Hal ini terkadang ditanyakan oleh pasien pada saat dokter meresepkan obat. Kemudian ada pertanyaan lagi, isinya sama kok kenapa harga obat generik jauh lebih murah? Kalau begitu kenapa semua obat tidak dibuat generik saja supaya harga terjangkau dengan kualitas yang sama? Untuk menjawab hal ini tentunya harus berhati-hati karena hal ini merupakan hal yang relatif sensitif terhadap dunia farmasi.
Begini penjelasannya...
Setiap produsen obat original dalam membuat obat membutuhkan tahapan penelitian. Pertama, perusahaan tersebut harus melakukan serangkaian penelitian untuk menemukan molekul obat yang berkhasiat dalam menyembuhkan atau mengurangi gejala suatu penyakit.
Kedua, setelah molekul obat tersebut sudah ditemukan maka harus diuji coba, dalam hal ini tentunya bukan langsung pada manusia tetapi pada hewan coba yang sudah ditentukan jenis dan populasinya untuk menilai keamanan dan khasiat obat. Tahapan ini sering disebut dengan uji preklinik.
Ketiga, setelah obat tersebut berhasil melewati uji preklinik maka obat tersebut harus diuji pada manusia, dalam hal ini masuk ke dalam tahap uji klinik yang terdiri atas 4 fase, yaitu fase 1 untuk menentukan dosis dan keamanan obat, biasanya pada fase ini diujikan pada orang atau sukarelawan yang sehat.
Setelah fase 1 berhasil dilewati, maka masuk ke fase 2 dimana obat tadi diujikan kembali pada pasien yang menderita penyakit yang sesuai dengan indikasi dari obat yang akan diuji. Di sini yang dinilai adalah manfaat (efikasi) dan efek samping dari obat tersebut. Biasanya orang yang dilibatkan lebih banyak  dibandingkan fase 1.
Setelah melewati fase 2, maka obat yang baru dibuat ini dibandingkan dengan obat yang sudah umum digunakan untuk mengatasi penyakit sesuai indikasi yang akan diuji (obat standard) dengan jumlah peserta penelitian semakin banyak. Fase ini untuk menilai mengenai manfaat dan efek samping obat baru dibandingkan dengan obat standard. Setelah melewati fase 3 barulah obat akan diberi merk dan didaftarkan ke badan pengawas obat untuk mendapatkan ijin edar. Bila sudah mendapatkan ijin maka obat tersebut akan dipasarkan dengan merk tertentu.
Selain itu masih ada uji klinik fase 4 yang sering disebut dengan istilah observational study atau Post Marketing Surveilance dimana obat yang sudah dipasarkan tadi diobservasi mengenai manfaat (efikasi) dan efek samping obat untuk mengetahui data sebenarnya obat tersebut dalam praktik klinis kedokteran atau dikenal dengan istilah Real World Evidence. Serangkaian penelitian tadi dari preklinik sampai uji klinik fase 4 membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga sering biaya tersebut dimasukkan ke dalam harga penjualan obat.
Nah apa bedanya dengan obat generik? obat generik tidak melakukan serangkaian penelitian yang lama dan membutuhkan biaya tinggi. Namun hanya menyalin (copy) dari bahan aktif obat tersebut dan langsung dibuat dengan indikasi yang sama, kemudia didaftarkan ke badan pengawas obat untuk mendapatkan ijin edar.
Bila proses pembuatan obat generik tersebut sesuai dengan aturan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) tentunya kualitasnya juga baik. Namun bila perusahaan tersebut hanya melihat dari sisi bisnis saja dengan menekan harga dengan cara pembuatan yang tidak sesuai dengan CPOB tentunya produknya berkualitas buruk.
Untuk membandingkan apakah obat generik sama dengan obat original harus dilakukan penelitian Bioavailabilitas dan Bioekivalensi atau uji BABE sehingga obat tersebut sama secara farmakokinetik dan farmakodinamik atau dengan kata lain sama secara mekanisme kerja obat. Namun untuk membandingkan khasiat semestinya harus dilakukan uji pembanding seperti pada uji klinik fase 3. Namun terkadang hal tersebut tidak dilakukan mengingat uji klinik memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga akan menaikkan harga obat. Semoga penjelasan tadi dapat dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H