Awan si bungsu yang selalu dianggap lemah, manja, egois, nyatanya tidak seluruhnya benar. Pada beberapa adegan, terutama saat Awan masih menjadi pegawai magang di firma Arsitek memang diperlihatkan Awan yang egois karena ia tidak mau menerima kritik bahkan dari seniornya sendiri.
Namun di sisi lain, Awan tidak lemah dan manja. Hal ini dibuktikan dalam adegan ketika Awan kecewa setelah mengetahui bahwa ia bisa kembali ke tempat kerja hanya karena bantuan ayahnya, dan berani memutuskan untuk berhenti.
"Aku emang cuma anak bontot, tapi aku juga pengen kayak kakak-kakak ku tuh, bisa kerja karena jerih payah nya sendiri. Aku pengen bangga karna diri aku, Ayah!"
Stereotip mengenai anak bungsu pun berupaya ditepis dalam film. Tidak semua anak bungsu hanya ingin menerima sesuatu yang mudah didapat. Nyatanya anak bungsu pun ingin bebas menentukan jalan hidup dengan perjuangan sendiri seperti kakak-kakaknya.
Kuasa seorang Ayah sebagai Kepala Keluarga
"Kenapa semua harus pengennya ayah, sih?"
Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Awan, seolah mewakili perasaan Ibu dan Kakak-kakaknya. Terasa tidak ada celah bagi ibu dan anak-anaknya untuk berperan serta dalam membantu mengurus keluarga, sebab semua ditentukan dan diurus oleh Ayah. Menurut ayahnya, apa yang ia lakukan adalah hal yang terbaik untuk keluarga kecilnya.
Dalam dimensi budaya, apa yang dilakukan oleh Ayah adalah High Power Distance, di mana tatanan hierarkis dalam keluarga begitu terlihat. Ayah sebagai kepala keluarga mengatur segala yang ada dalam keluarga, ibu yang hanya diam dan mengikuti suaminya, Angkasa yang menanggung beban untuk selalu mengurus adik-adiknya, Aurora yang hanya diam mengikuti arus, dan Awan yang harus selalu dalam pengawasan.
Trauma di masa lalu yang begitu membekas rupanya membuat sang ayah begitu ingin menjaga kebahagiaan dan melindungi keluarganya, hingga tanpa sadar ambisi tersebut memunculkan otoritas yang justru tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan.