Saya masi ingat betul tempo doeloe waktu harga mie ayam Cuma 250 perak, waktu yang empunya motor bebek bisa diitung dengan jari, waktu tivi-tvi masih pada item putih, dan yang lebih tepat waktu saya masih sekolah Madrasah Diniyah yang menurut orang-orang dikampung saya diistilahkan sebagai “Sekolah Sore”. Satu hal yang masih melekat dibenak dan pikiran saya adalah pelajaran bahasa arab dengan model pengajarannya yang menurut saya unik dan mudah diingat-ingat oleh anak-anak. Pak Ustad, begitulah sebutan guru yang mengajar di Madrasah Diniyah menerapkan pola pengajaran yang sederhana tapi mudah dicerna. Sebagai contoh adalah model pengajaran dengan lagu dan syair.
Contoh:
Wahidun/setunggal
Na’lun/sandal
Kurotun/bal
Mahidatun/bantal
Ana/aku
Yamsi/melaku
Yastari/tuku
Mutoridun/kelaku
Dengan model pembelajaran seperti itu, sampai sekarang pun masih membekas di ingatan saya. Uniknya lagi murid-murid disuruh menghafal dan maju satu persatu untuk melafalkannya dengan lantunan yang semerdu mungkin. Sebenarnya bukan hanya pelajaran bahasa arab yang dibuat model begitu. Untuk pelajaran Akhlaq dan Tajwid pun di buat serupa sehingga anak-anak mudah sekali menghafalnya. Saya percaya bagi teman-teman saya yang sudah puluhan tahun meninggalkan Madrasah Diniyah, tentu masih ingat dengan syair dan lagunya. Maka dari itu kiranya saya ingin menyapaikan Terima kasih yang tak terhingga kepada Pak Ustad yang telah memberikan banyak ilmu dan menjadi teladan buat saya. Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H