Mohon tunggu...
Corry Atur
Corry Atur Mohon Tunggu... -

Lulusan sastra Inggris Universitas Brawijaya. Tengah menanti waktu yang tepat untuk melanjutkan program master dengan konsentrasi yang sama di UI atau UGM. Sibuk kerja rodi di House of Sampoerna Surabaya. Sekian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejoli

4 Desember 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Musim hujan kali ini terlambat tiba. Sudah di penghujung tahun, namun curah hujan tidak se melimpah tahun lalu. Mungkin karena tahun lalu aku merasakannya di kota lain dengan lelaki lain pula, yang sekarang menjadi masa lalu. Bisa saja bumi sudah bosan dengan rutinitasnya, dan sedang melakukan sedikit manuver perpindahan musim.

Bulan di sini tidak lagi sama. Bentuknya jauh lebih kecil dan temaram. Angin malam yang berhembus dari jendela menerpa pori-pori wajahku. Aku selalu suka angin musim hujan. Bunyi petir di kejauhan mulai mendekat, dan mendung menelan perlahan putihnya rembulan. Kurasakan bayangan bergeser dari belakang ke sebelah kananku. Aroma musk tercium samar. Tanganmu diletakkan disebelahku, menyentuh dingginnya teralis besi bergambar tribal penghias jendela setinggi dua meter ini. Sudut favorit, karena dari sini aku selalu bisa melihat langit berganti warna.

“Aku resign Februari”

Kenapa? aku tersenyum samar. Kenapa kamu selalu bisa membaca pikiranku?

Aku melihatmu dari sudut mataku. Senyum simpul selalu menghias saat lawan bicaraku adalah kamu. Seperti berhadapan dengan diri sendiri. Kamu adalah aku. Karena itu, kadang aku tidak perlu menyelesaikan seluruh kalimat, karena kamu yang akan melakukannya. Kita sama. Aku tahu dari awal kita berjumpa. Aku juga tahu, bahwa kamu tahu.

“kenapa kamu selalu mengikutiku?”

Sebelah alisnya terangkat sedikit, seolah ingin mengatakan “kita sama, tidak perlu meniru untuk bisa melakukan hal yang sama juga”

Aku tertawa tanpa suara, “ becanda” timpalku.

Lalu kita sama sama terdiam, menikmati desah angin dan bau hujan yang datang mendekat. Denganmu, diam adalah suatu kenikmatan tersendiri. Tidak perlu merasa sungkan dan aneh. Diam adalah cara kita menikmati waktu bersama. Cukup tahu bahwa kamu ada bersamaku, begitu juga sebaliknya. Diam  tidak pernah menimbulkan jengah, malah kita menikmatinya dengan cara yang tidak biasa. Satu waktu, kita berada di ruang yang sama, memandang langit yang sama tanpa bicara dan saling menatap, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Setelahnya kita saling melirik dan tertawa.  Kita berdua tahu apa yang sedang kita tertawakan. Seolah ada kemampuan telepati saat kita berada di ruang yang sama.

Aku mengenalmu belum genap setahun. Kita bertemu bulan Maret, dan mungkin akan tidak saling bertemu lagi di bulan maret tahun berikutnya, saat kita berdua sama-sama memutuskan untuk mengambil langkah masing-masing. Biarpun pertemuan ini hanya hitungan bulan, namun rasanya seperti telah lama bertemu. Kita partner kerja yang sempurna. Satu-satunya dalam sejarah, kata mereka, teman teman kita.

Kamu seorang Aries, dan aku Leo. Elemen kita sama, api. Mars adalah planetmu, matahari itu aku. Kita partner dari lahir. Mungkin itu lah yang bisa menjelaskan mengapa kamu selalu mengatakan apa yang ada di pikiranku, begitu juga sebaliknya. Tanpa disadari, kita menjadi serupa secara alamiah.

Namun serupa tidak berarti satu. Kamu mirip denganku, terikat dengan masa lalu. Kamu punya hantu, aku juga punya satu. Walau sudah berlalu bersama waktu, hantu mu dan hantuku setia membayangi kemanapun kita melangkah. Kita serupa. Kamu menyimpan beban bernama Delisa, dan aku membawa beban bernama Agastya.

Kita serupa, tidak berarti kita bisa bersama. Kisah kita mirip. Kita pernah mencintai manusia sampai mati. Tenggelam saat arusnya mulai menderas, dan menyesal saat tersadar bahwa semua adalah semu semata. Delisamu pergi bersama angin musim dingin, ke negeri seribu kanal bersama pangeran berkuda putih dari negeri yang sama pula. Agastya pergi entah kemana, karena yang kutahu, aku melarung abu nya dengan air mata yang telah mengering, di samudera Hindia, tempat nenek moyang kita berasal.

