Dan saat aku membuka mata, matanya menatap mataku. Kuteliti wajahnya. Semua masih sama dengan wajah yang kutemui di taman itu.
“Hai,” sapanya dengan senyumnya yang menenangkan. Aku mencoba untuk duduk, tapi punggungku tak bisa diajak kompromi. Papa membantuku dengan menambahkan tumpukan bantal. Mataku tak lepas memandangnya.
Dan entah mengapa semua warna kembali berwarna dan semua rasa kembali berasa.
Tanpa dia bertanya, kuperkenalkan diriku, “namaku Rumi…” dan dengan senyum yang muncul begitu saja aku menyalaminya. Dia menyambut sambil menyebut namanya.
“Namaku Cuplis.” Jawabnya pendek dengan tatapan matanya yang iseng.
Aku ingin terbahak tapi yang muncul di wajahku adalah sebuah senyum yang sangat lebar. Aku melihat Papa keluar ruangan. Papa mengerti aku butuh privasi untuk hal yang satu ini.
“Kamu bercanda,” kataku masih dengan senyum yang tak pudar dari wajahku. Bahkan aku bisa merasakan kedua mataku bersinar.
“Ga percaya,” dia terkekeh.
Aku menggelengkan kepala. Dia tersenyum dan masih belum menjawab. Setelah diam yang cukup panjang, dia pun menyebutkan namanya.
“Namaku, Andrea…”
Aku tersenyum puas.