Aku kembali menatap gemulai awan yang berserakan dalam buaian angin di atas sana. Pesona yang diperlihatkannya, penuh dengan aroma kedamaian. Kedamaian hati yang selalu mengingatkanku pada bingkisan terindah yang akhirnya menjadi pelecut manis sisa hidupku.
Sepanjang umur aku tidak pernah melihat ada yang istimewa pada tanggal kelahiranku, pun hingga saat ini. Tak menjadi soal hari apa saat itu atau hari apa saat ini, kuanggap sama, sebuah rentang waktu antara pagi hingga pagi lagi. Atau malam hingga malam lagi?
Ah, awan-awan itu sekarang riuh tersapu angin,
memaksa ingatanku berlari kecil ke saat itu, ketika sebuah kejutan menyenangkan di sebuah titik waktu dimana secara matematis bisa dikatakan aku telah menginjak usia dua puluh tahun. Aku ingat hari itu, kue perayaan pribadi pertamaku, kue bronis yang diecer seribuan dengan modifikasi sebuah lilin yang menggelikan. Sungguh tak terduga, hadiah itu datang dari teman-temanku yang apatis. Tidak, aku bukan pribadi melankolis yang mudah mengekspresikan perasaan secara spontan. Aku bersikap sangat biasa saja walau di dalam aku bahagia sampai sesak. Hadiah yang indah.
Pun aku tetap tak memandang hari lahirku istimewa, hanya saja di hari itu aku menyadari bahwa ternyata aku juga punya harta karun yang tak ternilai. Kenapa aku tidak pernah sadar bahwa harta itu ada sekian lama di sekitarku? Itu saja yang kusesalkan.
Kupikir itulah hadiah yang paling indah yang pernah kudapat, ternyata tidaklah demikian, ada yang jauh lebih indah. Sebuah bingkisan.
Masih segar di ingatan, dua hari lalu aku berbincang dengan teman baikku lewat sebuah media sosial. Tidak seperti biasanya, ia tidak seriang seperti yang seharusnya. Ia seakan merenungkan sesuatu lewat kicauannya. Rasa penasaranku terusik, jadi kusapa dia dengan bertanya.
"Ada apa Ting?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa. Hanya merasa sedikit berbeda, aku baru mendapat sebuah pengalaman berharga."
"Apa itu? Ayolah ceritakan."
"Ya kurasa ini layak untuk dishare. Tadi siang aku bertemu dengan seorang anak. Ada yang tidak biasa dengannya."
"Apa yang tidak biasa?"
"Tangannya. Saat itu aku tidak tahu, jadi kutanya,'Dik, kenapa tanganmu?' Anak kecil tadi terdiam sebentar sebelum memberikan jawaban yang sungguh membuatku merasa bersalah karena bertanya. Kalau aku tahu mungkin aku tidak akan bertanya. Tapi tahu tidak apa jawabannya?"
"Ceritakan padaku."
"Anak kecil tadi menjawab, 'Oh, ini (maaf) cacat dari lahir Kak. Tapi gak apa-apa, keren kok, jadi mirip Shanks.' Jawaban itu ia akhiri dengan senyum. Aku tak mampu berkata-kata saat itu Mir, aku hampir menangis mendengarnya."
Bagi beberapa dari kalian mungkin tidak mengenal siapa Shanks, sebuah nama yang disebut oleh anak kecil tadi.
Shanks adalah tokoh fiksi protagonis di dalam serial komik Jepang tentang era bajak laut, One Piece, karangan Eichiro Oda. Shanks kehilangan sebelah tangannya karena melindungi tokoh utama dalam komik tersebut. Tapi dengan satu tangan Shanks tetap mampu menjadi bajak laut baik hati yang sangat hebat, sangat disegani di lautan.
Cerita ini memberikan efek yang kurang lebih sama terhadap diriku. Aku benar-benar terenyuh hingga terdiam beberapa lama. Bocah yang ditemui oleh temanku tadi seakan-akan menjawab pertanyaan yang selama ini kucari jawabannya.
Memang, sebagai manusia kita tentu mengalami hal baik dan buruk. Tak jarang kita mengeluhkan hal buruk yang terjadi pada diri kita. Hal buruk membuat setiap manusia merasakan kesedihan, pun sebaliknya dengan hal baik yang membawa kepada kebahagiaan. Kita bukanlah robot, bersedih bukanlah dosa, tentu kita selalu mempunyai hak untuk bersedih. Hal itu sah saja karena kita manusia.
Lalu, pertanyaan yang selalu kuajukan begini, dengan berhaknya kita untuk bersedih, lantas apakah itu juga artinya kita mendapatkan hak untuk menyerah dalam hidup? Apa benar kita mempunyai hak tersebut?
Lagi, dugaanku salah. Kukira nantinya aku akan mendapat jawabannya dari seorang yang jauh lebih berpendidikan, kukira dari seorang filsuf kudapat pencerahan. Tapi ternyata jawaban itu kudapat dari seorang bocah yang ingusnya mungkin baru saja terkendali.
Jawaban?
Tentu saja, kita masih belum berhak untuk menyerah. Demi masalah apapun itu.
Bocah ini telah memberikan bingkisan indah yang tidak hanya kepadaku, melainkan juga kepada kita dan kepada dunia dengan menunjukkan ketegarannya. Sungguh egois jika kita mengeluhkan hal-hal remeh hanya karena kita terbiasa dikelilingi kenyamanan. Perilaku hedon secara tidak kita sadari telah mengikis rasa empati kita terhadap sesama. Seakan rasa itu hanyalah sebatas fatamorgana. Dengan ini bocah itu membuktikan bahwa semangatnya itu benar-benar realita, benar-benar ada.
Aku harap ini juga bisa menjadi bingkisan indah untuk kalian. Sebuah kado untuk perayaan kemanusiaan. Kado untuk hadirnya rasa syukur yang mungkin selama ini kita abaikan.
Inilah bingkisan indah yang ia berikan padaku. Senyum yang tak akan pernah pudar, senyum untuk selalu berjuang. Aku rasa inilah hadiah ulang tahun kita, ulang tahun untuk dunia.
Selamat ulang tahun dunia, dan aku di sini mengantarkan bingkisan terindah dari seorang bocah hanya untukmu.
Percayalah, harapan untuk segala sesuatu yang baik masih ada.
Arak-arakan awan putih tadi perlahan mulai tersingkir, menyisakan langit biru yang sangat cerah di musim mendung ini. Seolah dunia ini membalas senyummu, bocah kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H