"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." - Jean Marais dalam Bumi Manusia.Â
Tidak adil. Itu adalah vonis yang saya berikan pada diri saya setelah menyaksikan sendiri film "Bumi Manusia". Sejak munculnya berita bahwa karya pamungkas Pramoedya Ananta Toer ini akan dijadikan sebuah film, saya termasuk yang tidak setuju. Haha..padahal, siapa saya?Â
Saya bukanlah kritikus film, lebih seringnya saya menonton hanya menikmati tanpa mengamati detil-detil yang bisanya jadi perdebatan massa, kecuali film itu memang membutuhkan kecermatan dan fokus pikiran untuk bisa memahaminya.Â
Tetapi, bukan tanpa alasan saya berpendapat demikian. Banyak karya-karya penulis yang saat diadaptasi dalam ke layar, terasa kehilangan maknanya. Bukannya memicu orang untuk mencari tahu karya aslinya, tidak jarang ada yang merasa tidak perlu lagi baca, karena difilmkan saja sudah tidak menarik, apalagi harus membaca dan memahami makna yang disampaikan oleh penulisnya.
Saat mengetahui bahwa Minke akan diperankan oleh Iqbal Ramadhan, saya semakin tidak yakin. Semua pembaca "Bumi Manusia" tahu, bahwa kisah cinta Minke dan Annelies adalah penggerak dari novel ini.Â
Mengingat reputasi Iqbal sebagai Dilan, saya tentu curiga, bahwa hanya bagian inilah yang akan ditonjolkan oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara, hingga, bagaimana perjuangan Minke dalam membebaskan dirinya dari tatanan kepriyayian masa itu, dan kisah seorang Nyai Ontosoroh yang begitu mengagumkan dengan segala keserbabisaannya dan kemandirian yang akhirnya hanya berakhir sebagai masyarakat kelas tiga di depan pengadilan kulit putih tidak akan tergambarkan dalam film ini.
Saya pertama kali membaca "Bumi Manusia" sewaktu masih SMP kelas 2. Saat itu hanya dipinjami oleh teman yang sering tukar menukar buku. Tanpa tahu kalau ini dulu buku terlarang. Bapak saya cukup kaget melihat saya membawa pulang buku ini, dan memutuskan untuk membaca terlebih dahulu (kebiasaan beliau sebelum mengijinkan saya membaca buku yang menurut beliau "berat").Â
Jadi, buku ini menyimpan makna yang besar bagi saya, bukan hanya sebagai sumber kenangan antara saya dan alm. Bapak, tetapi salah satu media saya mempelajari lebih dalam apa akibat yang ditimbulkan oleh penjajahan dan pembedaan golongan baik dimasa "Bumi Manusia" maupun di masa sekarang.Â
Karena itu, ada sedikit perasaan tidak rela, jika pesan yang terkandung dalam buku ini akan menjadi tidak tersampaikan karena pengadaptasian yang tidak tepat.