Kisah ini aku alami tahun 2022 lalu. Kala itu aku bersama mama berkunjung ke rumah paman di desa pelosok. Karena putri keduanya akan menikah dengan pria pilihannya yang berasal dari desa sebelah. Dengan mengendarai sepeda motor, perjalanan kita tempuh kurang lebih empat puluh menit.
Rumah paman cukup luas, terdiri dari tiga kamar utama yang terletak berjejer di ruang tamu menyatu dengan ruang tengah. Kamar paling depan digunakan untuk shalat - biasanya dipakai oleh putri kedua dan ketiganya, karena pada merantau jadi kamarnya kosong. Kamar yang berada di tengah ditempati putri keempat dan kelima. Lalu, kamar ketiga berada dekat pintu dapur diisi oleh putri pertama beserta anak dan suaminya. Satu kamar lagi letaknya di ruang belakang, dihuni oleh paman dan bibi.Â
Kala itu aku disuruh menempati kamar ketiga yang terletak di dekat pintu belakang, sebab kosong ditinggal penghuninya merantau. Hanya saja ini bersifat sementara, karena satu hari sebelum hari akad nikah penghuninya akan pulang.Â
Kamarnya lumayan lebar, terdapat sebuah ranjang tidur kayu dengan panjang 2,5 meter dan lebar 2 meter. Di bawahnya ada banyak sekali mainan anak-anak dari mobil-mobilan, robot-robotan, sepeda dan mobil mainan yang bisa ditumpangi anak-anak. Juga terdapat satu buah lemari dua pintu, serta sebuah meja hias.
Aku menempati kamar itu seorang diri, mama beserta bibi dan keluarga perempuan yang lain tidur lesehan di ruang tengah, sedangkan kamar lain dibiarkan kosong.
Hari pertama, kedua, dan ketiga berjalan dengan baik. Tidak ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Hingga tiba pada malam itu, sejak memasuki magrib hawa di rumah itu tidak seperti biasanya - usai shalat tubuhku dilanda kantuk berat, padahal semalam tidur dalam waktu yang cukup, siang hari pun tidak begitu banyak aktivitas. Entah mengapa pula malam itu rumah mendadak sepi, menyisakan aku dan paman, yang lain sedang keluar menyambangi keluarga yang baru saja mengambil gadis (tradisi Lampung apabila seseorang akan menikah). Karena sepi aku memaksakan diri untuk tetap terjaga, ditemani segelas kopi hitam tanpa gula. Segelas kopi habis sudah diseruput, namun kantuk tak kunjung menghilang. Aku pun menyerah, merebahkan diri di atas sopa di ruang tamu.
"Wan, bangun, bangun," ujar Paman membangunkan ku. "Masuk kamar sana kalau mau tidur," tambahnya. - Mataku masih terasa berat, untuk sekadar membukanya saja malas rasanya. Entah baru berapa menit mataku terlelap.
Aku enggan beranjak dari sofa, hatiku menolak untuk segara memasuki kamar yang biasa aku tempati untuk tidur itu. Mungkin udara malam itu yang membuat sedikit berbeda, ditambah suasana sepi penghuni rumah yang sedang keluar. Sekitar setengah jam kemudian, mama, bibi, dan lainnya pun tiba. Aku memutuskan untuk masuk kamar karena kantuk makin menjadi.
Saking tidak tahan akan kantuk yang melanda, kasur hanya ku sapu dengan selimut. Bahkan, doa pun hanya sekadar membaca Basmallah. Aku tidur di sebelah sisi kiri ranjang, sedangkan di sebelah kanannya ku isi guling dan bantal agar tidak berasa kosong. Sejak masuk kamar memang rasanya agak aneh, tidak biasa sebagaimana malam-malam yang lalu. Dan, anehnya lagi segitu aku merebahkan diri di atas kasur, seketika mata terlelap, seolah terhipnotis.
Aku merasa berada di antara situasi sadar dan tidak sadar. Tetapi kedua mataku tidak mampu untuk dibuka. Karena merasa ada sesuatu yang aneh, kucoba menggerakkan badan - dari ujung kaki kurasakan sekujur tubuh kaku, berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Â Jantungku berdegup kencang, rasa takut mulai menyelimuti. Pikiranku terbang pada situasi yang pernah ku alami persis seperti malam ini, batinku berkata jangan-jangan ada sosok ghaib datang. Dan benar saja, sekilas bayangan hitam menyerupai sosok berbadan gemuk, tinggi, besar, turun dari arah atas kepala ranjang menuju sisi kiri ku, lalu melintasi atas kepala dan menepi pada sisi kananku. Kucoba melawan, tidak ingin membiarkan tubuhku ditimpa begitu saja olehnya. Bermacam dzikir aku lantunkan, dari bacaan tasbih, tahmid, takbir, hingga sholawat. Namun, semakin aku melawan justru tenaga semakin berkurang. Nafasku tersengal, sesak, berat rasanya. Tapi aku tidak ingin menyerah, jika aku pasrah itu sama saja membiarkan nyawaku melayang dengan sia-sia.
Sosok itu nampaknya memiliki kekuatan yang dahsyat, dari ayat kursi hingga dzikir belum juga mampu menepisnya. Tubuhku se1makin lemas, tenaga banyak tersita olehnya, rasa ingin pasrah dan menyerah, namun hati kecil masih ingin berusaha sedikit lagi, setidaknya bisa membuka mulut untuk berbicara - memanggil bantuan dari luar. Setelah dua kalimat syahadat dilantunkan dengan perlahan, disambung bacaan shalawat. Akhirnya aku bisa membuka mulut, tapi ajaibnya ketika aku menyebut kata mama untuk meminta pertolongan, justru yang keluar adalah kalimat 'Allah, Allah, Allah' dengan keras.
Setelah beberapa kali menyebut kalimat Allah dengan lantang, aku mendengar suara adik sepupuku menyebut namaku dari luar. Seketika semua bergegas masuk kamar  menyadarkan ku. Aku yang berhasil tersadar langsung mengucap syukur Alhamdulillah, sembari memegang tangan mama dengan kuat agar tidak meninggalkanku. Rasa takut masih menyelimuti, sebab kekuatan sosok itu yang begitu kuat. Bahkan, sekujur tubuhku basah karena keringat, mungkin disebabkan perlawananku tadi yang membuat tubuhku lemas dan menguras banyak tenaga. Degup jantung pun masih belum stabil.
Kulihat ke arah atas ranjang, betapa kagetnya diriku ternyata ada sebuah keris berselimut kain putih di sana. Ku ceritakan semua yang terjadi dari awal masuk kamar hingga peristiwa dahsyat itu hadir kepada mama dan juga paman. Mendengar hal itu, paman segera menghampiri keris tersebut - memandangnya dengan lamat, entah apa yang ia baca atau katakan, seolah sedang berkomunikasi. Aku yang sudah tidak kuat itu langsung melipir keluar kamar, menenangkan diri.
Paman bilang jika keris yang ada di kamar tersebut merupakan keris keramat peninggalan kakek dari ayahnya beliau yang juga merupakan kakek buyutku. Katanya, aku sudah beberapa malam menempati kamar itu tapi tidak izin sama sekali. Apalagi malam itu bertepatan pada malam jumat kliwon. Aku mana tahu jika harus demikian, lagi pula aku rasa itu hanya keris biasa. Mungkin, salahku juga yang sempat berbuat aneh di kamar itu.
Kejadian ini membuat diriku kapok. Pantas saja sejak maghrib hawa rumah terasa berbeda, mungkin hal tersebut juga bagian dari peristiwa barusan. Setelah pulih aku bergegas mengambil wudhu, lalu shalat isya dan membaca Yasin. Namun, aku belum sanggup untuk kembali ke kamar itu, karena takut jika hal sama terulang kembali, bisa-bisa nyawaku melayang saking kuatnya kekuatan yang dimiliki sosok hitam tadi. Kuputuskan untuk menyambung tidur menumpang di kamar paman.
Dari kejadian ini aku memetik hikmah, bahwa di mana pun kita harus saling menghargai. Terlebih di kamar tadi ada benda keramat, maka sikap dan perilaku harus dijaga. Pun demikian apa yang paman katakan, bahwa kita sebagai penumpang ya harus minta izin dengan penghuni yang sudah terlebih dulu menempatinya. Namun, dalam hal ini aku tidak salah, karena memang aku tidak tahu-menahu dengan keris tersebut, paman juga tidak pernah menjelaskan hal itu. Tapi, aku mengaku salah, sebelumnya juga berbuat aneh di kamar itu; nonton film yang ada adegan dewasa hingga pikiranku diisi oleh hal negatif. Dan, malam ini  karena diserang kantuk yang luar biasa membuat aku lupa untuk shalat isya dan membaca doa sebelum tidur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI