Kepada seluruh pembaca Kompasiana yang budiman,
Rasa Syukur senantiasa kita ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan beribu-ribu nikmat tak terkira.
Dalam kesempatan kali ini, menyikapi kebijakan pak Jokowi yang telah diputuskan pada Senin (17/11) minggu lalu tentang penaikan harga BBM, saya hanya ingin mengutarakan pendapat maupun keluh kesah dan pesan kesan terhadap kebijakan ini.
[caption id="attachment_356495" align="alignleft" width="808" caption="Kegiatan Merokok, dan Aksi Demo Tolak Kenaikan Harga BBM"][/caption]
Pertama, kebijakan menaikkan harga BBM mempengaruhi harga-harga kebutuhan pokok, maupun biaya hidup yang lainnya. Harga-harga biaya kosumsi yang menggunakan BBM dalam proses pendistribusiannya akan mengalami peningkatan. Meski tak separah dengan kenaikan harga-harga di Pulau Jawa, namun harga-harga barang di luar Pulau Jawa, tentunya akan sangat terpengaruh, karena proses pendistribusiannya dari pulau jawa akan membutuhkan biaya yang lebih besar daripada sebelum-sebelumnya.
Kedua, Moda transportasi umum akan mengalami kenaikan biaya. Para pelajar maupun ibu-ibu pasar yang cenderung memilih moda transportasi massal tentunya harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk biaya transportasi. Para pelajar yang setiap hari bisa menyisihkan uang saku, mau-tidak mau harus mengeluarkan uang tambahan, dan merelakan sisa uang saku yang biasanya bisa dikumpulkan tiap minggu.
Ketiga, Bagi pemilik kendaraan pribadi dari kalangan menengah kebawah, tentunya akan lebih perhitungan dalam melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor. Ongkos premium yang sebelum-sebelumnya dengan uang Rp. 10.000,- mendapatkan bensin sekitar 1,64 liter dan bisa untuk berkendara menempuh jarak 40 km, kini harus rela mendapat bensin 1,17 liter dengan jumlah uang yang sama. Untuk melakukan perjalanan berbagai urusan pun, kini harus terkendala dengan harga BBM. Meski hanya naik Rp 2000,- per liter, namun efek yang dirasakan masyarakat sangat jelas kentara.
Kenapa pemerintah tak memilih alternatif mencari cover dana penutup APBN dari hal lain kalau memang kenaikan ini disebabkan oleh sangat tingginya subsidi BBM selama ini ?
Contohnya saja menaikkan setiap bungkus harga rokok sebesar Rp 5.000,-.
Rokok, yang jelas-jelas diharamkan dan dimakruhkan oleh beberapa organisasi islam karena membahayakan kesehatan, namun masih saja dapat dilihat dikonsumsi masyarakat secara luas dan terbuka secara terang-terangan. Di satu sisi sangat jelas terlihat sebuah pelanggaran ketentuan hukum islam, dan membahayakan kesehatan di sisi lain.
Di negara-negara lain, untuk menghindarkan masyarakatnya dari kebiasaan/aktivitas merokok, berani mengambil kebijakan menaikkan harga rokok menjadi sangat tinggi sehingga rokok bukanlah suatu barang konsumsi yang bisa dengan mudah dikonsumsi pula oleh anak di bawah usia seperti di Indonesia saat ini. Sehingga kualitas hidup mereka bisa menjadi kuat, serta memiliki angka ketahanan hidup yang tinggi pula.
Dalam kasus ini, pemerintah dalam upaya melakukan kampanye sehat tanpa rokok sudah melakukan beberapa hal untuk memberi rambu-rambu bahaya rokok. Pertama memberikan keterangan rambu-rambu bahaya rokok bagi kesehatan yang sudah diterapkan sejak lama. Kedua, kini keterangan bahaya merokok tersebut ditambahi dengan beberapa gambar mengerikan akibat aktivitas merokok. Namun apakah upaya-upaya ini bisa menyadarkan masyarakat ?
Beberapa mungkin merasa jijik ketika merokok dengan melihat gambar-gambar tersebut. Namun banyak pula yang tidak peduli.
Apabila pemerintah benar-benar memperhatikan kesehatan masyarakatnya, kenapa tidak secara betul-betul dan dengan tegas melakukan aksi berhenti merokok. Seperti menaikkan harga rokok sebesar Rp 5.000,- tiap bungkus misalnya. Bagi pecandu rokok, harga sedemikian mungkin tak sebanding dengan kenikmatannya, namun di sisi lain akan sangat efektif untuk menghindarkan para pemla yang notabene bukan pecandu rokok, yang jumlahnya juga tak sedikit.
Bisa dibayangkan berapa keuntungan negara apabila masih ada banyak perokok yang rela mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 5.000,- demi sebungkus rokok. Di sisi lain pula bisa diamati perubahan pola hidup sebagian besar masyarakat yang tidak merokok.
Rokok, pada akhirnya hanyalah sebuah barang konsumsi mewah yang bisa dinikmati oleh para pemilik kantong tebal, yang notabene mampu membayar biaya rumah sakit apabila sewaktu-waktu terkena serangan jantung maupun kangker. Berbeda dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang cenderung akan memilih pola hidup tanpa rokok demi memikirkan kebutuhan pokok hidup sehari-hari.
Secara matematis, apabila harga sebungkus rokok dinaikkan sebesar Rp 5.000,- tiap bungkus, bisa dikalkulasikan dengan banyaknya masyarakat yang tidak memilih pola hidup sehat. Penaikan harga rokok ini, di satu sisi mampu menutupi APBN yang terkuras karena subsidi BBM, di sisi lain mampu merubah pola hidup masyarakat lebih sehat. Harga BBM yang merupakan bahan kebutuhan mendasar setiap masyarakat untuk melakukan mobilitasnya setiap hari tak perlu dinaikkan. Kebutuhan akan harga BBM murah, yang merupakan kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia bisa terpenuhi demi menjalankan mobilitas kehidupan sehari-hari tanpa khawatir adanya pengeluaran yang besar karena kebutuhan BBM yang harganya melonjak seperti saat ini. Akhirnya, kebutuhan akan biaya hidup yang murah dan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dapat terpenuhi baik bagi para perokok maupun masyarakat anti rokok. Kehidupan masyarakat pun akan bisa diharapkan lebih sehat dengan adanya pola hidup tanpa rokok, dan rokok hanya bisa diperoleh bagi para pemilik kantong tebal demi mensubsitusi subsidi yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Salam 2 jari untuk mendukung pak Jokowi, mudah-mudahan bisa benar-benar merakyat memimpin negeri ini.
Sekian. . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H