Ironisnya, lagi pemerintah hendak menaikan kuota impor garam dari 2,7 ton menjadi 3,7 juta ton. Melonjaknya kuota impor garam ini menjatuhkan harga garam di tingkat petani anjlok. Â
Petani garam kembali menelan kerugian. Â Memang tahun 2015, produksi garam nasional telah menyentuh angka 3 juta ton. Akan tetapi faktor alam, berupa musim hujan yang panjang dan curahnya tinggi, disertai terjadi La Nina.Â
Masalah berbarengan ini jadi biang kerok anjloknya produksi garam  tahun 2016. Imbasnya, produksi garam nasional hanya 118.055 ton (8,10 %) dari dibandingkan produksi tahun 2015 sebesar 2,9 juta ton (KKP, 2017).Â
Menyikapi hal itu pemerintah memutuskan impor sebanyak 75.000 ton. Impor dilakukan lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menugaskan PT Garam untuk jenis garam konsumsi (Media Indonesia, 28/07/2017). Begitulah kondisi tahun 2017.
Pertanyaannya, mengapa sengkarut garam tak pernah tuntas meski produksi nasional surplus? Â Kerapkali keluhan industri, membeli garam produksi rakyat, kualitasnya rendah karena tak memenuhi standar yang dibutuhkan. Berbeda dengan kualitas garam impor.Â
Apalagi yang diproduksi lewat tambang garam, bukan dari air laut. Kualitasnya dijamin terstandarisasi dan sudah mengalami proses pengolahan sebelum dipasarkan. Hal inilah yang membuat usaha garam nasional bak benang kusut dan setiap tahun masalahnya terus berulang.
Berbeda dengan produksi garam rakyat kita. Garamnya masih bercampur tanah atau lumpur sehingga konsumen enggan membelinya. Imbasnya, petambak garam gigit jari di tengah serbuan garam impor. Â
Mereka tak menikmati keuntungan karena dari hasil produksi malah mengalami kerugian. Problemnya, amat sederhana. Teknologi pergaraman kita masih konvensional. Garam yang berkualitas standar mestinya dipanen di atas meja garam. Petmbak garam kita belum menjalankan mekanisme itu dalam produksi garam.Â
Akibatnya, mereka tetap saja memanen meja garamnya yang masih bercampur tanah atau lumpur. Ketika hasil produksi dijual ke pasar, harganya anjlok karena tak mampu bersaing dengan garam impor yang berkualitas standar. Situasi ini dimanfaatkan importir garam dengan dalih kebutuhan garam berkualitas pasokannya kurang untuk kebutuhan industri.Â
Dasarnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Â Ketentuan ini mengalihkan wewenang rekomendasi impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin).Â
Situasi ini menyebabkan harga garam produksi petambak bervariasi. Mulai dari harga kualitas unggul (KW I) Rp 600/kg KW II Â Rp 500/kg hingga KW III Rp 400/kg. Â Mungkinkah petambak garam bakal melonjak kesejahteraan jika setiap tahun menghadapi problem struktural semacam ini? Mungkinkah dibalik asinnya bisnis garam ada mafia yang bermain demi meraup keuntungan? Â