Mohon tunggu...
Ilham Baharuddin
Ilham Baharuddin Mohon Tunggu... -

aku Berpikir, maka aku ada" sebuah kata magic yang tertera dalam benakku sampai membuatku berani mengelolah sebuah blog yang bisa dibaca oleh orang yang mau berpikir saja. ilham baharuddin, nama yang tertera di akta kelahiranku. Saya dilahirkan 21 tahun yang lalu di pinggiran laut pulau kalimantan. Sekarang saya berdomisili di kota daeng makassar. Tempat dimana saya bertekad untuk merubah hidupku ke arah yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Doa, Dua Dosa

5 September 2012   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mata Ishak tak tertahankan sambil memeluk adiknya yang mungil. “Terima kasih adik.” Ucapnya yang masih memeluk adiknya. Haru juga terlihat pada raut wajah Ibu Sitti melihat kemesraan anak-anaknya.

Tok tok tok “Ishak, mobil sudah mau berangkat, cepat!” suara tetangga Ishak yang juga akan mengantarnya ke kota malam itu. Dengan membaca doa dan mencium kening Ishak, ibu Sitti melepas anak sulungnya untuk menuntut ilmu. “Moga kamu tidak seperti bapakmu nak” Ujar Ibu Sitti dalam hati yang masih mengingat suaminya yang telah lama pergi tanpa ada kabar selama empat tahun berpisah.
***
Tanpa terasa sudah 12 bulan tak ada kabar dari Ishak untuk orang tua dan adiknya. Ishak hampir saja melupakan nasehat ibunya tahun lalu. Dua bulan yang lalu dia berkenalan dengan seorang gadis manis teman kampusnya yang berbeda fakultas. Kedekatan mereka sangat erat sampai-sampai Ishak sudah jarang tinggal di masjid dan menginap di kosan teman baik Ishak yang berdekatan dengan kosan gadis pujaan hatinya.

Untungnya teman baik Ishak adalah anak yang juga dari kampung lain sangat menghormati orang tuanya. Meski dia lebih beruntung dibandingkan Ishak, namun dia tidak pernah sombong kepada Ishak. Lagipula Ishak beruntung memiliki teman yang sering mengingatkannya ke jalan yang lurus kembali.

“Ishak, kelihatannya kamu semakin dekat dengan Rosa yah?” Tanya Dirman teman Ishak kepadanya. “Iya, memang kenapa? Iri yah?” jawab Ishak sambil bercanda. “Ishak, saya memang iri sama kamu, tapi bukan itu maksudku bertanya soal itu. Saya Cuma mau mengingatkan, jangan sampai kamu terlalu dekat dan terjadi hal yang bisa mengandaskankan cita-citamu. Ingat Ishak, orang tuamu di kampung pasti sudah menunggu kesuksesanmu” jawabnya simpel disertai senyum khas dari Darmin.

Jantung Ishak sedikit lebih kencang dari biasanya. Darahnya serasa naik hingga ubun-ubun. Sudah enam bulan Ishak tidak mengabari kepada ibunya di kampung. Dia sudah lupa semua pesan dari ibu dan adiknya semenjak mengenal lawan jenis dan kesibukannya di kampus. “Saya benar-benar menjadi anak yang durhaka” ucapnya dalam hati dengan rasa dosa yang teramat dalam.
***
Sekali lagi air mata Ishak jatuh bersama bintang harapan yang digantungnya di langit mati. “Tuhan, sudah lama dua nasehat yang pernah kupegang terlepas di tanganku, entah itu terlepas sejak kapan. Tuhan, satu doa sudah tak lagi kumohonkan kepada-Mu, saya tak tahu apakah Engkau benar-benar menutup ingatanku ataukah saya terlalu angkuh tak mau lagi meminta satu doa pesanan adikku saja. Tuhan, dua dosa pesanan ibuku yang harus dihindari kini sudah menjadi teman hidupku. Aku semakin merasa jauh di sisi-Mu karena dosa ini. Kini aku menyesal sengaja membuang jauh-jauh pesan dua orang yang paling kusayangi di dunia ini. Tuhan, iznkan diriku memperbaiki semua kerusakan dalam hati dan seluruh tubuhku ini.”

Doa yang sering terucap dalam hati Ishak semenjak dirinya terbaring sekitar sepuluh hari lamanya akibat kecelakaan yang menimpanya saat dia menyeberangi jalanan kota saat menghindari Ibu dan kedua adiknya yang datang dari kampung. Tak disangka air mata sang ibu masih mujarab membuat anaknya mengalami kebahagiaan dan juga kesusahaan di dunia ini. Ishak lebih memilih panggilan anak orang yang baru saja dikenalnya ketimbang sapaan lembut dari Ibunya yang penuh peluh dari kampung.

Setidaknya Ishak masih beruntung memiliki ibu yang sangat berharap akan kesembuhan dari anak sulungnya yang punya cita-cita tinggi. “Ibu selalu mendoakanmu yang terbaik nak” bisikan Ibu Ishak seakan menjadi harapan baru dari setiap cerita penggapaian cita-citanya kelak. “Terima kasih adikku mengajarkanku satu doa agar tak melupakan ibu. Terima kasih ibu mengingatkanku pada dua dosa yang harusnya tak kudekati. Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberikanku kesempatan sekali lagi.” Pinta syukur Ishak seiring senyum dari Ibu, Adik, dan Darmin yang menemaninya malam ini.
Rumah Nalar, 5 September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun