Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amarilia, Gadis Duapuluhan

8 September 2014   21:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:17 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-

“Kamu memakai lipstik?”

Aku tidak menjawab, kusibukkan tanganku pada barisan kue-kue di tampi sedangkan ibu menyiapkan tas kain tempat uang receh untuk kembalian, juga sebotol air minum. Dia tidak berharap banyak aku menjawab pertanyaannya tadi. Wajahnya masih pucat. Entah sakit apa.

Sebelum berangkat kulirik wajahku pada kaca yang menggantung di dinding. Warna merah tipis di bibirku tidak mencolok, tapi sekilas, orang-orang akan tahu aku memakai lipstik. Pipiku sedikit merona. Hanya itu saja. Aku menemukan peralatan dandan ibu semalam di kaleng bekas susu.

“Aku berangkat.”

Ibu tidak membalas, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Hubungan kami memang begini, diam dan sendu.

-

“Kueeeeee!”

Aku mulai berteriak memanggil pelangganku, pelanggan ibu sebenarnya, aku hanya menggantikan ibu sementara. Ya, hanya sementara. Sampai ibu benar-benar sembuh dari penyakitnya yang-entah-apa-namanya.

Mereka mulai berdatangan, selalu orang yang sama yang setiap hari membeli kueku. Sambil berbicara tentang si ini, yang katanya diam-diam membawa pria tengah malam ke petakannya, atau si itu yang semalam bertengkar hebat dengan pacarnya, atau si sono yang mau cerai. Kadang aku bertanya-tanya, apa mereka tidak bosan atau mereka tidak capek membicarakan apa yang bukan urusan mereka, atau itu sudah menjadi semacam kesenangan mereka saat orang lain terkena masalah, lalu mereka punya topik yang akan selalu mereka ributkan, guncingkan? Lalu apakah mereka tidak bosan memakan kue yang sama setiap hari dari penjual yang sama? Semoga tidak, kalau iya, aku dan ibu makan apa.

Tangan-tangan mereka mulai memilih kueku, tidak butuh waktu lama. Mereka sudah tahu apa yang mereka mau, lalu membayar dengan uang pas. Begitu mendapat apa yang mereka mau, mereka pun meninggalkanku dengan sepelastik kue di tangannya dengan mulut mereka yang tiada berhenti nyinyir.

Lalu gadis kecil itu datang, Jaqueline, gadis berambut pirang, bermata sebiru laut. Dia selalu membawa tatakan yang sama, dia mengambil donat, meletakkannya di tengah, lalu di atasnya ditaruh kue mangkok. Lalu dia tersenyum sambil menyerahkan uang kertas dua ribu rupiah. “Thank you.” katanya, lalu kembali memasuki petakan rumah paling ujung. Seperti permata diantara kerikil, dia beda sendiri.

“Kueeeeeee!!”

Aku menoleh ke kanan dan kiri rumah yang berjejer. Tak satupun pintu terbuka mendengar teriakanku. Aku tak peduli. Aku memang hanya sekedar lewat untuk melihat rumah-rumah indah ini berdiri megah dan pongah. Kontras sekali dengan perumahan kumuh yang hanya dibatasi dinding setinggi tiga meter  ditambah pagar berduri di atasnya.

Sebenarnya tidak hanya itu saja.

“Kueeeeeee!!”

Kukeraskan suaraku saat aku berada di rumah paling ujung di perumahaan itu. Aku berjalan lambat, sebenarnya aku berhenti. Aku menunggu langkah kaki tergopoh-gopoh dari dalam rumah, membuka pintu rumahnya yang dipernis mengkilat –kurasa  aku bisa berkaca di sana- lalu  melambaikan tangannya memintaku untuk menunggu. Tapi kali ini aku menunggu sudah cukup lama.

Mungkin dia tidak ingin membeli kueku hari ini. Kulap wajahku dengan  lengan kausku. Kuhapus lipstik di bibirku dengan tanganku yang berdebu. Kumaki diriku yang tidak tahu diri, mencoba memikat orang yang jelas-jelas bukan sekelas denganku.

Aku sudah cukup jauh dari rumah itu dan seseorang berteriak, “Kueeeee!!!”

Aku berhenti. Aku membeku. Jantungku bergemuruh dan aku mulai berkeringat dingin.

“Kueeee!!!”

Aku berbalik. Dia melambaikan tangannya. Segenap kekuatanku kukerahkan untuk melangkah mendekatinya, aku ingin terlihat normal di depannya, berjalan dengan anggun seperti gadis duapuluhan lainnya.Sebenarnya aku tidak berharap ini terjadi, aku hanya ingin melihatnya dari luar, melihatnya dari jauh. Cukup bagiku. Tubuhku bergetar, aku ingin menangis.

Sebelum dia menyebutkan pesanannya, aku langsung menyiapkan. Lemper tiga, cucur dua.

“Oh, sudah tahu rupanya.”katanya sambil menerima bungkusan itu dari tanganku. Aku tersenyum dan menunduk dalam-dalam, aku suka suaranya.

Dia menyerahkan selembar lima ribuan. “Thanks.” katanya dan berlari kecil memasuki rumahnya.

Aku ingin teriak. Aku ingin melompat. Rasanya tak terkatakan. Sepanjang jalan, aku tersenyum. Aku bahagia. Aku menangis.

-

Matahari tepat di atasku saat aku melepas sendal karetku. Kulihat ibu sedang menyiapkan makan siang seadanya. Aku tersenyum.

“Kamu kelihatan senang sekali.” sapanya padaku.

Aku tidak menjawab. Aku tersenyum, kali ini lebih lebar dan sedetik kemudian kudengar tawa renyah meluncur dari mulutku. Ibu tersenyum, lalu mengajakku makan, sebelum kami menghitung penjualanku hari ini.

-

Esok dan hari-hari setelahnya berjalan sebagaimana biasanya. Kembali aku hanya bisa melihatnya dari jauh, melihat rambut hitamnya yang ikal. Aku lega, tapi tak kusangkal aku ingin mendengar suaranya. Mencuri-curi melihat  wajahnya dari balik poniku lagi. Aku ingin...

Lalu entah setan apa yang datang padaku, sore itu aku merias wajahku semampuku, mengepang rambutku, memakai baju terbaikku dan kakiku melangkah begitu saja padanya.

Sepanjang perjalanan aku menjumpai  mata-mata yang menatapku penuh tanya dan aku bertemu beberapa pelangganku di perjalanan.

“Neng cantik amat, mau kemana toh sore-sore begini?”

Pipiku panas dibilang cantik. Kakiku semakin mantap melangkah.

Sore ini aku hanya ingin dia memandangku seperti dia memandang gadis-gadis lainnya. Aku  juga sama seperti mereka, gadis duapuluhan.

-

Aku berdiri di seberang jalan, tepat di depan rumahnya. Menatap pada pintu coklat, berharap cemas ada sesuatu yang membuat dia membuka pintu rumahnya, melongok sebentar saja, dan mendapatiku di sini berdiri untuknya.

Angin sore menjelang musim kemarau memang menyakitkan, dingin menusuk hingga tulang, kering dan berdebu. Aku menyibukkan diri dengan melihat orang yang lewat, mencoba menebak kemana mereka akan pergi, dari mana, ada keperluan apa, bagaimana perasaannya.

Lalu aku kembali kepada diriku sendiri, sedang apa? Menunggu siapa? Untuk apa? Kugigit jariku. Aku mulai panik. Kedua mataku mulai basah. Kenapa aku menangis? Tentu saja, aku sudah menunggu tiga jam lebih, kuusap pipiku dan menekan  kelopak mataku keras-keras. Aku berusaha menghentikan airmata yang mengalir. Percuma, semakin deras saja.

Aku capek berdiri, aku jongkok. Mataku tak lepas dari pintu coklat itu. Lalu seorang gadis duapuluhan mengendarai motor merah berhenti tepat di depan pintu itu. Spontan aku berdiri. Gadis duapuluhan mengetuk pintu. Ibunya, membukakan pintu. Gadis duapuluhan masuk. Aku menyeberangi jalan, aku ingin tahu siapa gadis duapuluhan itu. Aku berdiri hanya sepuluh langkah dari pintu itu. Berdiri lagi, menunggu.

Dia keluar bersama gadis duapuluhan itu, berangkulan menuju motor yang diparkir tak jauh dariku berdiri. Mereka tertawa bersama, mereka saling menatap bahagia. Aku menangis.

Baru saja aku memutuskan untuk pulang, dia memandangku tepat di kedua mataku yang basah, lalu  memandangku secara keseluruhan. Dia membuang pandangannya, lantas memacu motor itu menjauh dariku. Gadis duapuluhan itu memeluknya erat dari belakang.

Dia tidak memandangku seperti dia memandang gadis duapuluhan itu. Padahal aku juga gadis duapuluhan, aku juga ingin dipandang seperti itu.

Aku memang bodoh.

Sepanjang perjalanan aku menangis. Malam sudah pekat ternyata, dan kusadari di hatiku telah tercipta ruang hampa yang dingin, kelam dan lebam. Lagi, mata-mata itu memandangku dengan tidak pantas. Dan segerombolan remaja yang lewat meneriaki aku, “Woi pincang!!!”

-

Ibu menungguku di teras. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai aku menenggelamkan wajahku di bantal.

“Amarilia, nggak semua cinta berakhir bahagia. Nggak semua mimpi bisa jadi kenyataan. Laki-laki itu, tidak seistimewa kamu, nak. Tuhan kasih kamu begitu istimewa kepada ibu. Kamu pantas mendapatkan yang istimewa pula.”

Ibu membelai lembut rambutku, lalu dia mulai melepaskan kepangan dan menyisir dengan jemarinya. “Besok Ibu nggak ingin melihat kamu menangis lagi.”

Tangisku semakin menjadi-jadi. Aku ingin segera berjumpa dengan matahari pagi, aku sudah selesai dengan malam.

---

Sumber gambar: http://sakurakidz.com/wp-content/uploads/2014/01/128163_anak-kecil-berjualan_663_382.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun