Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kawan Melawan

15 April 2024   16:01 Diperbarui: 15 April 2024   16:02 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1966. Kejanggalan dan pekatnya kebusukan di percaturan politik Soekarno merasuki akal sehat dan idealisme dari yang merasa tertindas. Kepentingan tak berarah dikonfrontir dengan selusin tuntutan rasional berbuntut moral. Aksi-aksi protes dan pembangkangan diluncurkan oleh mereka yang sadar akan situasi; melantunkan rangkaian tuntutan agar keadaan rakyat semakin pulih. Apakah dunia ini tidak cukup manusiawi lagi? Sayangnya, di balik ini, Tjie Bong tidak memosisikan diri pada prahara politik dalam upaya menegakkan marwah masyarakat. Ia lebih memilih berontak pada busuknya persahabatan manusia.

Adzan sholat subuh menggema di jenuhnya komplek tak beraturan rumah Menteng yang disinggahi orang Betawi dan Cina peranakan. Tjie Bong, laki-laki berusia 20 tahun, memulai paginya dengan bertengger di atas atap rumahnya, duduk di landainya formasi genteng. Tatapan tajamnya diarahkannya ke halte bus kota yang berjarak 5 meter dari sisi kiri rumahnya. Berdiri di sana selusin orang muda, mungkin sepantarannya, mengenakan jaket khas anak kuliah, kuning warnanya. Beberapa dari mereka membawa mikrofon, bendera, dan pilox. Di kepala mereka terikat seutas kain yang ia yakin ada tulisannya. Beberapa menit kemudian bus Metro Mini berhenti di halte itu, naiklah mereka dengan wajah sangarnya. Melihat itu ia bergumam, "Siapa yang peduli dengan urusan politik? Mengapa mereka mau menggulingkan rezim ini sedangkan kebobrokan politik akan selalu ada? Hah...sia-sia." Dua hari lalu sempat ia memikirkan hal yang serupa. Suatu upaya penggulingan rezim sekarang bersama kawan-kawannya se-fakultas. Tetapi sekarang, ia sangsi dengan pikiran dan kawan-kawannya sendiri. Seperti seorang prajurit yang bertanya: mengapa kita harus mengangkat senjata dan bertempur?

Pukul 6 pagi, menu sarapannya adalah koran Sinar Harapan dan kopi Kapal Api tanpa gula. Pukul 7 pagi, ia bersiap-siap menuju ke kampusnya yang berlokasi di Salemba. Hari ini ia memang berangkat lebih molor dari biasanya. Biasanya pukul 6 ia sudah berangkat. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Di rumah hanya ada dia dan kakeknya. Untung saja kakeknya masih sehat maka ia tidak terlalu kesulitan mengurusnya. Kakeknya adalah pensiunan dosen. Mengampu mata kuliah Filsafat Timur di beberapa universitas di Benua Eropa. Kesukaannya adalah membaca buku, sama seperti Tjie Bong.

Di halte, Tjie Bong menunggu angkutan umum dengan rute yang melewati Halte R.S. Carolus. Bus kota yang ia tunggu tiba dan perjalanan dimulai. Saat melewati  Halte Pasar Senen bus ini tidak mengarah ke Salemba melainkan berputar ke arah Menteng. Ia berdiri dan bertanya dengan nada tinggi, "Loh Pak! Kok nggak ke arah Salemba?" "Oh, iya Mas. Hari ini mahasiswa lagi pada demo. Tadi saya tanya sama trayek yang lain, seluruh rute ke Salemba dikosongin. Loh Masnya nggak ikut demo?" Pertanyaan itu cukup membacuk sanubarinya yang masih berkelindan keraguan, antara become oppositional atau apatis dengan keadaan. "Nih Pak," tiba-tiba saja ia menyerahkan uang sejumlah Rp.500,- ke sang supir lalu keluar dari bus.

Pilihannya saat ini adalah berjalan melalui pedestrian menuju Salemba. Asap hitam dan debu merayunya dengan geli. Sengatan matahari pagi Jakarta memuncak, mengukus tubuhnya yang berpadu warna krem dan kuning langsat itu. 400 meter di depannya, sorot matanya menyasar pada long march para mahasiswa dan mahasiswi "jaket kuning" yang hendak mendobrak barikade TNI. Ia takut jika dikira dirinya bagian dari mereka. "Lebih baik aku menyingkir dari sini."

Tak lagi melalui pedestrian, jalan tikus menjadi opsi yang paling tepat. Menyusuri perkampungan, memotong rute dan menuju Salemba. Tjie terheran-heran, jalan yang ia susuri seperti kota mati. Hanya ada satu atau dua warga yang ada di luar rumah, itu pun dibalut ekspresi was-was.

Setibanya di kampus pukul 9 lebih 15 menit, Tjie memandang halaman depan kampus yang sepi. Berputar-putar mengeliling komplek kampus. Memang tidak ada mahasiswa, hanya ada beberapa dosen. Pukul 2 siang long march mahasiswa sampai di kampus. Tjie sedang bermain dengan mimpi lelapnya di depan pos satpam kampus. Mereka datang dengan baju yang lusuh, wajah dekil, berkeringat, dan coret-coretan asing di pakaian. Kemudian seseorang datang dan membangunkan Tjie, "Woy Bong! Ngapain Lo? Bisa-bisanya lu tidur." Mimpinya kandas diterpa tepokan ke kepalanya. Tjie mengulet dan menjawab, "Eh, elu Dul. Baru nyampe?" Jawab Abdul dengan nada lelah, " Lo liat sendiri tuh." Tak ada ganjaran setimpal dengan perjuangan mereka. Siapa yang peduli dengan nasib perut mereka yang turun ke jalan dan mencaci peraturan pemerintah soal tingginya harga beras? Abdul, bapaknya orang Betawi -- ibunya blasteran Solo dan Belanda. Kawan karib Tjie sejak hari pertama perpelocoan kuliah. Sama seperti Tjie, kritis dan pendiam, idealis serta moralis. Mereka adalah bagian dari konseptor di KAMI[1] dan demonstrasi hari ini. Namun, ada suatu distingsi, yang tidak mampu menyatukan mereka. 

 

Demo-demo selanjutnya, Tjie tidak ikut dan memendam diri di rumah. Abdul, dengan semangat yang berbinar-binar menyelam bersama kawan-kawan lainnya dalam gelombang demonstrasi.

 

26 Januari 1966, sekitar pukul 3 siang kampus Salemba, kelas Jurusan Sosiologi riuh dengan perbincangan politis, Abdul mampir ke Tjie yang tengah membaca novel karangan Arthur Kostler Darkest at Noon. Dengan nada serius, "Bong, kenape Lu kagak mau ikut dah? Aneh bener Lo! Kayaknya Lo yang paling menggebu-gebu pas rapat dua hari yang lalu soal demonstrasi ini. Kenapa Lu berpaling dari perjuangan kite ini?" Mendengar Abdul, Tjie dengan nada serius menjawab, "Gue nggak berpaling. Kalau berpaling, Gue bakal lapor ke militer biar lu pada ditahan. Nggak usah ada demo-demo beginian. Gue cuman merasa ini semua sia-sia?" Abdul mulai naik pitam namun dengan volume yang kecil, "Apa?! Sia-sia! Lo kira kita ini ngapain? Bukannya semua ini udeh dirancang sampai ke akarnya. Sampai ke 'mengapa' kita ngelakuin ini! Lo gile ya!" Tjie, sambil meletakkan bukunya di meja, dengan santai menjawab, "Emangnya si Karno bangsat itu mau denger suara lu? Emangnya si Subandrio plintat-plintut itu mau diskusi ama lu? Ujung-ujungnya apa? Nggak ada satu pun dari anggota DPR atau menteri-menteri yang Lu ejek kemarin mengiyakan daftar tuntutan itu." Masih dengan volume yang kecil, pitamnya mulai membara, "Yang penting ada usaha! Bodo amat mereka mau denger atau kagak! Yang jelas sebagai orang yang tau keprihatinan, kita beraksi. Lah Lu! Sebagai konseptor lapangan, aksi Lu ini adalah pengkhianatan terhadap gerakan ini. Mati aja Lu..." Abdul pergi ke luar kelas dengan kemarahannya dan Tjie tetap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

 

Sebulan yang lalu, sebelum clash di kelas, selepas pulang kebaktian di GKI Menteng, Tjie menaiki sepedanya menuju rumah Abdul yang dekat dengan Masjid Sunda Kelapa. Rumahnya  Tjie berada dekat GKI Menteng, jaraknya sekitar 700 meter dengan rumahnya Abdul. Tjie menggendol tas berisikan setumpuk koran harian dari Sinar Harapan, Kompas, dan Indonesia Raya. Sampai di rumah Abdul ia disambut dengan hangat oleh ayahnya Abdul, Pak Sumarto. Ia sedang menyiram beberapa tanaman hiasnya di depan pekarangan rumah. "Masuk aja, Nak. Abdul ada di dalam. Dipanggil aje, ntar juga nyaut." "Siap, Pak Marto." Nada riang dan tinggi Tjie membelai sejuk dan lembapnya pagi di pekarangan rumah Abdul, "Dul...Dul. Ini Bong!" Tak lama terdengar teriakan, "Sek! Gue ganti baju dulu." 5 menit berselang Abdul menghampiri Tjie yang sedang duduk di ruang tamu dan duduk bersama. "Eh Elu...Oh iya! Selamat Natal ya...saudaraku." "Oh, iya. Makasih Dul..."

 

"Bagaimana bisa pemerintah bersikap seperti ini? Gua pernah lihat satu kilometer dari gerbang istana negara, seorang kakek yang ngambil makanan sisa dari tempat sampah. Bapak-bapak bangsa kita terbuai dengan kenyamanan di istana. Di luar, orang-orang mulai mencari makanan dalam tumpukan sampah," ucap Tjie sembari melebarkan halaman kedua koran Kompas yang menjabarkan secara gamblang kenaikan harga sembako. "Harus apa kalau seperti ini? Dasar boneka PKI! Kita perlu bergerak. Kalau kita mengkritik pemerintah melalui surat kabar rasa-rasanya hanya menjadi isapan jempol. Dikira kita hanya berani lewat tulisan," sambung Abdul dengan semangat. "Ada benarnya. Tapi, siapa yang bisa kita ajak bergerak?" Pertanyaan Tjie ini direnungkan sejenak oleh Abdul. "Begini, Lu pernah baca novel Les Miserables. Yang angkat senjata kebanyakan orang muda. Mahasiswa. Kita sebagai poros intelektual yang independen harus menungkas kebobrokan ini," ucap Abdul seraya meyakinkan idenya ini. "Ehm...ada benarnya. Tapi Lu mau ngadepin pasukan Cakrabirawa, panser sama tank-tanknya. Yang kita hadepin itu bukan Soekarno dan menteri-menteri lembeknya itu. Kita bakal ngadepin partai-partai pro-Soekarno dan TNI!" Respon yang skeptis ini dikonfontir Abdul dengan lembut, "Memangnya Lu mau buat tentara sendiri. Kalau kita ditembak, santai aja! Nanti mata internasional akan meyoroti Soekarno sebagai boneka PKI yang tidak kenal kemanusiaan. Masa pendemo yang modalnya teriak-teriak dilawan pake senajata. Siapa yang goblok?" Diskusi mereka berlanjut sampai kira-kira pukul 12 siang. Konferensi empat mata ini ditutup oleh Tjie, " Yaudah. Nanti kita sampaikan di rapat dewan mahasiswa." Sambil memasukkan koran-koran yang berantatakan penuh coretan, pungkas Abdul, "Ok, Tjie. Tapi Tjie, gua boleh tanya sesuatu nggak?" "Iya, kenapa?" "Kan gua pernah itu ke rumah lu. Pas itu kita mau ke kamar lu yang ada di bagian belakang rumah. Nah, pas sampe di kamar tengah dekat meja makan di dalamnya gua ngliat ada seorag pria ngadep ke pintu, lagi duduk dekat meja dan baca buku. Pas itu gua lupa nanya ke lu. Itu siapa?" "Oh, itu kakek gua. Namanya Franz Wiryodimejo. Dia emang kutu buku." "Buset. Eropa campur Jawa ya? Emang dulu kerjaannya apa?" "Pernah jadi dosen di Finlandia. Itu tahun 1950-an. Sebelumnya pernah mengajar di Georgia dan Armenia." Mendengar itu diam-diam Abdul terkejut. Dalam pikirannya, "Bukankah sekitaran tahun itu Georgia dan Armenia bagian dari Uni Soviet?" Ia ingat kembali secara samar buku yang kakeknya Tjie baca saat itu, buku dengan cover merah dengan siluet bersilang antara palu dan clurit. Seketika permenungannya disambar, "Woy! Malah bengong. Dah ya, gua balik dulu. Makasih ya." "Eh iya dah," masih dengan tatapannya yang bingung. Tjie segera pulang ke rumah, dan Abdul, duduk termenung bersama kesamarannya. Asumsi apa yang kira-kira mucul?

 

11 Maret 1966. Mulailah nasib sang pembuat onar dilahap siksa pedang, tali, pisau, dan senjata. Kecurigaan adalah prahara umum yang naik daun. Seseorang bisa memata-matai petani kalau-kalau caping atau cangkulnya diterima secara gratis.

