Sebenarnya isu tentang kedekatan KPUD dengan pasangan calon tertentu bukanlah isu yang baru, dan bukan hanya di satu daerah saja. Jangankan untuk KPUD, KPU saja pernah diisukan sudah “dipegang” oleh calon tertentu, terutama ketika Pilpres pada 2009 dan 2014 silam. Jadi, isu tentang adanya “main mata” antara KPU/D dengan salah satu paslon adalah isu lama yang selalu muncul secara konsisten di setiap pesta demokrasi, dari kelas Pilkades hingga Pilpres. Termasuk DKI Jakarta.
Namun, secara khusus untuk KPUD DKI Jakarta, kali ini menjadi sangat menarik terutama karena pemberitaannya yang akhir-akhir ini seakan begitu penuh cacat, diperkuat dengan ketuanya yang dinegasikan dengan berbagai hal “tak terpuji”. Selain itu, tentu saja kondisi politik Jakarta yang masih memanas sejak beberapa bulan terakhir ikut memengaruhi perkembangan kondisi psiko-politik masyarakat Jakarta, apalagi ditambah dengan persiapan menuju putaran kedua yang meniscayakan persiapan-persiapan khusus.
Di tengah asyik-masyuk dengan persoalan Pilkada, kemudian ada sekelompok orang yang “menyerang” Sumarno, ketua KPU DKI Jakarta. Momentumnya tercipta ketika Ahok-Djarot memilih untuk walk out dari rapat pleno pertama. Sumarno, kemudian menjadi sosok yang penuh cacat. Berbagai analisa pun dikeluarkan dengan “tingkat rasionalitas tinggi”. Berbagai dosa Sumarno pun dikupas tuntas sehingga ia menjadi sosok yang tidak pantas untuk menjadi ketua KPUD DKI Jakarta. KPUD DKI Jakarta yang sempat salah memasukkan data, dugaan pembungkaman suara di kantong-kantong pemilih Ahok-Djarot, data real count KPUD DKI Jakarta yang berubah, dan munculnya ratusan ribu suket pengganti e-KTP.
Catatan dosa itu ditambah dengan adanya “kedekatan personal dan alamiah” Sumarno, sebagai dosen di UMJ, dengan Sandiaga Uno, sebagai bendahara di Badan Pengurus Harian UMJ. Sumarno yang Muhammadiyah mempunyai kedekatan psikologis untuk dekat dengan Anies-Sandi, apalagi sikap Muhammadiyah Jakarta yang jelas mendukung Anies-Sandi. Gambar DP Whatsapp Sumarno pun ikut dijlentrehkan, bersama pertemuannya dengan Anies tepat pada hari pencoblosan ulang. Seakan nyata, bahwa Sumarno begitu getolmendukung Anies-Sandi.
Kalau kita mau mengikuti logika “main mata” KPUD DKI Jakarta dengan pasangan calon tertentu itu, lalu sebenarnya Sumarno mendukung siapa? Karena sebelumnya Sumarno (atas nama KPUD DKI Jakarta) melaporkan akun twitter yang, menurutnya, secara serampangan menuduhnya berkongkalikong untuk memenangkan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta kali ini. Sumarno melaporkan akun yang melakukan fitnah dan menyebarkan berita hoax, bahwa ia dan KPUD DKI Jakarta mendukung Ahok.
Setidaknya ada 28 butir yang menjadi hoax.Menurut Sumarno, yang dikutip dari cnnindonesia.com, "ada 28 butir yang diberitakan itu semuanya berita fitnah. KPU DKI Jakarta (disebut) menambah TPS khusus untuk pekerja reklamasi, kemudian KPU DKI Jakarta juga disebut melakukan langkah-langkah untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya”. Termasuk foto sosialisasi seolah-olah Sumarno menyosialisasikan surat suara yang mencoblos calon tertentu. Akun itu dilaporkan karena status dari akun tersebut telah mendeligitimasi KPUD DKI Jakarta sebagai penyelenggara pemilu yang harus netral dan berintegritas.
Tulisan ini sebenarnya tidak untuk menjelaskan apa-apa, apalagi tentang keberpihakan Sumarno dan KPUD DKI Jakarta yang harus kita percayai sebagai pihak yang netral, profesional, dan bekerja dengan integritas yang tinggi sebagai penyelenggara pemilu.
Apa yang berkembang saat ini hanyalah bagian dari proses untuk mempertahankan momentum untuk menghajar Sumarno dan KPUD DKI Jakarta dengan berbagai isu yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, terutama di dunia media sosial. Apa yang terjadi di media sosial saat ini, sepertinya adalah bagian dari upaya untuk menggiring opini masyarakat terhadap Sumarno dan KPUD DKI Jakarta sehingga persepsi, asumsi, dan dugaan masyarakat menjadi begitu buruk terhadap KPUD, dan tidak layak dipercaya lagi. Artinya, ketika KPUD DKI Jakarta sudah dicurigai melakukan kongkalikong, hasilnya pun akan dicurigai sedemikian rupa, sehingga bisa melahirkan konflik horizontal yang mengkhawatirkan, terutama Pilkada di DKI Jakarta yang sangat panas ini.
Siapakah pihak itu? Tentu saja adalah pihak yang mempunyai media dan tim media yang bisa menguasai pemberitaan. Bisa mengondisikan medsos sehingga menjadi trending. “Kemelut” itu semakin runcing, ketika Ahok, semakin memperburuk citra KPUD DKI Jakarta (melalui Sumarno) dengan mempertanyakan keprofesionalitasannya. Padahal, sebagai calon yang sedang bertarung dan mempunyai pengikut, Ahok tak semestinya bersikap seperti itu. Karena jelas itu adalah terlihat sebagai provokasi, untuk mendelegitimasi KPUD DKI Jakarta. Banyak pengamat yang menyayangkan hal itu, karena sikap yang ditunjukkan Ahok dengan walk out ketika rapat pleno, lalu memberikan komentar tidak “proporsional” dan cenderung delegimitatif, dapat memperkeruh suasana politik Jakarta yang memang panas.
Tulisan ini, sebagaimana dikatakan sebelumnya, tidak untuk menggiring pada penjelasan dukungan Sumarno, karena memang tidak tahu. Tulisan ini hanya ingin mengatakan, bahwa KPUD DKI Jakarta menjadi sasaran, yang dimulai dengan adanya upaya delegitimasi KPUD DKI Jakarta sebagai penyelenggara pelaksanaan Pilkada ibu kota ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI