Mohon tunggu...
Taufiqur Rahman
Taufiqur Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku hanya ingin belajar menjadi manusia yang manusiawi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Menulis adalah harapan dalam setiap jengkal hidupku walaupun seringkali aku melalaikannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Sekecil itu di (se) pagi itu...

6 April 2011   23:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi itu, di sebuah warung tengah pasar, seorang anak kira-kira berumur 7-8 tahun giat bekerja membantu orang tuanya berjualan. Beragam pekerjaan ia lakukan, cuci piring-gelas, membungkus makanan, menyeduh minuman, dan beberapa pekerjaan lainnya. Namun itu belum cukup bagi ibunya, anak kecil itu selalu mendapatkan omelan bertubi. Belum selesai ia mencuci piring, ibunya sudah memberi perintah membungkus gorengan disertai hardikan. Sepintas, anak kecil itu diam seribu bahasa melaksanakan murka ibunya. Namun, tatap mataku melihat dengan jelas kedua bibirnya komat-kamit, sepertinya mengucapkan sesuatu. Ucapan yang tidak terucap. Menggerutu dalam kebisuan.

Aku berpikir betapa sulitnya menjadi anak yang baik. Anak yang selalu berbakti pada orang tua. Anak yang rela menghabiskan waktunya untuk meninggalkan dunia anak-anaknya, rela kehilangan keceriaan masa kecil yang indah. Lelah tubuhnya pun harus diabaikan seolah menjadi mekanis mengikuti istruksi ibunya. Akankan dia terpapar “masa kecil kurang bahagia” , guyonan yang seringkali diucapkan oleh orang-orang dewasa ketika melihat tingkah polah orang dewasa lainnya meyerupai tingkah anak-anak.

Satu waktu, dalam obrolan dengan seorang teman yang pernah melakukan penelitian tentang konsep kebahagiaan pada anak-anak, dia menuturkan jika anak-anak mendapatkan kebahagiaannya disaat bermain karena bermain merupakan dunia anak-anak. “ Anak-anak dalam konsep perkembangan Piaget berada pada tahap operasional kongkrit” ujar temanku itu memberikan alasan ilmiahnya.“Dunia pikiran anak adalah yang kongkrit, riil bagi mereka. Anak belum memiliki kemampuan berpikir abstrak (logis; deduktif-induktif). Egosentrisme menjadi ciri berpikir pada anak-anak. Yang penting bagi mereka menyenangkan tanpa mau tahu risikonya dan yang paling menyenangkan bagi anak-anak adalah bermain. Bagi sebagian orang tua hal itu tidak bisa diterima tapi memang begitulah adanya anak-anak” temanku memberikan uraian.

Mungkin itulah yang menjadi salah satu landasan berpikir para pemerhati anak dalam menyikapi -dengan prihatin- bertebarannya fakta tentang anak-anak yang dipekerjakan. Mereka menganggap itu sebagai bentuk eksploitasi anak-anak.Bagi mereka, mempekerjakan anak berarti telah merampas dunia anak, yang berarti juga pelanggaran terhadap hak (asasi) anak. Tapi bagi para orang tua yang melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaan memiliki argumentasinya sendiri. Bagi mereka, mempekerjakan anak sejak dini bertujuan untuk melatih keterampilan hidup anak agar kelak setelah besar menjadi manusia yang terampil dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Membiasakan anak bekerja sejak dini berarti juga tidak membiasakan anak hidup manja.

Dua cara pandang berbeda dalam memperlakukan anak yang diwarisi oleh masa lalu nya (tradisi) masing-masing. Sebutlah para ilmuwan dan praktisi anak mewakili tradisi modern dengan basis ilmu pengetahuannya, sedangkan orang tua (tradisional) mewakili tradisi turun temurun dari masa lalunya. Dua perspektif yang sama-sama memiliki klaim untuk kebaikan sang anak. Klaim yang menjadikan anak sebagai arena kontestasi perspektif yang berebut “yang terbaik” untuk anak. Kontestasi sebagai panggung berebut kuasa pengetahuan, masing-masing cara pandang merasa paling sahih. Sedangkan anak tetaplah anak-anak yang memiliki nalar kehidupannya sendiri. Anak-anak yang tidak pernah bergeser dari kondisi inferior dihadapan orang dewasa yang selalu mengatasnamakan (demi) kebaikan anak itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun