Hari Senin (5/12/2016) kebetulan saya mendapat tugas giliran selama lima hari kerja ke Unit Layanan Filial (semacam kantor cabang) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banda Aceh di Kota Sigli, berjarak sekitar 110 km dari Banda Aceh, melewati pegunungan Seulawah Agam. Saya menempuhnya selama sekitar 2 jam 15 menit menggunakan motor.
Karena saat itu sudah memasuki masa akhir tahun anggaran, maka antrian permintaan pencairan dana menumpuk dan pekerjaan pun baru bisa kami selesaikan malam hari. Saat itu, Selasa (6/12), ratusan Surat Perintah Membayar (SPM) yang harus kami proses hingga selesai sekitar pukul 1 dini hari, Rabu (7/12).
Setelahnya, saya tidak langsung beranjak tidur, melainkan menulis artikel tentang eksibisi sepakbola yang saya jalani bersama rekan-rekan tim Oeang FC (klub sepakbola beranggotakan pegawai Kemenkeu Banda Aceh) hari Sabtu sebelumnya di Lhokseumawe. Kebetulan saat itu saya juga menantikan siaran langsung pertandingan Liga Champions Eropa di televisi, jadi sepanjang hari saya tidak tidur. Saya tertidur setelah menonton laga di televisi. Sepertinya baru sekitar satu jam saya memejamkan mata, ketika tiba-tiba tubuh saya diguncang-guncang dengan sangat hebatnya... gempa sedang terjadi.
Namun gempa kali ini terasa sangat kuat, bahkan gempa terkuat yang pernah saya rasakan. Gempa tsunami Banda Aceh tahun 2004, gempa Nias tahun 2005, serta gempa Takengon tahun 2013 tidak sekuat gempa di pagi buta kali ini (gempa terjadi sekitar pukul 5 pagi, kondisi menjelang Subuh di Aceh, langit masih gelap).
Tubuh saya terguncang kesana-kemari saat berusaha keluar dari kantor yang seketika gelap gulita karena listrik padam saat gempa terjadi. Dalam kegelapan saya mendengar suara barang-barang berjatuhan, saya sempat tersandung kursi lipat yang terjatuh di lantai, saya juga mendengar suara-suara retak,... "krak...krak". Tapi semua itu saya abaikan, karena saya berusaha keluar secepat mungkin untuk menghindari kemungkinan terburuk : bangunan kantor kecil ini roboh dan menimpa saya. Masih dalam kegelapan yang membuat panik luar biasa, saya menuju ke ruang layanan (lobi), membuka pintu kaca, dan sialnya,... masih harus melewati pintu besi geser yang terkunci.
Biasanya saya hanya menyangkutkan gembok dengan posisi tak terkunci pada lubang pengaman, tapi entah mengapa malam itu saya memilih untuk mengunci pintu geser sialan itu. Saya sempat meraba-raba besi dingin itu untuk mencari-cari letak lubang kunci. Saya berusaha tetap tenang, namun dalam kondisi gelap dan berguncang seperti itu, tetap saja saya terkena panic attack.
Sesekali saya kehilangan keseimbangan akibat guncangan yang begitu kuat. Pintu geser itu pun berhasil terbuka, saya langsung menghamburkan diri keluar kantor, sampai-sampai saya lupa ada anak tangga di bawah pintu, sempat kehilangan keseimbangan, tapi untungnya tidak sampai terjatuh.
Sesampainya di luar, saya memberanikan diri masuk kembali ke dalam kamar untuk mengambil jaket, dompet, dan ponsel. Karena jika terjadi sesuatu yang buruk, benda-benda ini setidaknya bisa diandalkan. Jaket untuk melindungi saya dari udara dingin, dompet berisi uang tunai dan segala kartu identitas dan pembayaran, ponsel selain untuk menghubungi keluarga dan kerabat, juga berguna untuk mendapatkan berbagai informasi yang saya perlukan.
Setelahnya, saya memutuskan untuk mengungsi ke arah Bireuen dengan mengendarai motor. Suasana saat itu masih gelap gulita karena listrik masih padam, dan warga sudah berhamburan keluar rumah. Saya kesulitan mengakses website BMKG, mungkin akibat banyak yang mengunjungi untuk mendapatkan info tentang potensi tsunami, atau memang sedang terjadi gangguan jaringan akibat gempa. Setelah menenangkan diri, saya menghubungi istri di Banda Aceh melalui telepon. Karena tak ada sambungan, saya pun menghubungi salah satu kolega yang tinggal di sebelah rumah, memintanya untuk mengecek keadaan istri dan putri kecil saya.
Setelah mendapat kabar bahwa anak dan istri saya baik-baik saja, serta mengetahui bahwa gempa tidak berpotensi tsunami, saya memberanikan diri berbalik arah dan kembali ke kantor. Saat itulah, dari arah berlawanan, jalanan dipenuhi kendaraan para pengungsi yang bergerak menuju ke Bireuen. Sepertinya mereka menghindari laut dan menuju ke dataran yang lebih tinggi. SPBU juga dipenuhi kendaraan yang mengantre. Saat dalam perjalanan kembali ke kantor, saya merekam kepadatan lalu lintas dari arah berlawanan, melalui ponsel, seperti di video berikut :
Terlihat bahwa jalanan dipenuhi oleh kendaraan yang datang dari jalur yang sama menuju Bireuen. Hanya sedikit orang yang menuju arah yang sama dengan saya. Beberapa orang juga berhenti di pinggir jalan, sementara beberapa pengendara mengambil jalur lawan arah dan hampir menabrak saya.