Lalu kita dipertemukan,tanpa tahu oleh siapa. Tuhan kah? entahlah. Aku sudah berhenti menemuinya sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah berhenti meminta padanya. Sampai hari ini.

Mereka berkata, cinta datang  tidak dari mata, namun dari perpisahan. Mungkin ada benarnya. Kita tidak pernah tahu apa yang membuat kita menjadi seperti puzzle, saling melengkapi satu sama lain. Kita juga tidak pernah peduli alasan apa yang membuat kita begitu dekat, mempelajari satu sama lain, dan terkejut saat menemukan begitu banyak persamaan, dan tertawa saat salah satu menyelesaikan kalimat yang lain dengan tepat dan presisi. Ya…kita tertawa, selalu bahagia bersama, tanpa peduli nasib seperti apa yang akan kita temui di persimpangan.

Tinggal beberapa bulan kita bisa menatap langit dari tempat yang sama, karena selanjutnya, kita akan menatap langit yang sama dari tempat yang berbeda. Kamu akan pergi, mengejar ambisimu di negeri orang. Semua paspor dan visa sudah siap, dan lucunya, akulah yang membantumu mengurus persiapan, seolah aku bisa dengan rela melepasmu pergi.

Tidak ada alasan untuk menahanmu. Kita sudah menuntaskan nasib, bertemu, saling mengisi, dan akhirnya berpisah. Bukankah itu arti hidup. Semuanya cuma sementara, bahkan perasaan kita. Tidak ada yang bisa memastikan apa sorot matamu masih akan sama empat tahun lagi. Tidak ada yang tahu, apa hati yang menanggung beban itu akan terisi cinta yang lain, barangkali cinta seorang gadis Arya bermata cemerlang dan berambut pirang. Entahlah.

Hujan sudah mulai turun, aku menutup jendela. Pintu terbuka, beberapa remaja dengan kamera SLR menerobos masuk basah kuyup.  Andai waktu bisa diputar, bolehkah aku memohon padaNya untuk mempertemukan ku dengan mu sebelum aku bertemu Yudha. Mungkin keadaan akan lain, atau mungkin akan sama saja. Kamu berjalan cepat menuju kerumunan remaja, menjelaskan sedikit peraturan museum yang harus ditaati oleh semua pengunjung. Malam ini cuma kita berdua yang bertugas.Sempat terlintas di pikiranku, semakin dekat waktu perpisahan, semakin sering kita punya waktu berdua. Kebetulan kah, atau…..entahlah, aku lelah berasumsi.

Dari belakang, siluet punggungmu menimbulkan kerinduan. Mungkin kita pernah bertemu di masa lalu, dan akan terus berulang di masa yang aku tidak bisa menjangkaunya. Petir mulai terdengar, mengisi kekosongan jarak di antara kita. Kamu berbalik menghadapku, meninggalkan remaja-remaja centil yang mulai bergaya di antara lensa kamera dan koleksi koleksi antik museum.

Ada jeda sejenak saat pandangan kita bertemu. Aku cinta kamu

Lalu semuanya kembali seperti semula. Seperti video yang di stop lalu di re-play. Aku berjalan ke arahmu, tersenyum lebar, dan kita mulai bercanda tentang segala sesuatu yang jorok dan konyol. Selera humor kita sama buruknya, dan kita mengumpat hal-hal yang kita anggap menjijikkan. April nanti, aku akan mengikat janji dengan Yudha, laki-laki yang begitu baik, yang membuatku tidak tega mengatakan padanya bahwa aku hanya menganggapnya sebagai kakak. April nanti, kamu akan ada di benua putih, berkutat dengan tugas-tugas kuliahmu, berkencan dengan teman kampusmu, minum kopi di café pinggir jalan, dan sesekali bercinta dengan pasanganmu. Mungkin aku bisa bertahan dengan Yudha untuk sementara waktu, atau akan selesai bahkan sebelum aku memulai, entahlah, namun satu yang pasti….

Akan selalu ada lelaki bernama Bayu, yang menyerahkan takdirnya pada angin untuk dibawa kemanapun angin berhembus. Karena itulah, kutitipkan hatiku padanya, untuk dibawa serta, menemaninya di negeri empat musim. Tidak perlu dikembalikan, karena tanpanya, hatiku akan sia sia saja. Selamat jalan, partner hidup…..sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.

Surabaya, November 28th 2013

Time: 21.29 ,

kamar kos yang sepi.

Suara kipas angin berdengung.

Udara mendingin diguyur gerimis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun