MEMBENAHI PERGARAMAN NASIONAL
Oleh: Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/
Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang menjamin Indonesia tak bakal impor garam tahun 2021, menggembirakan. Â
Menurutnya saat ini sedang dikembangkan lahan garam seluas 3.720 hektare di NTT yang akan berproduksi tahun 2021. Urusan sengketa lahan yang jadi penghambat selama ini  sudah beres. Diperkirakan lahan tersebut bakal memproduksi 800 ribu ton garam industri dengan kualitas tinggi (high quality) setiap tahunnya (Detik.com 18.07/2019). Â
Apakah program ini termasuk lahan garam millik rakyat? Â Hal ini penting untuk dipertimbangkan agar program swasembada garam berbasis kerakyatan jadi prioritas.
Impor Buat Apa?
Tahun 2019 ini produksi garam nasional mengalami surplus 1,6  juta  ton.  Angka ini bersumber dari (i) produksi garam tahun 2018 sebesar 2,7 juta ton yang bersumber dari sentra produksi garam rakyat 2,35 juta ton, dan 367.260 ton berasal dari produksi PT Garam; (ii) realisasi impor tahun 2018 sebesar 3,2 juta ton; (iii) Total garam yang tersedia sepanjang 2018 sebesar  5,9 juta ton.Â
Sementara, kebutuhan nasional tahun 2018 sebesar 4,3 juta ton, sehingga ada surplus 1,6 juta ton tahun 2019. Jika pemerintah berniat mengimpor  lagi 2,7 juta ton tahun 2019, berarti total garam yang tersedia menjadi 4,3 juta ton ditambah produksi nasional sebesar 2,32 juta ton menjadi 6,62 juta ton. Lantas buat apa impor 2,7 juta ton itu?Â
Bukankah pemerintah mestinya menurunkan kebutuhan impor garam? Jika kebutuhan 2019 sebesar 4,19 juta ton 2019 berarti tidak perlu impor. Pasalnya nilai suplus 2018 ditambah produksi 2019 mencapai 4,3 juta ton. Artinya masih surplus 0,21 juta ton. Â