Mohon tunggu...
cornellia widiastuti
cornellia widiastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - www.cornelliaw.com

Ingin berteman dengan banyak kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebaikan yang Subyektif

2 Juni 2020   02:15 Diperbarui: 2 Juni 2020   02:26 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lari adalah sebuah olahraga yang sedang saya gandrungi. Sebelumnya saya banyak mengangkat beban, namun sejak pandemi menutup tempat kebugaran dimana saya berolahraga, saya menggantinya dengan berlari. 

Salah satu alasan saya suka berlari, tidak seperti mengangkat beban, saya bisa berlari sembari bermeditasi. Berawal dari keinginan saya untuk mengikuti meditasi Pitagoras, meski saya hanya melakukannya satu kali saja, yaitu untuk mengkaji kembali hari-hari yang akan atau telah saya lalui, meditasi ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Sore ini ada beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya.

Apakah arti dari kebaikan itu?

Apakah kebaikan itu subyektif, obyektif, ataukah keduanya?

Apakah ketika kita melakukan kebaikan, kita melakukannya demi kebaikan itu sendiri ataukah ego kita?

Karena tidak ada kebaikan yang tidak membuat kita bahagia, apakah mungkin bahwa selama ini kita berbuat baik untuk membahagiakan kita sendiri?

Karena semua hal tergantung perspektif dari orang lain. Orang lain akan membuat opini mengenai kita berdasarkan apa yang mereka mau dan bukan berdasarkan apa yang kita perbuat. 

Seberapapun baiknya kita, kebaikan tersebut akan tetap memiliki sisi yang berbeda bagi tiap orang. Ketika kita berusaha mendamaikan teman yang berkelahi, kita merasa kita adalah penengah yang baik, namun bagi mereka bisa saja kita dalah orang brengsek yang memiliki maksud untuk mendamaikan mereka. 

Tanpa adanya apresiasi ataupun reaksi, apakah kita akan tetap memilih kebaikan? apabila kita menjawab "tidak", menurut saya adalah wajar. Karena kita adalah manusia yang masih memiliki kemarahan, rasa iri dengki, rasa lelah, dan ego. 

Tapi bila kita menjawab "ya", maka kita sedang mengikuti prinsip filsuf-filsuf eksistensialis dan stoik seperti Aristotle maupun Marcus Aurelius, dan menurut saya inilah kebaikan yang sesungguhnya. Namun apakah sebagai manusia kita mampu melakukannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun