"Kalau kita makan daging babi sepotong kecil saja, maka seluruh orang akan menyebut anda kafir! Tapi coba kalau Anda makan harta anak yatim, memfitnah orang lain, berbuat syirik (menyembah lebih dari satu Tuhan), tidak ada yang ribut!"Â (Ir. Soekarno)
Tahun 1940, Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia menulis di surat kabar "Panji Islam" ihwal kondisi masyarakat muslim saat itu. Dia mengkritik cara keberagamaan sebagian masyarakat muslim yang menurutnya terlalu kaku, jumud dan terlampau fiqh oriented. Fiqh oriented?
Dengan kritikan tersebut, Soekarno menegaskan dirinya bukan seorang pembenci fiqh, ia justru menegaskan bahwa fiqh adalah suatu keharusan yang harus ada dalam satu masyarakat muslim. Maksud Soekarno dengan fiqh oriented adalah sikap menjadikan fiqh sebagai tujuan dan standar mutlak dalam menjalani kehidupan. Hal ini membuat laku keberagamaan muslim tersebut hanya sebatas menunaikan kewajiban fiqh. Bahkan pada level kondisi tertentu, fiqh menjadi sebatas prosedural yang lepas dari tujuan penetapan hukumnya.
Soekarno memberi contoh kasus yang terjadi saat itu, dimana seorang ustadz "memperkosa" muridnya dengan cara seolah agama "melegalkan" hal tersebut. Bagaimana bisa demikian?
Begini ceritanya, si ustadz yang mengaku dirinya sebagai seorang yang dekat dengan Allah tersebut mengajarkan bahwa perempuan boleh disedekahkan, dengan demikian perempuan, berapapun umurnya harus selalu ditutup mukanya karena haram dilihat oleh lelaki yang bukan suaminya. Nah... karena perempuan-perempuan itu harus diajar langsung olehnya, mereka harus "dihalalkan" terlebih dahulu. Begitulah modus si ustadz untuk menyalurkan birahi nafsunya. Ia mencoba "mengibuli Tuhan". Menggunakan prosedur fiqh guna memenuhi nafsu birahinya semata.
Tulisan itu oleh Soekarno diberi judul Islam Sontoloyo. Untuk lebih detail cerita tersebut, anda bisa membaca langsung cerita tersebut di dalam tulisannya.
Sikap beragama semacam itu acapnya masih banyak berkembang disekitar kita sampai saat ini. sikap beragama yang hanya sekadar memenuhi prosedural fiqh semata dan lepas dari substansi ditetapkannya hukum tersebut. Sebut saja sebagai contoh mudahnya adalah sikap kita saat berpuasa. Jika kita masih melaksanakan puasa hanya sebatas ritual fiqhiyah —dimulai dengan niat dan sahur sebelum waktu imsak, menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, kemudian diakhiri dengan berbuka ketika sudah maghrib.Â
Jika dilihat dari kacamata fiqh, tentu hal tersebut sudah memenuhi kewajiban berpuasa sebagai seorang muslim karena sudah memenuhi prosedur fiqhiyah-nya. Namun apakah berpuasa hanya sekadar memenuhi prosedur fiqh itu saja? Apakah dengan demikian kemudian tujuan disyariatkannya puasa sudah terpenuhi? Sedangkan, sambil berpuasa kita acuh dan tidak peduli dengan kondisi sosial di sekitar kita? Kita masih suka menyebarkan berita bohong, masih suka mengumpat, mencaci, dan menyakiti saudara-saudari kita di dunia maya dan di dunia nyata? Lalu apa guna puasa kita? Sekadar memenuhi prosedur kewajiban fiqh dan hanya sekadar akumulasi pahala serta bersifat individualistik. Beribadah hanya untuk kepentingan individu.
Sikap beragama yang fiqh oriented ini juga dapat menyebabkan pemeluk agama tersebut hanya melihat sisi dhohiriah, beragama hanya berarti melakukan ritual-ritual yang kosong makna. Sikap beragama yang simbolik. Terjebak simbol-simbol ritual beragama, tapi lepas dari substansi (hikmah) disyariatkannya ritual tersebut.
Jika kita lihat, pada hakikatnya setiap kewajiban ritual itu senantiasa memiliki efek terhadap lingkungan material di sekitar kita. Shalat selain sebagai media komunikasi hamba dengan Tuhan, juga berarti harus membuat si mushalli jauh dari perbuatan fahsya dan mungkar. Perbuatan keji, menyakiti sesama dan alam sekitar. Demikian yang tertulis dalam firman-Nya.
Puasa, meskipun merupakan ibadah yang Allah secara langsung memberikan ganjarannya, namun juga mengisyaratkan kita untuk selalu peduli pada kondisi saudara kita yang kekurangan. Mengisyaratkan kita agar menjaga dan menahan diri dari laku yang tidak baik. Isyarat untuk senantiasa peduli dan memahami saudara kita yang kurang beruntung. Begitupun dengan kewajiban zakat fitrah, haji, dan lain-lain. Semuanya meskipun adalah satu urusan hamba dan Tuhan namun efek atau akibat materilnya adalah urusan hamba dan hamba, bahkan lebih jauh lagi menjadi urusan hamba dan alam sekitarnya. Mengutip Cak Nur, urusan vertikal yang berimplikasi horizontal.
Soekarno menulis dan mengingatkan kita puluhan tahun lalu agar menjauhi sikap beragama yang simbolik seperti itu. Beragama yang individualistik dan hanya mengejar akumulasi pahala tapi lupa dengan urusan sosialnya. Soekarno mengingatkan kita untuk menjauhi sikap jumud yang menerima doktrin dengan buta tanpa disaring dengan akal dan pencarian kebenaran (tabayyun).Â
Beliau mengajak kita untuk lepas dari sikap fiqh oriented yang menjebak dan "menyesatkan". Menegaskan untuk kembali kepada rokh islam. Menjadi muslim yang substantif bukan simbolik. Jika kita masih terjebak dengan hal-hal "jahil" di atas, maka anda harus bersiap untuk menjadi seorang muslim yang —meminjam lagi bahasa Soekarno, Sontoloyo!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H