Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Peluk di Akhir Cerita

16 Juni 2015   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: http://favim.com/orig/201109/07/black-and-white-boy-children-cute-flower-Favim.com-139397.jpg

 

Conni & Christian

---

Di sebuah senja yang redup, waktu bawa sepasang tapak berlabuh di antara heningnya tarian dedaun.

Dalam sunyi yang dicipta, melangkahlah cakap dari bibir-bibir manis.

“Kenapa tak ada cerita lagi tentang musim berbunga pada jalan-jalan ini?”

“Pada kisahnya waktu akan menuntunmu untuk tahu.”

“Bukankah debur ombak tetap memeluk pantai walau mentari mendustai mereka?”

“Aku akan menceritakanmu sesuatu, tapi cukup satu pertanyaan muncul bila kau ingin tanya  pada akhir kisah dan semoga kau paham setelah itu.”

-

Tak lama setelah kau pergi, hujan berhenti. Daun-daun  dan rerumputan yang basah mulai resah melihat mentari kembali bersinar. Aroma kesejukan memudar. Dan aku mulai menghitung waktu yang kita lewati bersama di tempat berbeda.

Aku begitu yakin, aku mampu hanya menanti seorang saja selama perjalanan hidupku yang penuh dengan warna.

Ternyata tidak.

Mereka datang silih berganti dan kuterima dengan senang hati. Mereka memberi warna-warna baru dalam hidupku. Memberi rasa dan kenangan.

Kamu lama Jamie... Aku kangen banget sama kamu. Kamu tahu, aku begitu sibuk menyukai laki-laki yang hanya mirip sedikit sekali denganmu. Sampai aku menyadari enggak ada yang kayak kamu, yang benar-benar kayak kamu, selain kamu sendiri.

Penantianku hancur karena aku tidak mampu menunggu lebih lama lagi. Aku bermain-main dengan, kamu tahu... dengan mereka yang begitu memujaku.

Aku enggak pengen punya anak saat itu. Dua puluh tahun. Harusnya aku masih bersama teman cewekku menikmati masa muda yang penuh semangat. Harusnya begitu, tapi aku memilih bayi di perutku. Ini  konsekuensi yang harus kuterima dan harus kucintai sepenuh hati.

Mereka kembali berdatangan dan menawarkan diri untuk menjadi ayah dari bayiku. Aku tidak mau. Aku ingin membesarkan bayiku meski tanpa seorang ayah. Ditambah, aku tidak ingin menjadi istri dari mereka. Aku hanya ingin menjadi istri dari lelaki yang meninggalkanku di jalan  berbunga saat hujan turun. Yah... aku mengacaukannya bukan?

Aku menjadi ibu, Jamie...kau percaya itu?

Aku bahagia saat  matahari begitu bersemangat membakar ubun-ubunku atau saat hujan yang sama –saat kau pergi- kembali turun.

Aku bahagia, Jamie...

...

“Boleh aku memelukmu?”

“Kenapa baru sekarang?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun