Menurut Pak Umar, seorang nelayan dan pembibit mangrove di sekitar pantai, keuntungan diperoleh dari kegiatan penanaman mangrove yang diadakan oleh instansi baik secara bersama-sama maupun mandiri. Pak Umar dan timnya menjual bibit mangrove serta menyelenggarakan pelatihan untuk kegiatan pembibitan dan penanaman tersebut. Modal dan biaya perawatan dibiayai sendiri. Dinas kehutanan dan kelautan memberikan izin untuk merawat dan memantau mangrove selama dua tahun setelah penanaman. Di pantai ini juga terdapat culturesite berupa kegiatan adat melarung, yang rutin dilakukan secara sederhana di tepi pantai sebagai ungkapan syukur atas hasil laut yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Penelitian berlanjut ke geosite kedua, yaitu Teluk Pang Pang yang terletak di Persen, Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Teluk ini merupakan area konservasi dan juga tempat pembibitan mangrove. Salah satu keunikan geosite ini adalah keberadaan fauna lokal berupa kepiting Uca spp yang memiliki satu capit berukuran besar, karena lingkungan mangrove yang didominasi oleh lumpur. Kepiting ini aktif bergerak saat air surut. Kegiatan kepiting ini memiliki dampak signifikan dalam ekosistem mangrove dengan membentuk lubang yang membantu sirkulasi udara dan perombakan sedimen.
Tim menuju geosite ketiga di kawasan mangrove yang terletak di Candi Purwo. Secara administratif, geosite ini berada di Pd. Asem, Kedungasri, Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Lokasi ini berada di sekitar daerah aliran sungai yang rentan terhadap erosi, dengan tanah berlumpur. Memilih wilayah ini sebagai kawasan konservasi mangrove dianggap tepat untuk mengurangi erosi. Selain itu, daya tarik lain dari daerah ini adalah adanya sebuah candi yang digunakan sebagai tempat sembahyang atau bertapa. Keberadaan tempat suci seperti ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sehingga mereka yang beraktivitas di kawasan ini dapat lebih menghargai lingkungan sekitarnya.