Bersepeda bukan saja sebagai kebiasaan bagi saya. Terutama dulu waktu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah terpencil berjarak sekira 15 km dari lingkungan perkotaan, di wilayah Kabupaten Semarang.
Setiap hari berangkat dan pulang sekolah, tak lepas dari alat yang dulu sewaktu kelas 6 SD dikenalkan guru IPA sebagai sebuah Pesawat Sederhana karena bekerja menggunakan roda berporos yang membantu meningkatkan mengurangi tenaga manusia yang digunakan untuk menghasilkan energy kinetik agar membantu kehidupan kita.Â
Setiap pagi Saya, Rahman, Salafi, Joko dan beberapa teman dari dusun sebelah yang biasanya berjumlah 3 orang mengayuh sepeda pagi-pagi. Pukul 5.30 biasanya saya sudah mengeluarkan sepeda ontel favorit pemberian bapak yang saya minta tiga tahun sebelumnya dari bagasi yang sebenarnya lebih pantas dipanggil kandang ayam. Yah begitulah karena tidak ada tempat yang cocok untuk menaruh sepeda ontel butut bercat biru bercampur hijau yang tidak rata warnanya dan sebagian sudah mengelupas catnya, akhirnya tidak pantas ditaruh di ruang depan rumah. Tapi meski begitu, jasanya luar biasa hingga bisa membuat saya menjadi seorang calon sarjana (idih...)
Kami berempat sudah keluar dusun sambil bergowes ria berangkat sekolah saat Mbah Amin (kini sudah Alm.) sedang sibuk menata meja dan kursi untuk berjualan bubur. Kami menuruni jalanan aspal berlubang dan rusak parah, lalu menaiki jalanan menanjak sambil mendorong sepeda kami yang tak kuasa menanjakinya. Akhirnya kami bertemu kawanan dari dusun sebelah yang berjumlah tiga orang itu di dusun berikutnya. Mereka adalah Rohmat, Khalim dan seorang bertubuh kecil yang biasa kami panggil Ucil. Terkadang tiba-tiba mereka berempat, sambil salah seorang memboncengkan teman lainnya.
Kami lalu meneruskan perjalanan kami yang belum ada sepertiganya itu. Lalu, kami masuk melewati dusun ketiga yang kita lalui. Jalannya beton 2 lajur khas perdusunan. Namun beberapa ruasnya sudah rusak menyisakan kerikil yang berdesir saat dilewati. Perjalanan kami panjang melewati areal persawahan yang luas. Saat hujan, maka biasanya kita berhenti terlebih dahulu sebelum melewatinya karena takut kalau-kalau ada petir yang tiba-tiba menyambar karena tidak banyak pepohonan tinggi yang bisa mengalangi.Â
Setelah melalui jalanan yang panjang di tengah areal persawahan, maka tantangan sepeda kami adalah menuruni turunan jalan sebelum mendaki melewati bukit. Di sini, kekuatan rem kami diuji, namun biasanya saat rem tidak makan maka kami sudah menyiapkan rem cadangan berupa sandal yang kami injak agar menekan ban supaya tidak menggelinding terlalu cepat.Â
Setelah melalui turunan yang dibawahnya sungai itu, maka tantangan kami selanjutnya adalah melewati sebuah bukit yang sebenarnya jalannya sudah dibangun, namun karena posisinya sangat terjal sehingga aspal maupun beton yang dibangun tersebut sering kali hanyut saat musim hujan sehingga menyisakan batu dan tanah yang membuat ban selip ataupun sepatu kotor. Tingginya kurang lebih 50 meter saja, namu karena miring menjadi panjang dan sepeda kami tentunya kami tuntun dan dorong.
Saya, Rohman, Salafi, Khalim, Rohmat dan Ucil (Yang sekarang saat tulisan ini saya lanjutkan kembali untuk diterbitkan tidak begitu saya hafal lagi wajah-wajahnya karena tidak pernah ketemu semenjak kelulusan-Hem, sad at the moment-) akhirnya bisa melewati bukit tersebut setelah 15-20 menit kami lalui dengan menuntun sepeda. Jalanan diatasnya biasanya sudah lebih mulus dengan cor beton 2 jalur. Kami biasanya sudah menaiki sepeda kami kembali mulai dari sini sampai kurang lebih 500 meter kedepan.Â
Karena setelah itu jalanan akan turun tajam dan kembali mendaki lagi. Di turunan ini, kekuatan rem sepeda kami diuji ketiga kalinya, jika rem tidak makan maka dianjurkan agar dituntun saja. Di  jalanan ini biasanya kami harus menjaga nafas atau buru-buru melaluinya karena di sisi kanannya terdapat kandang ayam petelur yang bau kotorannya menyengat sekali - saya masih ingat sekali baunya busuk sekali. Setelah ini, perjalanan kembali mendaki dan jika kuat bisa kami naiki sepeda kami karena jalannya lebih mulus.
Tujuan sudah lebih dekat! Betul sekali karena 1 kilometer lagi kami sudah mau sampai di sekolah MTs Darul Ulum namanya, tempat kami belajar. Sebelum menuju ke sekolah, biasanya kami ngetem dulu sejenak di warung biasa kami sarapan atau makan siang,Â
Warung Mbah Ru namanya -Entah apakah beliau masih ada 2023 ini, Hem, so sad again-. Setelah merasa cukup istirahatnya di warungnya mbak Ru, kami biasanya menuju tempat penitipan sepeda kami yang tidak bukan adalah rumah Ismail, teman kami. Di sini biasanya nanti kami akan bertemu dengan para gowes lain dari Desa Jati yatu, Mustofa, Rozi dan Aziz. Mereka bertiga ini biasanya juga rutin bersepeda kalau ke sekolah, dan mereka ini orang yang paling baik kalau ada satu temannya kesusahan entah bannya bocor atau ada kendala lainnya pasti selalu siaga dan sigap memberikan bantuan. Saya dulu selalu kagum dengan kekompakan persahabatan mereka.
Akhirnya sampailah kami di sekolah setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 menit. Sebuah perjalanan menuju sekolah yang penuh perjuangan melewati sawah, sungai, gunung dan lembah. Et dah seperti lagu saja. Saya sendiri sekarang sudah jarang bertemu mereka, semoga mereka sudah sukses semuanya.
Itulah kisah perjalanan gowesku dulu waktu sekolah. Disaat kegiatan bersepeda waktu musim pandemi covid saat ini sepertinya booming, saya dulu sudah melakukannya bersama teman-teman saya bahkan bukan sekedar sebagai pengisi kegiatan namun sebagai sarana kami menuju sekolah tempat kami belajar dan ditempa menjadi pribadi-pribadi yang unggul di kemudian hari ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H