Mohon tunggu...
Cornelius Juan
Cornelius Juan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya Cornelius Juan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masalah Lampau Jangka Panjang: Menghargai Kebhinekaan

24 Februari 2023   08:40 Diperbarui: 24 Februari 2023   08:56 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menciptakan dialog diharapkan membawa kehangatan bagi banyak pihak, bahkan bagi pihak yang sedang berkonflik sekalipun. Memang, dialog tidak selamanya mencapai suatu kesepakatan atau surat perjanjian yang menjamin suatu perdamaian. Namun, dialog adalah bersoal jawab secara langsung. Bersoal jawab tentang apa? Tentang apa pun yang menyangkut kehidupan bersama terutama tentang pluralitas kehidupan masyakarat kita -- masyarakat Indonesia.

Indonesia. Negara dengan pluralitas yang kompleks ini tidak pernah usai dengan persoalan diskriminasi, salah satunya diskriminasi agama. Kesanggupan untuk mewujudkan hidup berbangsa yang tidak hanya menjunjung nilai pluralisme melainkan multikulturalise, menjadi tanggung jawab besar masyarakat Indonesia. Multikultural tidak sekadar plural. Multikultural adalah model yang menjunjung tinggi pluralitas. Multikulturalisme pada dasarnya, mengundang semua pihak untuk merangkul seluruh kebhinekaan dengan menghidupkan nilai kesetaraan. Salah satu sarana untuk menanam, memupuk dan menyuburkan nilai ini adalah melalui pendidikan dan dialog.

Menyambangi Keberagaman

Dilansir dari liputan6.com -- belum lama ini Yayasan Mimpi Besar Indonesia (YMBI) membuka ruang dialog melalui program dialog kerukunan antar-agama di Sumatera Selatan. Program yang mereka laksanakan adalah menggelar dialog yang dibawakan oleh para ahli agama di lima rumah ibadah berbeda. Kegaiatan ini digelar pada tanggal 1-2 Februari 2023 bertajuk "Dialogue in Diversity". Empat rumah ibadah yang disambangi adalah Pura Agung Sriwijaya, Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya, Maha Vihara Dharmakirti, Gereja Katollik Santo Yoseph Palembang, dan Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) Taman Siswa Palembang.

Kegiatan ini diikuti oleh dua puluh peserta yang terdiri dari kaum muda dari berbagai keyakinan. Para peserta yang berpartisipasi sudah melewati proses seleksi. Kegiatan dimulai dengan workshop dan sharing session yang secara garis besar menekankan pada dialog, keberagaman dan toleransi. Para pembicara tidak terbatas pada para pemuka agama melainkan pembicara awam yang hadir secara daring. Para pembicara yang hadir secara daring adalah Dewirini Anggraeni dari Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) dan Dr. Angela Romano dari Queensland University of Technology.

Kegiatan ini mengundang para pemuda yang berpartisipasi untuk memperluas cakrawala mereka mengenai pluralitas dan usaha untuk menyikapi pluralitas di Indonesia. Pihak penyelenggara mengharapkan para pemuda yang ikut serta dalam kegiatan ini dapat menyebarkan pemahaman tentang keberagaman kepada khalayak umum dan menjiwai sikap serta tindakan yang selaras dengan pemahamannya tersebut. Aktivitas ini secara langsung menanamkan nilai multikultural kepada kaum muda secara positif dan bertahap. Realitas perbedaan disentuh secara lembut, mulai dari lingkup terkecil.

Mengenang Sejenak Bung Natsir

Pentingnya dialog juga ditangkap oleh Bung Natsir sebagai tokoh Islam yang senantiasa mengedepankan dialog untuk membangun nilai dan sikap toleransi, terkhususnya antar-agama. Ia adalah salah seorang apologet Islam dari Indonesia ini menganalisis konflik agama di Indonesia antara Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan) dari berbagai literatur, naskah kuno, dan Al-Quran. Beliau mulai aktif menggeluti persoalan ini sejak awal 1930-an sampai wafatnya pada 6 Februari 1993. Beliau memiliki fokus yang tajam pada persoalan ini karena beliau mengamati luka di dalam relasi antara agama Islam dengan Kristen melalui fakta hisitoris pada lingkup dunia seperti Perang Salib, dan lingkup Indonesia kala masa pejajahan seperti isu agama Islam sebagai the second class dalam masyarakat dan Kristen sebagai agamo Londo. Bagi beliau, agama membuka kesaksian tentang jalan keselamatan dari Allah yang idealnya direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaan. Hal ini dapat tercipta ketika agama-agama mencipatakan ruang dialog bagi diri mereka sendiri serta toleransi yang berpijak pada tujuan dialog dan aktualisasi nilai-nilai teologis-dogmatis pada gerak hidup manusia.

Dialog: Mendorong Multikulturalisme

Dari aktivitas yang dilaksanakan oleh Yayasan Mimpi Besar Indonesia dan pemikiran Bung Natsir, terlintas satu benang merah yaitu membangkitkan upaya hidup berdialog bersama seluruh elemen bangsa lalu bersama mewujudnyatakannya dengan sikap toleransi dan kesetaraan. Memang tidak semua dialog selesai dengan tanda damai. Barangkali masih tersisa api-api kebencian karena berbagai macam faktor intern dan ekstern masyarakat maupun ekses dari konflik-konflik sebelumnya. Namun usaha untuk menciptakan transformasi dalam masyarakat ke arah kebaikan bersama harapannya dapat senantiasa dilakukan. Entah bagaimana pun permasalahan ini selalu aktual dan relevan bagi masyarakat Indonesia dengan pluralitasnya yang kompleks. Tinggal bagaimana cara atau langkah-langkah aktif dan kreatif dalam menanggapi persoalan jangka panjang ini.

Keterlibatan seluruh elemen masyarakat ini perlu senantiasa ditingkatkan karena bentuk-bentuk konflik tidak akan selalu sama. Setiap masa atau periode, permasalahan yang menyangkut perbedaan dapat mucul melalui berbagai aspek-aspek di dalam masyarakat. Gagasan diskriminatif yang menyayat suatu entitas bisa muncul dari hal-hal yang sederhana dan dengan kemajuan teknologi yang ada. Gagasan itu menyebar ke khalayak umum dan dapat menjangkiti mereka. Belum lagi dengan generasi muda yang rentan terpapar anggapan atau gagasan yang diskirmintaif.

Pendidikan dan Dialog 

Permasalahan lampau jangka panjang ini harus menemukan jalan konkrit untuk selalu menciptakan pembaharuan pemikiran dan tindakan. Langkah-langkah seperti apa yang harus diambil untuk menanggapi permasalahan ini? Dari aktivitas yang telah dilaksanakan oleh Yayasan Mimpi Besar Indonesia, terlihat bahwa dialog telah diimplementasikan sejak mengenyam ilmu di berbagai tingakt pendidikan formal. Hal ini terlihat dari para peserta yang mengikuti acara ini.

Para pemuda dan pemudi sebagai subjek pendidikan tidak terdiri dari satu suku, ras, dan agama -- keberagaman pun harus hadir dalam satu ruang. Indikasinya bahwa pendidikan, baik dari segi formal atau non-formal, merupakan ruang untuk berjumpa dan belajar berdialog. Dari segi formal, seorang terdidik melaksanakan pembelajaran di kelas bersama para terdidik lainnya yang sudah pasti berbeda satu sama lain ditinjau dari banyak segi. Dari segi non-formal, mereka menjumpai berbagai anggota masyarakat yang jika disadari, lebih kompleks perbedaannya.  Dengan ini, diharapkan sekolah tidak hanya mewadahi para insan pelajar untuk menyantap ilmu yang sudah disediakan namun perlu penekanan pada pemahaman mengenai pluralitas, setidaknya dalam lingkup satu kelas. Sharing mengenai cara orang tua mendidik, adat-istiadat, dan kebiasaan bisa menjadi topik sederhana yang semakin mengenalkan para siswa mengenai nilai toleransi dan nantinya, membawa mereka pada sikap dan tindakan yang menjiwai semangat dialog dan kesetaraan.                                                                                                                                 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun