Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sebelum Mengenal Stoisisme

10 Januari 2023   16:09 Diperbarui: 10 Januari 2023   16:14 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di sebuah kedai kopi kecil, dikota besar yang menjadi kota metropolitan di Sumatera utara bernama warung Bi Ela (begitulah sebutan kami). Kisah anak tonkrongan yang berubah menjadi kasih, ketika tidak sengaja bertemu dengan wanita berparas cantik (setidaknya menurut keluarganya dan menurut saya pada saat itu), yang kebetulan sedang melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi disalah satu universitas dikota Medan.

Cerita berawal dari tatapan yang bertemu ditengah-tengah percakapan dua kubu, dimeja yang berdekatan namun berbeda dengan jarak yang tidak terlalu jauh. singkat cerita sampailah kesituasi dimana nomor whatsapp telah tersimpan di hp saya. rangkaian huruf yang disusun menjadi kata-kata, kemudian dikirim melalui Whatsapp membuka gerbang percakapan yang membuat hati berbunga-bunga (sengaja diperlebay, agar asik aja gitu). singkat cerita, percakapan tersebut berubah menjadi sebuah status yang disebut pacaran.

Semua memang awalnya sangat menyenangkan, hingga sampailah pada titik dimana, sakit hati, kecewa, amarah, emosi larut menjadi satu dan datang secara bersama-an, seperti demontrasi mahasiswa ketika menolak omnibuslaw. Mereka membawa pisaunya masing-masing untuk menyayat hati (begitulah bahasa yang terpikir ketika merasa kecewa).

Emosi, marah, merupakan hal yang manusiawi. Balas dendam menjadi hutang yang harus dilunasi. Kebencian menyelimuti pikirian, hingga merubah perilaku menjadi emosian. Tidak iklas menerima apa yang terjadi, menjadi pemicu balas dendam itu harus dilaksanakan, ntah kapan dan bagaimana pun caranya. Bertindak melawan norma, menjadi pikiran yang datang setiap hari.

(sudah cukup cerita lebay nya, mari kita bicara hal yang lebih subtansional)

Sampai pada saat senja menyapa, dengan maksud mencari hiburan di media sosial. Muncul konten jualan buku online, saat itu penjualnya berkata seperti ini, " ayo kak, bukunya dibeli. Buku ini cocok untuk kamu yang baperan, susah move on, mudah tersinggung dan marah-marah" (sembari dihati berkata, gue banget nih buku) . Kemudian mulai terpikir untuk memesan buku tersebut, walaupun memang minat membaca saya saat itu masih sangat kurang. Tetapi karena marketing si penjual cukup menarik perhatian. dipikiran saya, "beli aja kali yah, iseng-iseng siapa tau bermanfaat."

Setelah beberapa hari, tibalah buku itu dan langsung saya baca. Tidak lama kemudian, buku itu rampung saya baca, walaupun pada awalnya saya bingung dan kaget bisa menyelesaikan membaca satu buku untuk pertama kali.

Hal-hal pokok yang saya ingat terus dari isi dari pada buku tersebut adalah; a)dikotomi kendali, perbedaan antara apa yang berada di bawah kendali kita, dan apa yang berada diluar kendali kita. Kalau kata Epictetus seorang filsuf stoa mengatakan "Some things are up to us, some things are not up to us". dan b)baik dan buruk itu tergantung dari cara jiwa kita menafsirkannya. Dan yang paling menari adalah, ketika membahas tentang hidup diantara orang yang menyebalkan.

Penjelasan sederhananya begini, bahwa yang berada dalam kendali kita adalah pertimbangan, opini atau persepsi kita. Sedangkan diluar kendali kita, tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kesehatan dan kekayaan kita (begitulah kira-kira penjelesannya dibuku yang ditulis oleh Henry Manampiring tersebut). Kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, apa yang orang lain lakukan pada kita, karena itu luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan, bagaimana cara menyikapi apa yang orang lain katakan dan lakukan terhadap kita.

Kita sepakat sakit hati termasuk menjadi salah satu hal yang buruk. Tapi sebenarnya sakit hati itu terjadi karena kesalahan kita menafsirkan baik buruknya sesuatu. Sakit hati hanya bisa terjadi ketika ada subjek yang menyakiti dan ada objek yang merasa tersakiti. Kalau objek tidak merasa tersakiti, sakit hati tidak akan pernah terjadi, makanya itu tergantung bagaimana cara kita menafsirkannya.

Kata Enchiridion "kamu tidak bisa dihina orang lain, kecuali kamu sendiri yang pertama-tama menghina dirimu sendiri."

Ingat hal pertama yang harus kamu ketahui, untuk orang lain bisa menyakitimu, tidak cukup dengan hinaan saja. Kamu harus percaya bahwa kamu sedang disakiti. Jika omongan orang lain membuat mu marah dan jengkel, berarti kamu turut berperan dalam menyakiti dirimu sendiri. Karena sejatinya rasa sakit itu muncul bukan karena hinaan orang lain, tetapi karena pikiran mu sendiri.  ketika kamu merasa tersakiti kamu telah menyukseskan hinaan orang lain kepadamu.

Beberapa hal pokok tersebut, kemudian merubah bagaimana cara saya untuk menghadapi apa yang tidak berada dibawah kendali saya. Selalu mencoba memberikan waktu untuk nalar bekerja, sebelum memberikan reaksi otomotis yang mungkin akan menambah masalah baru.

Ternyata buku filosofi teras ini bermanfaat juga, bukan hanya sebagai pelatih mental yang tangguh tetapi menjadi pemicu ketertarikan saya membaca buku lebih banayka lagi......(berbicara dalam hati)

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun