Di tempatku, Dinleo, kami sering minum air di bekas pijakan sapi. Ketika dahaga mendera, air di jejak sapi itu adalah pilihan terakhir bagi telaga haus mereda. Begitulah geografis mengajari kami agar menjadi magis. Nenek moyong kami tidak pernah meninggalkan prasasti atau kitab bertahan hidup. Tapi kami hidup dalam roh mereka dalam menaklukkan kehidupan di dunia yang keras. Demikianlah sepenggal kisah tentang masa-masa kecilku ketika berperan sebagai gembala kawanan sapi.Â
Nah... berikut ini adalah satu penggalan lagi. Tapi bukan kisah. Ini hanya sepenggal untaian kata untuk melukiskan puisi kepada pemilik kaki kanan dan sendal jepit pada ilustrasi di atas.
Sebuah malam yang panjang
Kala kawanan kucing mengeong
Kala para jangkrik jantan mulai berderik
Seperti seorang intelejen kau masih bergaya nyentrik
Aku kira kau sedang melancarkan peranmu
Mendesain suasana dan melakoni strategimu
Kita lebih intensif bertemu dan bercengkerama
Bahkan kadang tidak mengenal tata krama
Kau mencariku, Aku selalu menemukanmu
Kau selalu dekat denganku, Aku terlanjur membutuhkanmu
Lagu "Until th End" (Avenged Sevenfold) terus mengaung di kamarku
Mungkin lagu "Homesick" (Kane Brown) terus berdendang di relungmu
Akhir-akhir ini aku percaya "cinta adalah akumulasi dari kejadian-kejadian tak sengaja
Mungkin aku terlalu sering menonton Film Televisi (FTV) hingga tak terjaga
Tapi aku pikir demikianlah sebaiknya kisah kasih diracik
Agar kisah tidak berakhir dengan abadinya nestapa berderik
Sebuah malam menemukanmu denganku
Kau bilang kau suka denganku
Aku bilang semoga kau tidak akan bosan
Sebuah jalan dimulai dengan kencang, semoga tidak lancang.
Yogyakarta, 14 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H