Mohon tunggu...
conie sema
conie sema Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni di Teater Potlot

CONIE SEMA, lahir di Palembang. Mulai menulis sastra, esai, dan naskah panggung, saat bergabung dengan komunitas Teater Potlot. Karya cerpen, puisi, esai, dan dramanya dipublikasikan media antara lain, Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Sriwijaya Post, Mongabay Indonesia, Berita Pagi, Sumatera Ekspres, Haluan Padang, Majalah Kebudayaan Dinamika, dan Lorong Arkeologi. Puisinya terhimpun dalam antologi bersama: Antologi Rainy Day: A Skyful of Rain (2018), Sebutir Garam diSecangkir Air (2018), Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), When The Days Were Raining - Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2019). Salah satu naskah dramanya, Rawa Gambut mendapat Anugerah Rawayan Award 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Perahu, adalah novel pertama (2009, cetak ulang 2018). Conie Sema bisa dihubungi: Alamat : Jalan Randu No. 13-B, Kemiling, Bandar Lampung. Telp : 0857 6972 3219 WA : 0857 6972 3219 Email : semaconie@gmail.com KTP : 1871132404650002

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pepe

13 Januari 2021   04:12 Diperbarui: 5 Februari 2021   03:37 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Esai Conie Sema

Pria tua itu kini sendiri bersama isteri tercinta. Ia memandang bunga-bunga tumbuh di pekarangan rumah tua yang sangat sederhana di luar ibukota Uruguay, Montevideo. Udara sejuk. Air bening mengalir dari sumur di halaman belakang.

Setiap pagi berkeliling kebun bersama seekor anjing setia. "Saya sudah hidup seperti ini hampir seluruh hidup saya. Saya bisa hidup dengan apa yang saya punya," katanya sembari duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.

Jos Alberto Mujica Cordano, lelaki tua itu, sempat 14 tahun menghabiskan waktunya di penjara. Selama ditahan ia mengalami penyiksaan dan terisolasi. Mucija, masa tahun 1960-an hingga 1970-an, memimpin laskar gerilya Tupamaros. Sebuah kelompok bersenjata sayap kiri yang terinspirasi oleh revolusi Kuba. Selama ditahan, ia mengalami penyiksaan dan terisolasi. Hingga dibebaskan tahun 1985, ketika Uruguay kembali ke masa demokrasi.

"Masa-masa di penjara itulah yang telah membentuk pandangan hidup saya," kenangnya. "Saya mungkin terlihat seperti pria tua yang eksentrik. Tapi inilah pilihan," kata Mujica dikutip Dream dari laman BBC, Sabtu 12 Juni 2014.

Mujica, dilantik jadi Presiden Uruguay 1 Januari 2010, meraup suara 52 persen pada pemilu. Setiap hari ia tetap pulang ke rumah. bukan ke istana atau rumah dinas presiden. Sore itu, ia kembali ke rumahnya tidak lagi sebagai presiden. sebagai rakyat biasa. Ia pulang dengan kesederhanaan bersama isterinya, Lucia Topolansky. jalan menuju rumahnya tak berubah masih tanah tak diaspal. Hanya mobil VW Beetle dan harta kekayaan senilai 322.883 US dollar atau sekitar Rp 4 miliar, sudah termasuk traktor dan alat pertanian milik isterinya.

"Saya disebut 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mencoba memelihara gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin berlebih-lebihan," katanya.

"Seorang presiden adalah seorang pejabat tinggi yang dipilih untuk bekerja. Dia bukan raja, apalagi dewa. Dia juga bukan tukang sihir yang mengetahui segalanya," ujar Mujica. "Presiden adalah seorang pelayan rakyat. Saya pikir gaya hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti kebanyakan rakyat yang diwakili dan dilayaninya," paparnya dalam wawancara dengan Al Jazeera beberapa waktu lalu.

Menurut Mujica, yang juga seorang marxis, penyakit 'kebutuhan tanpa batas' itu ditularkan oleh kapitalisme. Kapitalismelah memaksa orang menyembah logika profit, yakni menumpuk keuntungan tanpa batas. Alhasil, manusia menjadi makhluk paling serakah. Kapitalisme pula yang memaksa manusia sejak lahir hingga jadi bangkai untuk menyembah konsumtifisme. Bahkan, manusia dipaksa berkonsumsi di luar kebutuhan dan kemampuannya.

Mujica seakan mengingatkan kita pada Gandhi, bahwa "bumi ini sebenarnya cukup, bahkan berlebih, untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun