Mohon tunggu...
Zainab El Khadijah
Zainab El Khadijah Mohon Tunggu... Guru - Ghuroba

Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sedihnya Saat Kehilangan Hewan Kesayangan

13 November 2021   07:57 Diperbarui: 13 November 2021   08:36 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kucing adalah hewan peliharaan yang paling imut, menggemaskan dan menghibur. Awalnya, kucing-kucing liar berdatangan untuk sekadar meminta makan, betah lalu menetap. Mungkin kucing-kucing itu merasa mendapat perhatian. Mereka, kucing-kucing yang terbuang, tidak diharapkan di beberapa tempat. 

Rumahku, oleh tetangga dijadikan tempat pembuangan anak-anak kucing. Sehingga seperti tempat beternak kucing. Keluargaku, bukan keluarga seperti tetangga, jijik dan tidak suka dengan kucing. Alasannya, karena bulunya dianggap menjadi penyebab flu. Juga ketika buang kotoran, sering sembarangan. Serta nakal, sering mencuri lauk ikan. Anggapan seperti itu masih melekat di beberapa benak orang. 

Berbeda dengan keluargaku, ketika ada kucing datang meminta makan, mesti dikasih. Kecuali ada beberapa kasus yang menjengkelkan, kucing itu diusir oleh ibu karena beberapa sebab; 

1. Saat buang kotoran 

Dapurku, bukan dapur lantai. Masih berbentuk tanah. Kucing dengan sifatnya buang kotoran dengan mengeruk tanah lalu menutupinya, dapurku sangat cocok untuk dijadikan tempat buang kotoran. Ibuku sebagai tuan rumah yang mengurus kebersihan dibuatnya jengkel. Muncullah kemarahan, lalu membuangnya jauh. 

2. Masuk ke rumah 

Kucing desa berbeda dengan kucing kota. Kucing sangat suka guling-guking di tanah. Tentu badannya menjadi kotor. Lalu masuk rumah naik ke kasur. Alamat, ibuku bakal marah besar. Di situlah terjadi percekcokan antara ibuku dan si empus. 

Meski diusir berkali-kali oleh ibu, ujung-ujungnya mereka balik lagi. Ya ibuku, mendiamkan, pas makan, ya tetap ngasih makan kucing-kucing nakal itu. Rasa kasihannya lebih besar dari marahnya. 

Sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup dengan kucing di rumah. Meski tidak dijadikan hewan peliharaan. Maksudnya tidak niat untuk melihara. Jadi belum ada rasa ikatan emosional. Setelah menginjak remaja, aku mulai tertarik dengan kucing. Karena ada kucing besar, yang nurut. Muncul rasa suka juga dengan bayi kucing. Lagi-lagi ibuku ingin membuang bayi-bayi kucing yang dilahirkan di rumah. Katanya, kucing-kucing dikhawatirkan tambah banyak, yang bikin repot, satu, buang kotoran sembarangan. Belum ada cara untuk mengontrol kucing agar buang kotoran di luar yang jauh dari jangkauan hidung. 

Saat ibu mau membuangnya, aku sembunyikan bayi-bayi kucing itu. Akhirnya, ibuku menerima keputusanku untuk melihat kucing. Bayi-bayi kucing itu dirawat dengan kasih sayang. Dengan pengalaman seadanya. Hanya bisa memperhatikan makannnya. Tidak hanya manusia, bayi kucing juga rentan sakit. Dalam proses perkembangannya, bayi kucing itu sakit. Beberapa bayi kucing itu mati satu persatu. Sedih. Aku tidak tahu cara mengatasi kucing sakit. Karena pada waktu itu aku masih anak-anak. 

Bayi kucing yang selamat tinggal satu. Jantan, berbulu hitam putih. Ukiran bulunya sangat bagus, seakan berpakaian. Hitamnya seakan memakai jas, putihnya seakan memakai kaos kaki. Kuberi nama Sarkoji. Bayi kucing itu tumbuh dengan baik, meski belum waktunya disapih oleh sang induk, tubuhnya sehat. Induknya mati digantung oleh tetangga. Sungguh menyayat hati. 

Sarkoji, titik awal memelihara kucing di rumah. Dia seperti keluarga sendiri. Setiap  mau berangkat bepergian, dia mengantar sampai pagar rumah. Saat datang, dia menyambut. Langsung naik ke tubuh seperti anak minta gendong. Langsung mencium muka. Jika ibu pergi ke rumah saudara yang dekat dengan rumah, dia selalu ikut. Kadang ikut menginap juga. Ibuku juga mulai menyayangi kucing ini. Sama sepertiku. 

Hubungan emosional mulai tercipta. Sarkoji kucing yang dimanja. Makanannya dijaga, tempat tidurnya di kasur, juga kebersihannya diperhatikan. Bercanda bersama, Sarkoji kucing yang lincah. Ibuku pernah mengajaknya bermain. 