 

Di rumah, berhadapan dengan televisi yang menampilkan geliat massa yang membungkam para komunis, ia berkata, "Tidak boleh dibiarkan. Tjie menjadi ragu karena kakeknya. Sial!" Persahabatan mereka tidak muncul ke permukaan. Tragedi di kelas berkepanjangan menaikan  beragam asumsi yang diaduki oleh realita kontemporer. Telepon rumahnya berdengung. Ibuinya keluar dari kamar hendak mengangkat telepon karena biasanya Abdul diam saja meski telepon itu berdering beberapa kali. Sambil beranjak dari sofa, "Eh Bu! Biar aku saja yang angkat teleponnya." "Lah, tumben Dul..." Segera saja Abdul mengangkat teleponnya, "Halo...halo..." "Halo! Apakah benar ini dengan Saudara Abdul?" "Ya, benar." "Ini Letnan Moses. Bagaimana perkembangan terbaru target kita, si Tjie?" "Maaf, Letnan. Bukan Tjie-nya tapi kakeknya Tije. Salah satu buktinya adalah cerita saya ke Letnan dua hari yang lalu bersama pengamatan saya kemarin malam." "Kemarin malam? Apa yang kamu amati?" Untung saja ibunya sudah pergi ke kamar lagi. Tapi kali ini sambil berbisik, "Pas tengah malam saya pergi ke rumah si target. Sejenak saya memantau melalui angkringan. Letaknya itu arah pukul 8 dari halaman depan rumahnya. Setelah saya memantau sekitar sepuluh menit, target keluar dari pintu sisi kiri rumah. Ia mengangkat segumpalan sprei. Tapi anehnya, sprei itu dikubur pada suatu lubang yang nampaknya sudah digali sebelumnya, kira-kira satu meter dari rumah, dekat pohon." "Pohon apa?" "Waduh. Saya tidak tahu nama pohonnya dan tidak saya identifikasi karena tiba-tiba saya ditanya oleh bapak penjual angkringan yang melihat gelagat saya yang aneh saat memandang rumah si target. Lalu saya pura-pura membeli gorengan dan pulang. Tetapi yang jelas pohon itu ada di sisi kiri rumah dan paling dekat dengan rumah." "Baiklah. Terima kasih atas infonya. Selamat pagi," lalu ditutup nada akhir telepon.

 

Pukul 7 pagi. Tak biasanya gang depan rumahnya sepi seperti ini. Biasanya ada tukang sayur dan tukang bubur yang singgah bersama ibu-ibu kampung yang ngrumpi. Kemuadian Tjie berpamitan dengan kakeknya dan pergi ke kampus. Orang tuanya masih di luar kota. Ke kampus hanya untuk menyerahkan naskah esai, tugas dari Pak Rusdi. Semua teman-teman yang lain juga datang, terkecuali Abdul. Saat tema-teman yang lain sudah pulang, Tjie tak juga melihat sosok Abdul. "Ehm...ke mana ya, Dia? Padahal gua datang pertama dan pulang terakhir."     

 

 

Sepi. Hanya ada dia dan sopir dalam bus yang ditumpanginya. Krenek pun tidak ada. Dunianya yang sepi berduka atas persahabatannya. Sekarang ia hampa -- bercinta bersama kehampaan. Dunia yang ramai menjadi begitu sepi. Sepi, sampai ia menginjakkan kaki di halte terdekat dari rumahnya.

 

 

"Astaga! Kakek...!!" Berlari ia menuju rumahnya. Pintu rumahnya yang berwarna putih terbuka lebar, tertinggal secara jelas beberapa corengan darah. Seketika ia merasakan kesendirian yang paling dalam saat melihat kamar kakeknya sudah tak beraturan. Apakah mungkin fisiknya yang ringkih itulah yang menyematkan tetesan darah di kasur dan jejak seretan yang bermuara di pintu rumah? Pintu sisi kiri rumahnya terbuka. Ia keluar melalui pintu itu. Ada lubang dekat pohon jati. Ada api dan abu-abu yang menjilat-jilat dari lubang itu. Ternyata, sebongkah buku sedang melewati pemanggangannya. Itu buku-buku kakeknya. Ia mematung -- menitiskan satu air mata pada lubang itu. Tak lama telepon rumah berdering, menggangu duka yang baru saja dimulai. Kembalilah ia ke dalam rumah dan mengangkatnya.

 

"Halo, apakah ini Bong?" Tanpa Tjie mengerti siapa lawan bicaranya, ia menjawab, "Ya, ini saya." Ternyata,  "Bong.....ini Abdul. Bagaimana? Sudah sadar? Mau bergabung bersamaku lagi? Membasmi buntut kebusukan Soekarno, seperti yang telah terjadi di rumahmu hari ini, mungkin?"   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun