Mohon tunggu...
Cecen Core
Cecen Core Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara -

Seorang pria, ASN di Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan, part time blogger, Bonek, suami, dan seorang ayah. www.cecen-core.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Anak-anak Indonesia, Investasi Masa Depan Bangsa yang Tidak Menguntungkan?

26 Juni 2015   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:46 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya menulis blog ini karena terinspirasi oleh anak-anak Indonesia, mereka tetap berusaha tersenyum saat hak-hak mereka untuk hidup nyaman dan menjadi pribadi berkarakter, terampas, disadari atau tidak."


Suatu hari saya membaca sebuah kutipan menarik dari John F. Kennedy -mantan Presiden Amerika Serikat- yang ditautkan melalui sebuah foto oleh laman Facebook UNICEF Indonesia -sebuah organisasi nirlaba di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi dan menjaga hak-hak anak-anak dan kaum muda- yang berbunyi :

"Anak-anak adalah sumber daya yang paling berharga di dunia dan harapan terbaik untuk masa depan."

Sumber : Facebook UNICEF Indonesia 
Sesuai dengan tujuannya, organisasi ini menitikberatkan kepada anak-anak.  Sebegitu pentingkah anak-anak dan generasi muda hingga mereka dipercayakan sebagai pembawa harapan  terbaik untuk masa depan? Jadi teringat sebuah kutipan menarik lainnya yang --dengar-dengar sih-- diucapkan oleh Soekarno -Presiden R.I. pertama : 

"Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."

Sumber : Facebook UNICEF Indonesia 
Masalahnya, bagaimana definisi pasti dari 'mengguncangkan dunia?'  Ini bisa berarti positif, namun juga negatif.  Tergantung juga kepada pimpinan dengan karakter seperti apa yang bisa membangkitkan potensi mereka dan memimpin mereka untuk mengguncangkan dunia.  Namun dari sini, kita bisa menilai bahwa anak-anak dan pemuda adalah sebuah aset tak ternilai.  Peran mereka bisa menentukan masa depan setiap bangsa.  Peran seperti apa dan masa depan yang bagaimana, semuanya kita -generasi sebelumnya- yang menentukan.  Di Indonesia, dengan budaya amburadul seperti ini, tentunya jangan berharap terlalu banyak untuk mengangkat bangsa.  Bagaimana moral anak-anak dan pemuda bangsa bisa terangkat jika para pemimpin bangsa masih bermental korup dan egois?! Lalu ada satu lagi kutipan menarik : "Alam semesta bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan warisan untuk anak-cucu dan generasi muda penerus lainnya." Nah, alam semesta seperti apa yang mau kita wariskan?  Lebih penting lagi, pendidikan dan karakter seperti apa yang mau kita tanamkan agar mereka bisa menjadi harapan terbaik untuk masa depan?  Inilah pekerjaan penting kita untuk mendidik anak sejak dini mengenai kekuatan karakter dan mengenali potensi diri.  Caranya?  Metode paling baik adalah dengan memberikan contoh nyata kepada mereka, atau dengan kata lain menjadi tauladan.

  
Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan di awal tahun 2015 oleh UNICEF Indonesia, disebutkan bahwa dari sekitar 250 juta orang penduduk Indonesia, kira-kira 84 juta diantaranya -atau sepertiganya- adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.  Dengan tingkat kesuburan sebesar 2,6 dan harapan hidup saat lahir, yaitu 69 tahun untuk anak laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan, Indonesia akan terus memiliki penduduk anak-anak dan remaja yang bertambah dengan pesat.  Menyadur dari perkataan Soekarno di atas, ini jelas merupakan sebuah potensi yang lebih dari cukup untuk sekedar 'mengguncangkan dunia'.  Masalahnya dibalik potensi besar tersebut juga terdapat permasalahan yang harus segera diatasi oleh berbagai elemen dan lapisan masyarakat, seperti kemiskinan, tingkat pendidikan -termasuk kualitas pendidikan, kesehatan, dan pola didik yang diterapkan oleh orang tua dengan mental jaman dulu-nya yang kini jelas-jelas sudah outdated dan kurang bisa diterima oleh akal anak-anak muda jaman sekarang.

Smartphone tidak ada di era 90-an, anak-anak di era millenium juga tidak akrab dengan permainan tradisional.  Lalu apakah orang tua harus memaksakan hal yang sama untuk anak-anak mereka?  Sudah pasti tidak.  Saya bukan bermaksud sok pintar, tetapi seringkali kita lihat di tempat umum -saat bersama dengan keluarga- si anak malah asyik bermain smartphone, sementara orang tua sibuk sendiri dengan urusannya, padahal di saat-saat seperti ini, kebersamaan bisa terjalin lebih akrab, komunikasi antar anggota keluarga seharusnya bisa mencapai tahap maksimal.  Apakah smartphone sebaiknya dilarang?  Tidak juga.  Tergantung bagaimana, kapan, serta berapa lama anak bermain dengan smartphone.  Di atas semua itu, komunikasi dan interaksi verbal dan personal adalah segalanya.

Jalanan juga tak luput dari anak-anak yang belum cukup umur untuk berkendara dengan bebas, terkadang tanpa helm dan ugal-ugalan.  Dimana peran orang tua yang seharusnya mengawasi dan mengontrol mereka?  Seharusnya anak-anak yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) tidak diperbolehkan berkendara di jalanan umum.

Secara tidak langsung, kesalahan-kesalahan didik semacam ini akan membentuk karakter anak yang egois, tidak percaya diri, introvert, dan bahkan rentan depresi. Ayolah, Ayah dan Ibu, saatnya membangun kembali keakraban dan komunikasi, meski hanya sederhana!  Singkirkan sejenak gawai (gadget) Anda, orang tualah yang seharusnya membuat anak tersenyum kegirangan, bukan rangkaian aplikasi atau permainan video.

"Semua anak Indonesia memiliki hak atas kesehatan, pendidikan yang berkualitas, martabat, dan kesempatan untuk memenuhi potensi mereka."


Selain keluarga, pola pikir dan karakter anak juga terbentuk di lingkungan sekitarnya, khususnya di sekolah.  Para guru dan pengajar diharapkan menjadi mentor yang bukan hanya memaksakan anak-anak menjadi pintar secara instan, namun juga menjadi orang tua kedua dengan mengajarkan apa yang lebih penting dari kecerdasan : Jiwa sosial, empati, kejujuran, kedisiplinan, dan kelapangan hati untuk berbagi.  Saya tidak habis pikir dengan aturan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan standar kelulusan siswa.  Bagaimana mungkin proses belajar bertahun-tahun di sekolah ditentukan sukses atau tidaknya melalui tes selama tak lebih dari seminggu?  Sedangkan proses belajar itu sendiri lebih dari sekedar buku pelajaran, papan tulis, lembar kerja, dan serangkaian barang lain yang apabila dibakar maka tak akan bernilai sama sekali.  Proses belajar ada di dalam otak, dan yang terpenting proses belajar ada di dalam hati.  Anak-anak belajar bergaul dengan kawan-kawannya, mereka belajar berbagi dengan sesama, mereka belajar menghormati gurunya, dan mereka belajar bagaimana menggunakan waktu-waktu di sekolah untuk membuat  mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun