Mohon tunggu...
Coolis Noer
Coolis Noer Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writing to Release an Overthinking

Menulis sebagai bentuk ekspresi, juga mengungkapkan rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menengok Nilai Historikal Masjid Jamek dan Keunikan Pasar Seni Kuala Lumpur

21 September 2015   19:49 Diperbarui: 21 September 2015   19:59 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode tulisan kali ini temanya mengulas jalan-jalan. Ya, alibinya memang study, mengamalkan sedikit ilmu pengetahuan dari diktat-diktat perkuliahan, tapi kenyataannya isinya jalan-jalan, yah anggap saja study tour, study sambil touring maksudnya.

Masjid Itu Sekilas Tak Terlihat Menawan Karena Tersaingi Kemegahan Gedung-Gedung Tinggi

Sekilas tak ada yang menarik dari sebuah masjid yang berdiri tepat di bawah stasiun LRT ketika mata kami pertama kali memandang tempat itu dari dalam kereta yang tengah berjalan. Beberapa menara yang berdiri tegak dengan kubah-kubah kecilnya seolah tak ubahnya dari masjid-masjid yang ada di Indonesia. Bahkan tingginya gedung-gedung yang ada di sekelilingnya membuat kemegahan masjid tersebut hampir tak tampak sama sekali.

 

[caption caption="Pemandangan Masjid Jamek Sekarang (Kiri) dan Dulu (Kanan) (Sumber gambar: Arkib.gov)"][/caption]

Dari gerbang masjid yang menyambut kami setelah dari turun dari stasiun, baru terlihat sedikit keunikannya. Ya, sedikit sekali keunikannya. Desain interior dan exterior masjid memang sedikit berbeda dari masjid-masjid lainnya. Gaya melayu islam yang dipadu gaya bangunan mugal dan timur tengah dengan ciri khas menara ramping yang tinggi menjulang memang sedikit membuat penampakan luarnya sedikit berbeda.

Satu hal yang membuatnya unik dan ramai dikunjungi sebagai salah satu destinasi wisata di Kuala Lumpur adalah nilai historikalnya. Ya, masjid Jamek merupakan salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Didirikan pada tahun 1907, Masjid Jamek diresmikan penggunaannya pertama kali oleh sultan Selangor saat itu pada tahun 1909. Dengan desain arsitektur berkebangsaan Inggris yang saat itu bekerja di Departemen Pekerjaan Umum (Public Work),  Arthur Benison Hubback, membuat masjid Jamek sebagai masjid termegah pada waktu itu.

Sebelum masjid utama Kuala Lumpur, Masjid Negara didirikan, Masjid Jamek merupakan masjid utama di Kuala Lumpur hingga tahun 1965. Namun, sampai saat ini Masjid Jamek masih banyak dikunjungi wisatawan baik untuk sekadar melihat-lihat nilai historisnya maupun untuk menjalankan ibadah sholat.

[caption caption="Di Taman Air Mancur, Terlihat Air Memancar di Belakang"]

[/caption]

Perjalanan kami setelah puas melihat-lihat Masjid Jamek kami lanjutkan mengunjungi Pasar Seni yang letaknya tak jauh dari Masjid Jamek. Butuh waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki untuk sampai di pusat souvenir di Kuala Lumpur.

Sepanjang perjalanan akan banyak dijumpai pejalan kaki yang menghabiskan waktu sore di sepanjang trotoar jalan. Terlebih tak jauh sebelum sampai di Pasar Seni terdapat taman air mancur untuk berfoto ria sambil melihat orang ramai berlalu lalang.

Di Kuala Lumpur, KL Tower dan Menara Petronas Dijadikan Pembuka Tutup Botol

Pasar Seni tak ubahnya seperti Salatiga Shooping Center dengan ukuran yang berlipat-lipat kali lebih besar kalau di Salatiga. Sebagian pedagang membuka lapaknya di halaman area pasar dengan menjajakan berbagai macam pernak-pernik cendera mata.

Satu hal yang membuat kami cukup tercengang adalah ikon wisata Malaysia, Menara Kembar Petronas dan Kuala Lumpur (KL) Tower di sini dijadikan sebagai alat pembuka tutup botol. Bentuknya sekilas menarik, tapi kalau tahu fungsinya bisa membuat tertawa. “Sebagai ikon pariwisata yang melegenda, kok cuma dijadikan pembuka tutup botol” begitu benak kami berkata waktu itu.

[caption caption="Ikon Malaysia, Akan Tertawa Kalau tahu Fungsinya"]

[/caption]

Banyak sekali jenis pernak-pernik oleh-oleh yang bercirikan kebangsaan Malaysia yang dijajakan di Pasar Seni. Rata-rata merupakan cendera mata, atau cendera hati orang Malaysia bilang, yang berharga satuan ringgit. Banyak pula wisatawan Indonesia yang berbelanja oleh-oleh ke tempat ini.

“Orang Indonesie Sukanye Minta Harga Mureh Lagi-Mureh Lagi”

Satu hal yang membuat kami sebagai wisatawan Indonesia yang sedang melancong ke Malaysia merasa cukup malu adalah karena pertanyaan yang secara tidak sengaja mengarah pada identitas dan kebiasaan orang Indonesia ketika berbelanja.

Pada perbincangan dengan salah satu pedagang di Pasar Seni, sebagai wisatawan dari Negara tetangga kami kira tidak ada salahnya bertanya tentang apakah wisatawan Indonesia banyak yang berkunjung ke tempat tersebut. Namun dari pertanyaan itu malah muncul jawaban yang nampaknya para pedagang Malaysia sudah bosan menangani pembeli dari Indonesia.

“Banyak sekale orang Indonesia berkunjung kemari, tapi minta harganya mureh lagi-mureh lagi!” kata salah satu pedagang yang kami ajak berbicara. Seketika muncul rasa canggung bagi kami untuk menawar barang-barang yang akan kami beli, dan dengan terpaksa menerima harga yang sudah ditawarkan untuk serenteng souvenir gantungan kunci.

Puas berjalan-jalan, akhirnya kami pulang kembali ke tempat tinggal kami yang dekat dengan lokasi praktik kami di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur dengan menggunakan transportasi massal yang murah di Kuala Lumpur, Trem, yang baru mulai dibangun di Jakarta bulan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun