Mungkin kita bisa meniru apa yang dikata Ms Saeki ke Kafka, buatlah memori. Hiduplah untuk membuat memori, sekecil apapun, seremeh apapun. Mengantar teman menengok pacarnya ke rumah sakit, membeli sepatu baru, ke perpustakaan yang sepi, marah ke motor ugal-ugalan, apapun itu. Inipun hanya saran yang ak kopi dari buku Kafka on the shore. Tapi tidak ada salahnya kita coba.
Bila rasa sakitnya sudah tidak tertahan, beranikan diri ke dokter. Depresi adalah sakit fisik. Tidak ada bedanya dengan sakit jantung, sakit paru-paru, sakit kanker. Fisik otak kita harus diobati. Apakah ada jaminan akan membaik? Mungkin. Dokter juga manusia, bisa salah, bisa mereka bad mood, bisa mereka memberikan judgement ke kita. Kalau tidak cocok dengan dokter satu, bisa kita cari dokter yang lain. Kalau tidak cocok dengan dokter perempuan, cari dokter laki-laki. Kalau nyaman dengan dokter tua, maka carilah dokter yang sudah tua. Apapun itu yang membuat dirimu nyaman bercerita.Â
Ke dokter dan berobat bukan penghakiman. Apakah kita sakit mental seperti orang gila? Mungkin, why not? Embrace it.Â
Setelah mendaftar, masuk ruang tunggu, kita akan melihat antrian orang yang berobat ke psikiater. Bukan cuma kamu, bukan cuma aku, tapi mereka, kita semua.
Berapa lama depresi telah merenggut hidupku? 6 tahun. Enam tahun perjuangan. Kadang kalah, kadang menang, kadang jatuh, kadang sober. Dia merenggut kehidupannya. Diriku yang lama telah mati. Sayangnya tidak ada kuburannya, tidak ada bangkainya. Dia menguap tanpa jejak.Â
Sekarang? Stuck. Colorless.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H