Senja ini membawa Ishak dalam terawang awan masa depan. Sekali-kali dia melihat hembusan angin masa lalu yang mengingatkan dirinya pada dua pesan yang dibawanya dari sebuah kampung kecil terpencil. Dua pesan dari dua orang yang sangat berbeda dengan umur, tapi mereka dengan misi yang sama menasehatinya dengan cinta dan hati. Senyum itu mengundang air mata jatuh tiba-tiba bak hujan di siang kemarin tanpa ditandai dengan senandung mendung.
Setahun rasanya Ishak berada di kota impiannya untuk menggapai cita yang teramat tinggi jika diukur dari teman-teman sebayanya di kampung. Entah karena pendidikan di kampung Ishak memang rendah ataukah Ishak memang punya budaya asing dari adat kampungnya. “Mama, saya masih mau sekolah lebih tinggi lagi” pinta Ishak setelah resmi memegang ijazah yang tertinggi di kampungnya, ijazah SMA yang didapatnya dengan perjuangan 12 kilometer perjalanan dari tempat tinggal Ishak. Ibu yang penuh pengertian hanya bisa senyum.
***
Setahun sebelum senja itu, Maemunah adik kecil Ishak yang baru saja lulus SD mempersiapkan makanan Ishak sebelum berangkat ke kota. Ishak yang tengah sibuk beserta ibunya yang sudah berumur melipat pakaian yang akan dibawanya ke kota. Hari itu Ishak akan melanjutkan pendidikan tingginya di kota sekitar 360 kilometer dari kampung halamannya.
Sitti Nuraeni atau biasa dipanggil Ibu Sitti, nama ibu Ishak yang sehari-harinya menjadi guru mengaji anak-anak di kampung. Terpancar cahaya keikhlasan melepas anak laki-laki satu-satunya yang dia miliki. Sekali-kali senyum tersungging melihat Ishak sibuk mengecek perlengkapan yang akan dibawanya. Empat tahun yang lalu, Sahar ayah Ishak meninggalkan mereka merantau ke negeri seberang tanpa ada berita lagi. Sehingga ibu ishak membanting tulang mencari sedikit pendapatan dan biaya sekolah Ishak dan Maemunah.
“Ma, semua sudah siap” lapor Ishak dengan senyum bahagia sambil mengusap peluh setelah membereskan perlengkapannya. Binar mata Ibu Sitti membalas senyum Ishak sambil menyeka tanda haru di wajah keriputnya. “iya nak, mari kita makan bersama dulu, munah ambilkan piring kakakmu nak” panggilan mesra Ibu Sitti seraya memegang pundak Ishak.
“makanan ini enak sekali Ma, pasti mama yang buat” seperti biasa Ishak memuji masakan ibunya yang katanya paling enak sedunia. “sayur itu masakanku kakak, mama yang ajari saya” balas Munah yang dari tadi senyum yang juga ingin diperhatikan oleh ibu dan kakaknya. “iya, akan lama lagi kamu makan masakan Mama nak, makan yang banyak” ujar ibu Sitti yang gembira melihat kedua anaknya yang sudah besar meski hanya dia seorang diri yang menafkahi keluarga mereka.
“jadi apa rencanamu saat di kota nanti nak?” Tanya Ibu Sitti pada Ishak. “Begini ma, setelah saya di kota, saya akan mendaftar di kampus sana” jawab Ishak setelah menelan makanannya. Kebiasaan mereka akan selalu berdiskusi saat berada di meja makan. Ini pesan dari kakek Ishak selagi masih hidup mengatakan kalau semua masalahmu selesaikanlah di meja makan.
“terus nanti kamu tinggal dimana nak?” Tanya Ibu Ishak lagi. “nanti saya tinggal di masjid dulu ma, kata teman Ishak kalau di kota itu banyak mahasiswa memilih tinggal di masjid untuk sementara ma” senyum Ishak dengan penuh semangat.
“ Ingat nak, kata Rasul kita ada dua dosa yang akan disiksa di dunia terlebih di akhirat, berzina dan durhaka sama orang tua.” Ibu Ishak memulai menasehati Ishak dengan lembut.
“ Kamu itu laki-laki nak, jangan sampai kamu rusak anaknya orang di kota. Sudah banyak contohnya di tv kalau mama lagi nonton di tetangga sebelah. Apalagi ada juga contohnya sepupu kamu yang baru saja pulang dari kota dan sudah membawa istri dan anaknya tanpa diketahui oleh orang tuanya. Ingat nak, kamu punya cita-cita yang tinggi, jangan sampai cita-citamu kandas karena anaknya orang.” ujar Ibu Ishak, sekali-kali mengunyah makanan di tangannya. Ishak mendengarkan dengan penuh haru.
“Ingat nak, suatu saat kamu berhasil di kota, jangan lupa orang tua dan adikmu di kampung. Kamu sudah pernah dengar kan kisah Maling Kundang? Jangan sampai kamu ikut jejak Maling Kundang. Kalau kamu punya sedikit uang cobalah untuk menghubungi Mama di sini. Mama hanya bisa berdoa di sini nak.” Lanjut Ibu Ishak.
“Mama, doakan Ishak supaya saya tidak mengecewakan Mama.” Jawab Ishak sambil menyudahi makanannya. “Munah, apa nasehatmu untuk kakak?” Tanya Ishak tiba-tiba kepada adik kecilnya yang dari tadi memperhatikan perbincangan Ibu dan kakaknya. “ ummm kalau Munah cuma mau nasehati kakak, jangan lupa tiap hari berdoa rabbilgfirli wali wali dayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shagiraa itu saja kakak supaya kakak tidak lupa sama Mama“ Senyum Munah dengan bangga.
Air mata Ishak tak tertahankan sambil memeluk adiknya yang mungil. “Terima kasih adik.” Ucapnya yang masih memeluk adiknya. Haru juga terlihat pada raut wajah Ibu Sitti melihat kemesraan anak-anaknya.
Tok tok tok “Ishak, mobil sudah mau berangkat, cepat!” suara tetangga Ishak yang juga akan mengantarnya ke kota malam itu. Dengan membaca doa dan mencium kening Ishak, ibu Sitti melepas anak sulungnya untuk menuntut ilmu. “Moga kamu tidak seperti bapakmu nak” Ujar Ibu Sitti dalam hati yang masih mengingat suaminya yang telah lama pergi tanpa ada kabar selama empat tahun berpisah.
***
Tanpa terasa sudah 12 bulan tak ada kabar dari Ishak untuk orang tua dan adiknya. Ishak hampir saja melupakan nasehat ibunya tahun lalu. Dua bulan yang lalu dia berkenalan dengan seorang gadis manis teman kampusnya yang berbeda fakultas. Kedekatan mereka sangat erat sampai-sampai Ishak sudah jarang tinggal di masjid dan menginap di kosan teman baik Ishak yang berdekatan dengan kosan gadis pujaan hatinya.
Untungnya teman baik Ishak adalah anak yang juga dari kampung lain sangat menghormati orang tuanya. Meski dia lebih beruntung dibandingkan Ishak, namun dia tidak pernah sombong kepada Ishak. Lagipula Ishak beruntung memiliki teman yang sering mengingatkannya ke jalan yang lurus kembali.
“Ishak, kelihatannya kamu semakin dekat dengan Rosa yah?” Tanya Dirman teman Ishak kepadanya. “Iya, memang kenapa? Iri yah?” jawab Ishak sambil bercanda. “Ishak, saya memang iri sama kamu, tapi bukan itu maksudku bertanya soal itu. Saya Cuma mau mengingatkan, jangan sampai kamu terlalu dekat dan terjadi hal yang bisa mengandaskankan cita-citamu. Ingat Ishak, orang tuamu di kampung pasti sudah menunggu kesuksesanmu” jawabnya simpel disertai senyum khas dari Darmin.
Jantung Ishak sedikit lebih kencang dari biasanya. Darahnya serasa naik hingga ubun-ubun. Sudah enam bulan Ishak tidak mengabari kepada ibunya di kampung. Dia sudah lupa semua pesan dari ibu dan adiknya semenjak mengenal lawan jenis dan kesibukannya di kampus. “Saya benar-benar menjadi anak yang durhaka” ucapnya dalam hati dengan rasa dosa yang teramat dalam.
***
Sekali lagi air mata Ishak jatuh bersama bintang harapan yang digantungnya di langit mati. “Tuhan, sudah lama dua nasehat yang pernah kupegang terlepas di tanganku, entah itu terlepas sejak kapan. Tuhan, satu doa sudah tak lagi kumohonkan kepada-Mu, saya tak tahu apakah Engkau benar-benar menutup ingatanku ataukah saya terlalu angkuh tak mau lagi meminta satu doa pesanan adikku saja. Tuhan, dua dosa pesanan ibuku yang harus dihindari kini sudah menjadi teman hidupku. Aku semakin merasa jauh di sisi-Mu karena dosa ini. Kini aku menyesal sengaja membuang jauh-jauh pesan dua orang yang paling kusayangi di dunia ini. Tuhan, iznkan diriku memperbaiki semua kerusakan dalam hati dan seluruh tubuhku ini.”
Doa yang sering terucap dalam hati Ishak semenjak dirinya terbaring sekitar sepuluh hari lamanya akibat kecelakaan yang menimpanya saat dia menyeberangi jalanan kota saat menghindari Ibu dan kedua adiknya yang datang dari kampung. Tak disangka air mata sang ibu masih mujarab membuat anaknya mengalami kebahagiaan dan juga kesusahaan di dunia ini. Ishak lebih memilih panggilan anak orang yang baru saja dikenalnya ketimbang sapaan lembut dari Ibunya yang penuh peluh dari kampung.
Setidaknya Ishak masih beruntung memiliki ibu yang sangat berharap akan kesembuhan dari anak sulungnya yang punya cita-cita tinggi. “Ibu selalu mendoakanmu yang terbaik nak” bisikan Ibu Ishak seakan menjadi harapan baru dari setiap cerita penggapaian cita-citanya kelak. “Terima kasih adikku mengajarkanku satu doa agar tak melupakan ibu. Terima kasih ibu mengingatkanku pada dua dosa yang harusnya tak kudekati. Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberikanku kesempatan sekali lagi.” Pinta syukur Ishak seiring senyum dari Ibu, Adik, dan Darmin yang menemaninya malam ini.
Rumah Nalar, 5 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H