Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diskusi Refleksi Sembilan Tahun Undang-Undang Desa

16 Januari 2023   15:48 Diperbarui: 16 Januari 2023   15:52 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           15 januari 2023 tepat sembilan tahun Undang-undang desa hadir dengan membawa harapan baru bagi desa. Banyak dinamika yang terjadi selama UU ini di jalankan, entah itu memberikan dampak baik atau buruk bagi tubuh desa. Untuk memperingati, sekaligus merefleksi 9 tahun UU desa ini, kampus STPMD APMD membuka ruang diskusi untuk umum. Narasumber dari diskusi kali ini adalah Dr.sutoro Eko atau yang lebih akrab dikenal guru desa.

            Tapi kali ini saya tidak akan sepenuhnya membahas tentang Undang-Undang desa yang selama sembilan tahun telah hadir bagi desa sesuai tema diskusi. Saya lebih tertarik dengan beberapa informasi yang disampaikan narasumber. Ada beberapa statement guru desa tersebut yang menurut saya membuka dan memperluas kerangka berpikir saya secara pribadi.

            Jadi tulisan ini hanya merangkum beberapa statement yang menarik dan pantas untuk dibagikan untuk teman-teman pembaca online saya.

  • Gotong royong itu adalah warisan kolonial
    Menurut beliau, warga negara itu adalah orang-orang yang mempunyai akses, dilayani dan membayar pajak. Selain dari pada itu disebut wong deso, karena mereka tidak membayar pajak dan memang tidak ada pajak yang harus dibayar. Oleh karena wong desa tadi itu tidak membayar pajak, mereka di suruh  bergotong-royong  untuk kepentingan umum (rodi) dalam bahasa Belanda sebagai gantinya.
  • Bagaimana kamu bisa menjadi warga negara?
    Kamu harus merantau ke kota, karena istilah yang ada itu cityzen bukan villagezen. Contohnya, saya orang desa, pergi bersekolah ke kota dan mendapatkan pekerjaan di kota. Setelah saya merantau saya telah menjadi cityzen bukan wong deso lagi.
  • Apa bedanya pemekaran desa zaman kolonial dengan zaman sekarang?
    Kalau dulu, menurut seorang antropolog, cara untuk orang desa menghindari pajak adalah melarikan diri dan membentuk desa baru di pelosok atau pegunungan. Sekarang itu, desa mengalami pemekaran untuk berburu dana desa.
  • Nalar kolonial yang menjadi warisan sampai saat ini adalah mendudukan pemerintah diatas masyarakat, hal ini bertentangan dengan sejarah desa yang sudah ada sebelum negara ada. Ciri dari nalar ini adalah sentralistik, birokratis, hierarkis dan selalu bicara tentang penduduk bukan rakyat.

Sebenarnya masih banyak lagi penjelasan dari beliau yang tidak bisa saya tulis satu persatu dalam tulisan ini, seperti kontradiksi pasal dalam UU desa, dana desa hanya akan membuat kepala desa sebagai kepala proyek, negara tanpa desa akan kaku dan desa tanpa kekuasaan negara akan beku, dana desa dibuat oleh sosiolog yang tidak sosiologis dan masih banyak lagi. Tapi kembali lagi, tadi saya bilang bahwa tulisan ini hanya berisi hal yang sangat menarik dari diskusi terbuka itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun