Tatkala membaca laporan utama Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 soal ekspor benih lobster sungguh mencengangkan. Ternyata dibalik legalisasi ekspornya melibatkan berbagai aktor politik, korporasi dan aparat negara. Laporan ini pastinya memerahkan kuping pihak-pihak yang tercatut namanya.
Apakah reaksi mereka pasca keluarnya pemberitaan ini? Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No 12/2020 yang melegalisasi ekspor benih lobster berpotensi memicu polemik baru.
Kalau masalah bisnisnya begini, sudah masuk ranah ekonomi politik. Bisnis ekspor benih lobster tak murni lagi bisnis semata. Melainkan sudah berkelindan dengan kepentingan politik. Mengapa demikian?
Menggiurkan
Bisnis ekspor benih lobster amat menggiurkan di pasar internasional terutama Vietnam. Riset Petersen et al (2015) mencatat harga rata-rata benih per ekornya di Vietnan USD 13 per ekor. Di Teluk Ekas dan Telong Elong/Gili Belik NTB hargan harga di tingkat nelayan dan pengepul USD 0,43 dan USD 0,95. Harga rata-rata di Vietnam USD 13. Selisih harga rata-ratanya USD 12.57 (2,923 %) Â dan USD 12,05 (1,268 %).Â
Keuntungan yang diperoleh amatlah fantastis. Bila diasumsikan suatu perusahaan mendapatkan jatah kuota ekspor ke Vietnam 10 ribu ekor, bakal ia meraup keuntungan rata-rata USD 120 ribu hingga USD 125 ribu sekali mengekspor. Bisnis ini memang amat menggiurkan. Makanya tak perlu heran jika politisi, elit yang dekat kekuasaan berkolaborasi dengan pengusaha buat memuluskan bisnis ini.
Dalam literature ekonomi politik modus bisnis begini disebut kompradorisasi. Siapa saja kompradornya? Mereka adalah kalangan elit yang dekat penguasa, politisi, hingga aparat negara. Mereka bukan pelaku utamanya. Mereka hanyalah membeking dan memuluskan lahirnya kebijakan bisnisnya. Bila perlu menekan pengambil kebijakan supaya prosesnya cepat.
Apakah dalam kasus legalisasi ekspor benih lobster telah melibatkan kaum komprador? Mencermati laporan utama Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2020 memperjelas beroperasinya kompradoriasi bisnis dalam ekspor benih lobster. Apalagi, yang terlibat di dalamnya berkelindan dengan pebisnisnya.
Selain masifnya para komprador yang beroperasi, modus semacam ini kerapkali melibatkan mafia atau eks mafia yang berbisnis lobster. Mereka dulunya pebisnis benih lobster di pasar gelap. Tatkala pasar ekspor dibuka lebar berbasis aturan. Mereka langsung berubah haluan sebagai eksportir legal.
Mereka ramai-ramai mengusulkan kuota tak peduli apakah usahanya sudah berlangsung lama atau baru beroperasi. Yang penting telah menggenggam izin dan kuota ekspor dari pemerintah.
Aturan PermenKP No 12/2020 yang baru keluar mensyaratkan adanya pemanenan berkelanjutan, kewajiban membudidayakan dan melepasliarkan 2 persen serta berdasarkan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan. Kenyataannya baru dua bulan sudah 26 perusahaan eksportir yang mengengaam izin usaha (Tempo, 2020).