Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengalaman Menggunakan BPJS: Diskriminasi dan Gagal

10 November 2019   08:00 Diperbarui: 10 November 2019   08:36 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serius. Dua kali saya berniat menggunakan BPJS dan dua kali itu pula kartu saya "ga laku".

Yang pertama: Diskriminasi

Pertama kali saya akan menggunakan layanan BPJS adalah saat saya menderita demam selama sekitar 2-3 hari. Setelah penurun demam tidak menunjukkan efeknya, dengan diantar teman saya mendatangi klinik keluarga yang menjadi faskes pertama saya.

Saya ingat betul, waktu itu pukul 06.30 pagi, saya datang pagi-pagi karena Bu Dokter selain praktek mandiri, bekerja sebagai ASN di sebuah RS. Kebetulan praktek beliau merupakan salah satu yang paling laris di kota kecil kami. 

Saat saya mendaftar di loket penerimaan pasien, staf yang bertugas bertanya "Mbak, peserta BPJS?". Tanpa mikir apa-apa, saya menjawab iya. Kontan si petugas berkata "Mbak, datangnya nanti sore aja ya, yang BPJS belakangan diperiksanya,  kami cuma nerima beberapa, udah ada beberapa yang ngantri juga. 

Dengan kaget saya bertanya ,"lah trus, yang diperiksa duluan siapa? Jawabnya ," Yang bayar langsung, Mbak". Langsung saya jawab ," Ga jadi deh, Mbak. Saya sakitnya sekarang, kok diobatinya sore. Kalau masih tahan juga ga bakalan mruput pagi-pagi ke sini".

Nomor pendaftaran saya kembalikan. Saya pergi berobat ke praktek mandiri dokter lain yang kliniknya lebih sederhana tanpa pake loket-loket pendaftaran, dan tanpa ditanyakan saya pengguna BPJS atau bukan.

Yang kedua: Gagal

Kedua kalinya sebenarnya tidak secara langsung saya ingin menggunakan BPJS. Saya mengira mahasiswa S2 memiliki hak yang sama dalam asuransi kesehatan di Student Medical Center. Gigi geraham saya ada yang sudah tinggal akar dan dari dulu saya maju mundur untuk mencabutnya. 

Saya ketakutan. Ketakutan saya dengan dokter gigi karena pernah saat scalling, gigi depan saya pecah,jadinya tiap mau periksa saya sudah ketakutan duluan. Tetapi, apa boleh buat, makin saya belajar, semakin saya tahu bahwa gigi yang berlubang bisa membawa masalah yang tidak diduga-duga nantinya.  

Saya mendatangi Student Medical Center tempat saya kuliah yang juga sudah menjadi salah satu faskes pertama bagi pengguna BPJS. Malang bagi saya, KTM yang laku adalah KTM mahasiswa S1. Saya disarankan untuk menggunakan BPJS saja. Tetapi untuk bisa menggunakannya saya harus memindahkan layanan faskes I saya dari kota sebelumnya ke Medical Center ini. 

Saya baru bisa menggunakan kartu BPJS saya tanggal 1 bulan berikutnya. Sudah terlanjur niat membereskan masalah gigi, saya akhirnya ke klinik swasta aja, sebelum nanti rasa takut saya muncul lagi gara-gara nungguin perpindahan faskes saya diakui. Gagal deh mendapat manfaat dari layanan BPJS. Oh iya, untuk pindah sebenarnya ga repaot-repot amat kok, tinggal menggunakan aplikasi "Mobile JKN" saja. Cuma, saya yang ga mau nunggu lama-lama.

Lalu, apakah saya jadi membenci atau menolak BPJS? Jawabnya tidak. Saya paham sekali apa yang diinginkan oleh penggagasnya, layanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah saya merasa rugi gaji saya dipotong tiap bulan untuk BPJS? Jawabnya juga tidak. Saya yang memilih untuk tidak menunggu sampai saya bisa menggunakannya , dan Puji Tuhan, saya dalam posisi mampu dalam membayar biaya pengobatan waktu itu. Selain itu, saya banyak melihat manfaat yang diberikan BPJS pada orang di sekitar saya.

Misalnya, ketika istri salah seorang rekan sekantor saya mengalami ecklampsia saat melahirkan, almarhumah dirawat berhari-hari dan akhirnya tidak tertolong. Biayanya perawatan mencapai puluhan juta rupiah, dan jadi gratis karena ditanggung BPJS. Bayangkan jika sudah kehilangan istri, harus merawat anak seorang diri, dan masih harus membayar puluhan juta rupiah.

Masih banyak cerita mengenai BPJS yang saya dengarkan, tidak semuanya baik, tetapi sepertinya lebih banyak yang membuat saya berucap Puji Tuhan. Karena itu, saya selalu mengarahkan pada teman-teman saya yang masih mahasiswa yang masih belum mengerti pentingnya asuransi kesehatan untuk membuat BPJS. 

Tarifnya akan naik? Kelas III saja dulu ga apa-apa. Kalau harus boyongan satu keluarga, bayar BPJS kelas 3 itu hanya satu gelas boba kekinian saja, relakanlah mengurangi jajan sedikit, hitung-hitung mengurangi risiko diabetes juga.

Saya hanya berharap, prosedur penggunaan BPJS bisa semakin sederhana seperti pada asuransi swasta. Selain itu, saya berharap, data BPJS bisa diakses dimana saja sehingga bisa saya gunakan di faskes di daerah mana saja tanpa harus menunggu-nunggu proses pindah memindah yang lama ini. Semoga tidak ada lagi diskriminasi bagi pengguna BPJS dimana saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun