Indonesia merupakan negara majemuk yang berbentuk kesatuan. Dimaksud majemuk karena Indonesia memiliki 1.340 suku yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki banyak keberagaman, entah itu suku, ras, maupun agama. Dibalik keberagaman yang unik ini, terdapat hal yang dapat menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan negara kita. Topik seperti suku, ras dan agama seringkali menjadi hal yang sensitif bagi banyak orang. Isu-isu yang berbau SARA sering menjadi konflik pada masyarakat.
Contoh yang terjadi pada masyarakat yaitu larangan beribadah bagi para biksu di Tangerang. Konflik tersebut terjadi karena kesalahpahaman dan sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Kasus lain yaitu pembubaran acara kebaktian di Sabuga, Bandung oleh sekelompok ormas.Â
Ormas Front Jihad Islam (FJI) membubarkan paksa acara bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). FJI menuding acara bakti sosial untuk memperingati hari ulang tahun Gereja Katolik Santo Paulus berlangsung sejak pagi hari ini dituduh sebagai upaya melakukan Kristenisasi.
Bahkan kasus intoleransi ini terjadi hingga ke ranah pendidikan. Telah ada beberapa contoh kasus intoleransi yang terjadi di sekolah, dan mirisnya hal itu dilakukan oleh oknum guru bahkan kepala sekolah. Misal dalam kasus intoleransi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah SMKN 2 Padang.Â
Kepala Sekolah SMKN 2 Padang menerapkan peraturan bahwa semua siswi wajib menggunakan hijab. Dia tidak memikirkan para siswi yang non-Muslim. Kasus lain adalah guru yang melakukan intervensi pada pemilihan Ketua OSIS. Ketua OSIS yang terpilih merupakan non-Muslim tetapi pemilihan tersebut diulang karena ada kesalahan teknis.
Pada perkembangan teknologi yang pesat ini, media sosial menjadi tempat yang mudah untuk berbagi informasi, termasuk informasi mengenai SARA. Terlepas benar atau tidaknya informasi tersebut, warganet cenderung "responsif" dalam menanggapi informasi tersebut tanpa menyaring terlebih dahulu informasi tersebut. Hal ini memicu konflik yang terjadi di media sosial melalui perdebatan dan ujaran kebencian pada media sosial.Â
Perselisihan yang terjadi berpotensi memicu kebencian kepada suatu golongan yang dapat menyebabkan perpecahan pada kesatuan dan persatuan Indonesia. Dalam media sosial, perdebatan ini seakan menunjukkan bahwa masyarakat kita saling membenci antar golongan. Tetapi apakah dalam kehidupan nyata kondisi masyarakat kita memang seburuk itu? Mari kita lihat.
Berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran 2020 oleh Setara Institute, skor toleransi nasional secara umum meningkat. Memang masih ada yang harus diperbaiki karena beberapa kota masih terjadi intoleransi. Tetapi ini menunjukkan bahwa toleransi yang terjadi pada masyarakat kita jauh lebih baik daripada yang terlihat di sosial media.
Salah satu bentuk toleransi yang terlihat dengan jelas adalah Puja Mandala di Bali. Puja Mandala adalah tempat ibadah 5 agama yang berada pada satu kompleks. Umat beragama di sana bisa saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama juga terdapat di Desa Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Terdapat tiga tempat ibadah yang berdiri berdampingan.
Dalam kehidupan bermasyarakat pun, masyarakat masih saling menghargai satu sama lain. Misal ketika Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, ketika umat Muslim sedang beribadah, orang-orang yang beragama lain ikut menjaga agar para Muslim bisa ikut ibadah. Ketika umat Kristen sedang beribadah pada Hari Raya Natal atau Paskah, giliran umat Muslim yang turut menjaga agar mereka yang beribadah di gereja merasa aman dan nyaman.
Dibalik kasus intoleransi yang sering diangkat pada berita-berita maupun media sosial, ternyata toleransi yang ada pada Indonesia sebenarnya masih ada hanya tidak terlalu dipublikasi. Banyak hal yang merupakan toleransi tetapi tidak kita sadari. Misal ketika ada umat beragama yang beribadah, seringkali banyak yang menghargai.