kapan mereka harus berjuang mempertahankan nyawa pasien.Â
Dibandingkan menyatakan PSBB ini tidak efektif, hanya merusak ekonomi, bagaimana jika mereka duduk bersama saling bertukar pikiran supaya PSBB ini menjadi PSBB yang terakhir dan efektif serta dapat menjadi contoh bagi wilayah lain.
Marilah kita sekali lagi mengingat pesan dari Presiden kita meskipun selayaknya pesan ini terdengar di masa awal pandemi :
Kunci dari ekonomi kita agar baik adalah kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik menjadikan ekonomi kita baik.
kalau penanganan COVID baik, kalau kesehatan baik, ekonominya juga akan membaik
Ekonomi tidak akan berjalan dengan baik jika dibangun oleh orang-orang yang sakit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI