Tujuan kebijakan RED II yang dikeluarkan oleh Uni Eropa menjadi harapan besar dari adanya isu perubahan iklim global dan kerusakan alam yang timbul dari penggunaan energi non terbaharukan yakni sumber daya fosil. Namun kebijakan RED II di sisi lain juga memiliki dampak serius bagi perekonomian dunia, khususnya Indonesia yang tergolong sebagai pengekspor CPO terbesar di dunia.Â
Diskriminasi terhadap perdagangan dunia memperlihatkan bahwa Uni Eropa tidak konsisten dalam menjalani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebagai salah satu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani oleh Uni Eropa sendiri. RED II menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional dengan melanggar prinsip perdagangan dunia yang tercantum dalam perjanjian turunan dari piagam Word Trade Organization (WTO) bahwa negara maju dan berkembang dapat bersaing dalam mempertahankan ekonomi dalam perdagangan internasional (Kurnianingrum, 2021).
Kebijakan RED II dapat mengurangi ketergantungan impor energi suatu negara sehingga penggunaan enegri di suatu negara bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri secara optimal. Sarabn pengganti energi fosil yaitu Energi Baru Terbaharukan (EBT) dan bahan bakar nabati termasuk minyak sawit mentah (CPO). Kebijakan RED II menjadikan standar produk CPO yang diperdagangkan di pasar dunia harus memenuhi kriteria tertentu sesuai aturan Eropa yaitu batas 3-MCPD Ester maksimal 2,5 ppm dan GE Maksimal 1 ppm sedangkan kandungan 3-MCD minyak sawit Indonesia diatas 3 ppm.. Padahal sesuai kesepakatan dunia pada WTO perdagangan internasional tidak boleh dibatasi dengan hal terselubunh dan syrata diskriminatif antar negara pengekspor atau pengimpor.
Dampak nyata dari kebijakan RED II terhadap ekspor CPO Indonesia yaitu adanya larangan negara Eropa untuk mengimpor CPO dengan alasan tingginya emisi karbon biodesel sawit yang lebih tinggi dari energi fosil, sertifikasi perkebunan sawit yang nonsustainable, konflik sosial dari adanya perkebunan sawit yang banyak menyebabkan alih fungsi hutan, deforestasi, kebakaran hutan, konflik agraria dan permaslaahan sosial lingkungan lainnya. Isu yang dimunculkan oleh Uni Eropa bahwa minyak sawit menjadi energi yang tidak ramah lingkungan menyebabkan ekspor CPO Indonesia ke pasar Eropa mengalami kendala yang signifikan.
Menurut Chairunnisa (2020) Kebijakan RED II menyebutkan bahwa di tahun 2030 perdagangan minyak kelapa sawit akan dikurangi sampai 0%. Potensi kehilangan pendapatan negara diasumsikan akan berkurang sebesar Rp 218,18 miliar per tahunnya, Hal ini ekspor dan neraca perdagangan Indonesia sektor non migas banyak ditopang dari interaksi dagang minyak sawit dengan Uni Eropa  sebesar 1,66% per tahunnya.Â
Apabila Ekspor menurun bahkan dibatasi hingga 0% maka devisa negara akan berkiurang serta pendapatan dalam negeri akan berkurang yang berimbas dari adanya penurunan pendapatan produsen sawit di Indonesia. Tantangan terbesar usahatani sawit di Indonesia yaitu daya saing industri dalam negeri dengan produk sawit dari negara produsen lainnya, hal inikarena infrastruktur produki CPO di Indonesia masih belum modern. Kebijakan RED II kana semakin menambah permasalahan dari usahati sawit indonesia dari hulu hingga hilir khususnya pada ekspor CPOÂ
Kebijakan biodesel B30 di Indonesia menggunakan campuran minyak sawit 30% pengendalian persediaan biofuel sawit yang tinggi akibat ekspor yang turun. Kebijakan pemerintah sangat penting guna mengoptimalkan produksi dalam negeri dengan tetap menjalankan prinsip produksi ramah lingkungan sehingga produk CPO yang dihasilkan sesuai standar pasar Internasional. Menurut Mangeswuri (2019) Solusi untuk meminimalisir dampak penurunan nilai ekonomi CPO yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan semua elemen terkait yakni sebagai berikut :
- Ekspor harus langsung menempatkan tujuan ekspor langsung ke negara India atas dasar perjanjian ASEAN-India Free Trade Area atau dapat memperluas pasar ekspor sawit selain Eropa yaitu Asia dan Afrika.
- Mengembangkan sektor hilir (hilirisasi) seperti mengembangkan lebih 40 jenis produk turunan CPO daripada ekspansi lahan yang berisiko meningkatkan konflik dan kerusakan lingkungan hidup perkebunan sawit.
- Pemerintah perlu melakukan perundingan dengan pihak Uni Eropa melalui jalur diplomasi dan membuktikan argumen bahwa tuduhan Komisi Eropa tidak benar dan tidak beralasan.
- Pemerintah dan kementerian perdagangan harus mengoptimalkan bussiness matching, showcase, dan pertukaran informasi.
Indonesia menerapkan kebijakan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang mengharuskan sertifikasi kelapa sawit untuk semua produsen sehingga bisa memenuhi kriteria RED II terkait masalah emisi gas rumah kaca, efektifitas penggunaan lahan. Sertifikat ISPO berhasil meyakinkan Uni Eropa terhadap produk CPO Indonesia karena sesuai standar. Kebijakan ISPO menjadikan produksi sawit serta nilai ekspor sawit di Indonesia meningkat. Kementerian bersama dengan United Nations Development Programme (UNDP) membentuk proyek Sustainable Palm Oil Initiate (SPOI) Â agar sawit Indonesia lebih diterima di Pasar Internasional karena kulitas produk dan dampak lingkungan yang baik (Khairunnisa, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Chairunisa, A. F. 2020. Analisis Kebijakan Renewable Energy Directive Ii Terhadap Perdagangan Kelapa Sawit Indonesia Dikaitkan Dengan Gatt. National Conference For Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju Era Digital Society. 1300-1316.
Khairunisa, G. R. Dam T. Novianti. 2017. Daya Saing Minyak Sawit Dan Dampak Renewable Energy Directive (Red) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia Di Pasar Uni Eropa. Agribisnis Indonesia. 5(2) : 125-136.
Kurnianingrum, T.P. 2021. Perlindungan Kepentingan Nasional Dalam Perdagangan Internasional. Jakarta Pusat : Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR Ri.Â
Mangeswuri, D. R. 2019. Hambatan Ekspor Minyak Sawit Ke Uni Eropa Dan Upaya Mengatasinya. Info Singkat. 11(8) : 19-24.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H