Setelah beberapa hari berpikir dan mempertimbangkan, saya memutuskan untuk menonton "Bumi Manusia" tanpa sebelumnya membaca resensi dari penonton sebelumnya. Niat saya adalah, jika kesan yang saya harapkan tidak muncul, maka saya akan WO.Â
Tidak lama setelah saya duduk dan mulai menyamankan diri, ada himbauan berdiri dan kumandang lagu "Indonesia Raya" pun terdengar.Â
Saya dan penonton yang lain langsung berdiri dan tidak sedikit yang seperti saya yang keheranan. Jujur, ini pertama kalinya bagi saya.Â
Namun, saya sadari, bahwa momen ini dibangun dengan pas sekali oleh Hanung Bramantyo untuk membangun nasionalisme penonton terutama karena film ini berusaha menggambarkan masa di mana kita masih dijajah.
Masa Indonesia belum memiliki kesadaran sebagai suatu bangsa, masa di mana seorang bernama Minke berusaha membebaskan dirinya dari tatanan yang terjadi akibat perbedaan ras yang membuat pribumi seolah-olah menjadi suatu hal yang memalukan.
Hanung Bramantyo menurut saya cukup berhasil menuangkan isi novel ini ke atas layar. Ide mengenai perbedaan status yang seharusnya dilawan oleh anak bangsa, hukum yang hanya memenangkan pihak yang membuat hukum, dan melawan ide dengan ide seperti Minke dengan tulisan-tulisannya disampaikan dengan baik sekali.Â
Saya tidak tahu apa sebutannya dalam perfilman, tetapi tiap potongan adegan sepertinya berusaha agar hubungan Minke-Annelies, keeksentrikan Sang Nyai, dan potret ketidakadilan masa itu bisa tersampaikan tanpa bertele-tele.
Pasti banyak perdebatan mengenai kekurangannya. Misalnya, ekspresi mata Iqbal Ramadhan yang kadang menurut saya kurang pas dalam beberapa adegan, tetapi saat menggoda Annelies ternyata cocok sekali (ahoy for Iqbal). Atau tone kos-kosan milik tuan Telinga yang rasanya terlalu cerah dan baru, kesan yang sama saya rasakan saat melihat rumah dan plang masuk ke rumah keluarga Mellema, membuat seolah-olah bangunan-bangunannya benar-benar baru berdiri, bukan sebuah hunian yang telah digunakan bertahun-tahun.Â
Kesannya seperti buru-buru dibangun. Mengenai efek CGI, ya gimana ya. Ini toh, bukan film superhero atau kolosal yang mengedepankan detail nyaris tidak kentara itu, jadi menurut saya sih masih tidak mengganggu.
Beberapa tokoh dalam buku juga tidak diberikan porsi sebagaimana mestinya dalam film ini. Yang paling saya cermati adalah interaksi antara Jean Marais dan Minke yang nyaris tidak cukup membangun kesan bahwa mereka adalah teman baik dan salah satu sumber inspirasi bagi Minke.Â