Mohon tunggu...
Cordova Putra Handri Ansyah
Cordova Putra Handri Ansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia 2014 yang memiliki ketertarikan dalam fokus Industri Modern, Teknologi dan Masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cina dan Indonesia dalam Revolusi Industri dan Jaringan Teknologi Informasi

23 Maret 2017   12:10 Diperbarui: 23 Maret 2017   21:00 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki era kontemporer, kemajuan ICTs atau Information Communication & Technology mendorong adanya asimilasi teknologi di sejumlah sektor perkembangan negara, terlebih di dalam sektor industri-teknologi-ekonomi. ICT yang melatarbelakangi integrasi industri di dalam jaringan global ( Interconnected Industrial Network System ) dari berbagai negara, menciptakan tantangan baru yang berasal dari faktor strategic accessibility in advanced technology mechanism sehingga mendorong berbagai negara untuk 'nyemplung' di dalam pemutakhiran teknologi manufaktur di sektor industri, seperti halnya asimilasi mesin untuk meningkatkan jumlah produksi barang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. 

Di dalam perspektif Tiongkok, masyarakat industri Tiongkok terbagi menjadi dua tipe, yaitu low-wages labour danelite industrialists. Elite industrialist memiliki fungsi untuk mengawasi proses produksi yang dikerjakan oleh labours serta menghubungkan jaringan industri yang bersifat overseas. Saat ini, Tiongkok membentuk sebuah bluperint baru yang disebut sebagai Made In China 2025, dimana Tiongkok berusaha untuk melakukan integrasi industri dalam level global. Sebelumnya, hal ini telah terjadi pada tahun 1978 dimana adanya kesepakatan antara pemerintahan sentral dan daerah untuk menciptakan sistem perekonomian inklusif yang berlandaskan Smithian Market-Size Principle untuk meningkatkan daya saing produksi serta memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional yang melahirkan Public Merchant Class dan penyatuan goods market dari sejumlah daerah di Tiongkok yang mendorong terciptanya konsep open market atau pasar terbuka. Tentunya, hal ini tidak terjadi dalam satu waktu, melainkan setelah tiga kali kegagalan beruntun sejak kekalahan dalam Perang Opium kedua atas Inggris pada tahun 1850.

Berbicara mengenai industri kreatif yang dipenuhi oleh inovasi, Tiongkok pada tahun 2003 telah menghasilkan sejumlah produk inovatif seperti halnya teknologi nano hingga robot yang menjadi assistive manufacturing commodity bagi negara-negara berbasis manufaktur seperti Jerman, Inggris, dan Jepang di pasar teknologi global. Kemduian, pada rentang tahun 2004 hingga 2014, Tiongkok juga sangat unggul dalam hal Intellectual Property yang ditunjukan dengan paten produk sebanyak 900.000 buah, melebihi Amerika Serikat yang hanya berjumlah sekitar 300.000 paten dan Jepang sebanyak 250.000 paten. Hal ini menurut sejumlah negara seperti halnya Indonesia, merupakan tantangan sekaligus kesempatan emas untuk bisa terlibat di dalam persaingan industri global. Bangkitnya Tiongkok mengingatkan kita pada peristiwa Russo-Japanese War pada tahun 1905, dimana dengan teknologi industri persenjataan Jepang yang modern - atas bantuan sejumlah ilmuwan Belanda di Pulau Dejima - mampu mengalahkan kekuatan Eropa dan "kulit putih" Rusia, yang menciptakan sebutan baru bagi Jepang di kalangan negara-negara Barat, yaitu Yellow Peril atau bahaya dari kaum berkulit kuning, tetapi harapan bagi negara-negara Asia lainnya untuk mengakhiri imperialisme barat, seperti Indonesia sebagai salah satunya. 

Menyaksikan auman naga yang bergeming kencang di seantero global, Indonesia secara pragmatis memang belum mampu menyetarakan kekuatan industrinya dengan Tiongkok yang unggul dengan dua faktor utama, yaitu faktor geografis dan perekonomian. Mari kita ingat bahwa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau yang sebagaian besar belum memiliki connectivity infrastructure seperti jembatan, jalan raya, atau rel kereta api. Sebaliknya, sejak tahun 2006, Tiongkok telah menggagas sebuah proyek nasional yang dikenal dengan Megaproject untuk menghubungkan daerah-daerahnya dengan rel kereta api yang dikenal dengan Rel Tibet, untuk mempermudah percepatan produksi domestiknya. Kemudian, melihat dari faktor ekonomi, kemajuan industri Tiongkok juga didorong oleh dukungan berupa insentif terhadap pendirian industri baru dan pengawasan ketat oleh perbankan negaranya, seperti halnya pembangunan China Banking Regulatory Commission (CBRC) untuk mengatur pergerakan arus modal negaranya. Uniknya, Tiongkok melihat bahwasanya kekuatan pemerintah masih sangat vital guna menghindari perpecahan antara Creative Powers dan Destructive Powers di dalam market forces di Tiongkok. Sehingga, itulah yang menjadi alasan kuat Tiongkok menjadi negara yang 'tidak ada surut-surutnya' di dalam ekspansi industri dan keuntungan devisanya yang sudah mencapai trilyunan USD.

Di Indonesia, perkembangan creative industries sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Sebagai contoh, BEKRAF dan kerjama Google dengan Menkominfo untuk menghasilkan 10,000 startups melalui sejumlah program inkubasi, sebagai bentuk akselerasi kemajuan dan daya saing industri kreatif Indonesia. Tetapi, Indonesia masih tertinggal dalam kekuatan infrastruktur dan geografisnya. Alangkah lebih baik jika kurva pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia Timur bisa mengalami penguatan yang seimbang dengan Indonesia di wilayah Barat ( baca: Jawa dan Sumatera ). Pengembangan infrastruktur di wilayah Indonesia negara timur juga bisa dilakukan dengan penerapan Blue Ocean Strategy dengan membuka akses pasar baru di wilayah Timur untuk cakupan regional maupun internasional di tengah doktrin Jokowi mengenai Poros Maritim Dunia. Tentu saja, hal ini merupakan momentum yang sangat tepat. 

Sebagai penutup dari tulisan ini, tentunya ini merupakan perspektif menarik yang tidak ada habisnya untuk didiskusikan bersama, dan generasi milenial saat inilah yang akan menjadi harapan besar bagi Indonesia di masa depan untuk menyeimbangi Sang Naga. 

Salam,

Cordova

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun