“Aku sudah berdoa!”
Aku menggosok telapak tanganku bersemangat. Pipiku sepertinya bersemu, dan senyum di wajahku timbul tenggelam. Aku sangat senang dan tidak sabar. Aku melirik jam tanganku, baru jam setengah sembilan, aku berjalan saja, tidak ada yang kukejar sepagi ini di hari Minggu yang cerah ini.
Aku keluar dari pekarangan gereja dan hampir tertabrak sepeda motor anak muda bau kencur. Anak muda yang tak punya jati diri. Lihat rambutnya! Panjang dan runcing-runcing, sepertinya baru disetrika. Aku tertawa sinis. Beberapa pasang mata melihatku. Nah! Lihat! Pemuda itu mengibaskan poninya! Oh Tuhan Yang Maha Kuasa, ampunilah dia!
Apa yang sudah kulakukan? Anak muda itu mengacaukan hari Mingguku yang sakral ini. Aku melemaskan pundakku dan berjalan mantap. Alkitab di tangan kananku membuat aku semakin bangga. Aku berjalan dengan langkah yang tidak cukup lebar, lumayan santai. Dua ratus meter aku berjalan, kembali mata-mata menatapku lekat-lekat. Aku tidak gila ya! Aku baru saja disuguhi drama teatrikal yang paling lucu. Seekor ayam betina lurik berlari kencang di depanku, di paruhnya yang kuning kehitaman itu terjepit sepotong tempe goreng. Beberapa detik kemudian seekor ayam betina hitam kembali melintas cepat di depanku. Aku berhenti menikmati pertunjukan itu. Kedua ayam itu masih berkejaran, dan kembali melesat cepat dari depanku, menyebrangi jalanan yang sudah mulai padat, dan disusul ayam betina hitam. Beberapa pengendara motor terpaksa menginjak rem untuk kedua ayam itu. Aku terkekeh. Binatang saja tidak mau berbagi sekarang ini, apalagi "manusia".
Aku melanjutkan perjalananku dan pikiranku kembali dipenuhi sosok perempuan itu, Tarida. Aku menghela nafas berat. Demi perempuan itu aku menginjakkan kakiku yang najis dan berbau ini pada lantai Gereja yang suci itu. Iya, hampir selama di perantauan aku tak pernah menginjak Gereja. Berdoa saja tidak pernah! Anak Jalang kan?! Aku tidak mau membuat-buat alasan, karena waktulah, uanglah, kerjaanlah. Tidak! Apa donk?! Nggak tahu, mungkin lupa, atau lebih tepatnya tak tahu diri!
Tarida, dia mengingatkanku, membukakan mataku yang penuh selaput nikmat duniawi, kalau semua perlu disyukuri entah sekecil apapun itu. Dan tiba-tiba mataku yang hampir minus satu ini melihat sangat jelas, untuk sepotong tempe goreng dan nasi pria tua yang di emperan toko itu masih mampu mengucap syukur. Aku? Jalang sekali! Aku makan yang cukup dan enak setiap hari dan tambahan sebatang (kadang dua batang) rokok setelah makan, dan tidak bersyukur?! Oh, betapa aku sangat jalang dan iblis. Dan hari ini, aku sudah berdoa!
Belum ada lima ratus meter aku berjalan aku kembali tergelak. Sepertinya dunia tak mengizinkan hari yang sakral ini terlewati dengan sakral pula. Wajah seorang bocah perempuan tersemprot susu kedelai plastik yang ujungnya digigit untuk disedot. Ternyata si bocah menggigit terlalu lebar hingga susu kedelai itu muncrat ke wajahnya. Lucu sekali. Aku megap-megap menahan tawa. Lagi, beberapa pasang mata menatapku aneh. Baiklah, sepertinya aku harus menyudahinya. Kulambaikan tanganku pada angkot merah yang gagah itu.
Ya, aku memang sudah berdoa. Bukan tanpa alasan. Ada alasannya, aku telah menemukan alasan untuk berdoa. Cukup masuk akal. Aku mau perempuan itu, Tarida. Aku mau dia yang jadi istriku. Perempuan baik hati dan taat agama. Siapa yang tidak mau?
Iblis! Aku memang Iblis! Berdoa karena ada maunya, bukan karena niat yang tulus dan kesadaran diri dan dirapel pula untuk mohon ampun dosaku selama tiga tahun. Oh Tuhanku, ampunilah hamba pendosa ini...
“Pojok ya bang!”
Angkot merah itu menepi untukku sang pendosa, Iblis. Kuberikan selembar lima ribuan dan ternyata si supir bukan abang-abang lagi. Kuperkirakan umurnya lima puluhan. Entah kenapa, tiba-tiba hatiku jadi sangat lemah. Aku tersenyum dan menolak kembaliannya – dua ribu lima ratus lagi. Si supir tersenyum dan mengangguk berlalu dari dari hadapanku.
Aku egois dan pendosa, dan... Aku sudah berdoa! Aku sudah mohon ampun.
-
Aku mengorek sampai tandas nasi yang tinggal tiga centong lagi dari rice cooker, dan minyak kupanaskan untuk telur dadar (telurnya dua) yang hanya dicampur sesendok teh garam. Begtu masak dan harum semerbak, aku mengangkatnya dan langsung meletakkannya di atas nasi yang sudah lumayan dingin. Segelas air putih hangat kusandingkan dengannya. Sempurna! Air liurku hampir menetes.
Aku merasa sangat aneh saat kedua tanganku kulipat, menutup mataku, dan mengucap syukur atas telur dadar (telurnya dua), nasi tiga centong, dan segelas air putih hangat.
Aku sudah berdoa! Aku merasa haru dan nikmat. Mataku berkaca-kaca, betapa selama ini aku tidak tahu rasanya berdoa itu begitu nikmat dan lega.
-
Senin yang cerah! Beberapa awan hitam menggantung mesra. Apakah aku buta menyebut hari ini cerah! Tidak. Hari ini sungguh sangat cerah. Melihat Tarida turun dari angkot dan roknya tersingkap hingga pahanya yang mulus terlihat sedikit. Dasar pendosa! Iblis! Aku melangkah cepat tak ingin pikiranku yang jalang ini menjalar kemana-mana.
-
Aku bersiap-siap untuk makan siang dan Tarida melintas di depanku dan menyapaku dan mengajakku makan siang bersama.
Aku sudah berdoa! Dan doaku sedang dijawab oleh Tuhan Yang Maha Baik.
Luar biasa...
Aku berjalan dengan sangat bangga di samping Tarida. Perempuan yang namanya kusebut dalam doaku.
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H