Bagi masyarakat yang tenggelam dalam arus konsumtif ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-objek konsumsi. Konsumsi disini dilandasi nilai tanda dan citraan semata ketimbang nilai utilitas. Logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (saya mengkonsumsi karena saya butuh) tapi adalah logika hasrat (saya mengonsumsi karena saya ingin). Maka, tidaklah mengherankan jika dalam masyarakat konsumen saat ini kita melihat orang membeli sesuatu bukan karena dia butuh pada barang tersebut, tapi semata-mata karena hasrat ingin memiliki semata. Dan kesadaran serta hasrat ini muncul dari peran iklan sebagai pengkomunikasi pesan kepada konsumen.
Overproduksi sebagaimana diterangkan di atas telah membuat semacam perlombaan dan perebutan konsumen, maka ketrampilan dalam menarik hasrat konsumen, termasuk melalui iklan sangat diperlukan. Disinilah kemudian kita menemukan apa yang disampaikan Umberto Eco, bahwa semiotika “….. pada prinsipnnya adalah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)”., termasuk penggunaan iklan dalam pemasaran di masyarakat konsumen oleh kapitalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H