Budaya konsumtif merupakan satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang akut dan tidak bisa lepas dari prilaku konsumtif. Analisis budaya yang berkaitan dengan konsumsi sendiri bisa dilihat bermula dari perhatian politik marxisme. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam pandangan marxis terdapat perbedaan antara formasi social kapitalis dan pra-kapitalis. Masyarakat pra-kapitalis bukanlah masyarakat konsumen sebagaimana masyarakat kapitalis. Dalam masyarakat pra-kapitalis, barang-barang diproduksi sebagian besar adalah untuk konsumsi segera atau ditukar dengan barang-barang yang lain (barter).
Namun, berbeda halnya dengan masyarakat kapitalis. Munculnya kapitalisme menandakan mulainya sebuah system yang didasarkan pada pasar, uang dan keuntungan. Disini, konsumsi sudah terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana sebagaimana dalam masyarakat pra-kapitalis. Konsumsi menjadi aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, transisi dari masyarakat pra-kapitalis (feodalisme) ke kapitalisme adalah transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Disini, konsumsi sudah terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana sebagaimana dalam masyarakat pra-kapitalis.
Konsumsi menjadi aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, transisi dari masyarakat pra-kapitalis (feodalisme) ke kapitalisme adalah transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Selain itu, dalam masyarakat kapitalis, buruh membuat barang adalah untuk mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki kuasa atas barang-barang yang mereka produksi sendiri; malah, barang-barang yang mereka produksi ini dijual di pasar untuk mendapat keuntungan. Disinilah terjadi proses transaksi jual-beli (pasar) yang biasanya terjadi antara produsen dan konsumen.
Hanya saja, dalam kasus buruh tadi selaku orang yang membuat barang, untuk mendapatkan barang-barang mereka harus membelinya dengan uang. Jadi, para buruh ini juga menjadi “konsumen”, walaupun mereka membuat barang, untuk mendapatkannya mereka harus membelinya. Dari sinilah kemudian muncul masyarakat konsumen. (lihat John Storey, 2007:114).
Dalam masyarakat konsumen, juga muncul apa yang disebut sebagai ideology konsumerisme, yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Dalam hal inilah kita bisa melihat konsumsi sebagai satu system diferensiasi, yaitu satu system pembentukan perbedaan-perbedaan status, symbol, dan prestise social. Di era ini, masyarakat hidup dalam satu bentuk relasi subjek dan objek baru, yaitu relasi konsumerisme.
Menurut Williamsons, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam Hipersemiotika (2003: 148), menyatakan bahwa konsumsi adalah kegiatan eksternalisasi. Menurutnya, “……… membeli dan memiliki, di dalam masyarakat kita, memberikan rasa mengontrol. Bila anda membeli sesuatu, anda akan merasa bahwa anda mengontrolnya.” Dengan kata lain, bagi Williamsons, tindakan konsumsi akan memberikan anda perasaan kebebasan terhadap suatu barang tertentu. Kebebasan dan daya kontrol anda terhadap barang tersebut memberikan informasi atau makna-makna bahwa anda “berkuasa” atas barang tersebut.
Disini, konsumsi masuk dalam fenomena bahasa dan petandaan (makna), dengan demikian konsumsi secara tidak langsung masuk dalam kawasan semiotika. Misalnya, seseorang mengkonsumsi barang-barang mewah untuk menunjukkan dan menandai prestise socialnya sebagai orang yang berkelas tinggi. Makan di restoran mahal untuk menandai dan menginformasikan diri sebagai orang yang kaya. Akhirnya, seseorang mengkonsumsi sesuatu bukan hanya sekedar untuk menghabiskan nilai guna (utilitas) saja, akan tetapi untuk menginformasikan makna-makna tertentu atas dirinya.
Seseorang seakan mengontrol objek konsumsi sebagai alat dalam proses pertandaan dan komunikasi social. Ideology konsumerisme yang menuntut dan mendorong perhatian pada pengerukan keuntungan oleh kapitalisme secara tidak langsung sebagaimana yang disampaikan Williamsons menumbuhkan perasaan kebebasan atas objek yang pada akhirnya menuntut kebutuhan subjek untuk mengonsumsi objek tersebut.
Herbert Mercuse, dalam John Storey (2007:145) mengemukakan bahwa kebutuhan yang ditawarkan kapitalisme bagi masyarakat konsumen adalah kebutuhan palsu. Ia mengembangkan beberapa argument untuk menunjukkan kebutuhan palsu yang dibentuk kapitalisme melalui “iklan”. Misalnya, melalui iklan, dalam masyarakat tumbuh keinginan untuk menjadi jenis orang tertentu, memakan makanan tertentu, meminum minuman khusus, menggunakan barang-barang khusus, dan atau menjadi apa saja yang ditampilkan begitu menarik melalui iklan. Dalam hal ini, konsumsi seolah menjadi solusi dan jawaban terhadap segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan.
Selain Mercuse, Boudrillard juga melihat dengan skeptic terhadap daya control atas objek dalam masyarakat konsumen. Seperti Mercuse, Bodrillard memandang bahwa daya control dan daya kuasa yang dianggap dimiliki oleh konsumen atas objek adalah bersifat semu belaka (Yasraf amir Piliang, 2003: 148). Dalam masyarakat konsumen, terjadi perubahan radikal dalam relasi konsumsi atas masyarakat konsumen itu sendiri. Menurut Boudrillard, kita tidak lagi memiliki daya control terhadap objek-objek ini. Kata Boudrillard, kita justru hidup sesuai dengan apa yang diinginkan oleh objek-objek tersebut, kita berjalan mengikuti iramanya dalam siklus perputaran yang tidak ada putus-putusnya.
Alih-alih menguasai objek-objek tersebut, masyarakat malah terperangkap dalam systemnya. Bahkan, dalam masyarakat konsumen menurut Boudrillard, tidak hanya fungsi objek konsumsi yang semakin kompleks, jenis, dan nilai yang ditawarkan juga semakin banyak dan beraneka ragam dengan kecepatan tempo yang semakin cepat. Akibatnya, proses pengendapan nilai dalam masyarakat konsumen, khususnya bagi kalangan yang memiliki budaya konsumtif tinggi sepeti kalangan selebriti dan remaja kelas menengah atas perkotaan, kini sudah tidak ada lagi, digilas kecepatan konsumsi itu sendiri.
Bagi masyarakat yang tenggelam dalam arus konsumtif ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-objek konsumsi. Konsumsi disini dilandasi nilai tanda dan citraan semata ketimbang nilai utilitas. Logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (saya mengkonsumsi karena saya butuh) tapi adalah logika hasrat (saya mengonsumsi karena saya ingin). Maka, tidaklah mengherankan jika dalam masyarakat konsumen saat ini kita melihat orang membeli sesuatu bukan karena dia butuh pada barang tersebut, tapi semata-mata karena hasrat ingin memiliki semata. Dan kesadaran serta hasrat ini muncul dari peran iklan sebagai pengkomunikasi pesan kepada konsumen.
Overproduksi sebagaimana diterangkan di atas telah membuat semacam perlombaan dan perebutan konsumen, maka ketrampilan dalam menarik hasrat konsumen, termasuk melalui iklan sangat diperlukan. Disinilah kemudian kita menemukan apa yang disampaikan Umberto Eco, bahwa semiotika “….. pada prinsipnnya adalah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)”., termasuk penggunaan iklan dalam pemasaran di masyarakat konsumen oleh kapitalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H