Kebersamaan tidak ada yang abadi, kucing kesayangan ini, jatuh sakit. Lemas. Mungkin dehidrasi. Tetapi aku sangat minim pengetahuan. Aku hanya memaksanya makan daging ikan namun seleranya sudah tidak ada. Tiga hari kemudian kucing itu mati. Duh, tangisku pecah. Benar-benar terpukul dengan kepergiannya. Beberapa hari aku masih meratap. Jika ingat kenangan, kembali menangisi. Sampai kebawa mimpi. 

Mencoba rela melepaskan. Akhirnya bisa bangkit dari kesedihan. Meski sampai kapanpun dia tak tergantikan. Dia benar-benar hadir sebagai pelipur lara. Saat aku sedih, lelah, dengan menggendongnya, hilang seketika itu penatnya pikiran. 

Bertahun-tahun aku mencoba mencari penggantinya. Namun, tak jua aku temui. Sulit mendapatkan. Bagiku, bukan fisiknya. Tetapi karena ikatan emosional yang erat. 

Sekitar 15 tahun kemudian, mencoba merawat bayi kucing lagi dari kucing pendatang. Beranak 3 kucing dengan tubuh gemuk-gemuk. Sangat menggemaskan. Aku minta saran nama ke teman yang juga penyuka kucing. Nama mereka Dila, Safira dan Farel. Kucing-kucing imut. Setiap hari tak pernah terlewat untuk menggendongnya. Jika bepergian, kerinduan muncul. 

Kucing-kucing itu dirawat dengan hati-hati. Teknologi telah canggih, ketika kucing sakit segera mencari tahu di google. Pernah ketiga kucing menderita sakit dehidrasi seperti kasus sebelumnya. Ditemukan cara tradisonal, diberikan oralit, campuran gula dan garam. Alat seadanya, sedotan kecil air minum gelas. Rutin diberikan minum itu. Awalnya tidak mau menyusu, malamnya langsung nafsu makannya kembali pulih. Berangsur mereka bertiga pulih. Cara ini jadi andalan saat sakit lemas (dehidrasi). Alhamdulillah manjur. 

Tiga kucing ini mungkin karena kembar. Satu sakit, semuanya sakit. Mereka tidak pernah berpisah. Pernah juga kena sakit mata parah. Lumayan lama. Aku mencari obat mata di shopee. Lupa nama obatnya. Manjur juga. Pernah juga sakit muntah-muntah dan demam. Dikasih obat parutan kunyit dan gula. Alhamdulillah manjur juga. 

Tetapi kisah perpisahan, kembali lagi. Safira, mati tertabrak. Farel, mati keracunan. Dila menghilang tanpa jejak. 

Safira, betina berbulu hitam ada putihnya sedikit di bagian perutnya. Jadi ketika gelap. Sulit dibedakan antara dia dan kegelapan malam. Dia suka menyendiri di pinggir jalan tempat motor berlalu lalang. Mungkin ada pengendara yang tidak melihat kucing itu dan tak sengaja menabraknya. Tangis histeris adikku meledak. Selama aku pergi ke luar kota, adikku yang merawat. Wajar jika dia paling terluka. 

Farel, kucing jantan cool, dia suka menangkap tikus. Tetangga sedang meracuni tikus, tikus itu dimakan sama si Farel, tanpa sepengetahuan. Dia menghilang selama sehari semalam. Datang-datang dia sudah dalam keadaan lemas sambil menderu seakan menahan sakit. Mulutnya mengeluarkan darah. Beberapa lama dia kejang-kejang lalu mati. Sedih. Memang tak sesering saat Safira mati. Jelas di depan mata dia sait. Sayangnya untuk obat keracunan belum menemukan. Juga telat memberi obat. Kami ikhlaskan kepergiannya. 

Dila, betina yang cantik. Bodynya bagus. Juga ukuran bulu di kepalanya seakan membentuk poni rambut. Dia satu-satunya kucing yang paling dimanja. Dengan porsi makan paling banyak di antara yang lain, sebab dia kucing yang sering mengalah ketika makanannya diambil. Namun, entah apa sebabnya sampai sekarang belum diketahui. Dia menghilang tanpa jejak. Malamnya seakan pamit sebagai tanda terakhir kali. Biasanya tidur di luar. Tiba-tiba datang minta dielus. 

Ibuku, sangat perhatian dengan makanannya. Setiap Senin-Kamis dibelikan ikan khusus kucing. Jika habis jatahnya, seringkali mengalah tidak makan lauk ikan laut untuk diberikan kepada kucing-kucing di rumah. Andai dikalkulasikan jatah untuk kucing mungkin mencapai 2 juta selama 1 tahun lebih. 

Ketika seseorang memilih untuk memelihara hewan piaraan. Pasti rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Saat kehilangan, merasakan duka yang mendalam. Karena hewan-hewan itu seperti keluarga sendiri. Meski hewan tidak bisa mengekspresikan senyum dan tangis. Tetapi mereka juga merasakan perasaan tuannya. 

Sekian itu pengalaman memiliki hewan piaraan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun