Mohon tunggu...
Rizky Lubis
Rizky Lubis Mohon Tunggu... -

Bukan Seorang Pengamat ataupun pakar, tapi hanya seorang Sejarahwan muda yang mencintai sejarah bangsanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wacana di Seputaran Pemilu Analisa Dasar Seputar usulan Mendagri

27 Januari 2018   23:40 Diperbarui: 27 Januari 2018   23:47 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara umum, negara yang menganut asas demokrasi memiliki delapan ciri sebagai penanda bahwa benar negara tersebut merupakan negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Salah satu dari kedelapan ciri tersebut adalah melaksanakan pemilihan umum. Dalam perjalanannya, Negara Republik Indonesia melakukan pemilihan umum untuk pertama kalinya pada tahun 1955, dimana pada saat itu pemilu dilakukan untuk memilih konstituante. Tetapi, pemilihan umum yang benar-benar demokratis baru bisa dirasakan masyarakat Indonesia pada tahun 2004 atau 49 tahun sejak pemilu pertama diselenggarakan.

Sebagai negara yang menjunjung asas Hak Azasi Manusia yang tinggi, setiap masyarakat berhak memilih dan dipilih baik sebagai kontestan dalam pemilu maupun sebagai pendukung dalam jalannya pemilihan umum di Republik tercinta ini. Sebelum pemilu tahun 2019 diselenggarakan, pada tahun 2018 ini beberapa daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum secara serentak untuk memilih kepala daerah baik itu pemilihan Gubernur maupun Bupati/ Walikota. 

Pada awalnya, perhatian masyarakat di tingkat nasional masih terfokus pada masing-masing daerah penyelenggara saja, tetapi hal ini berubah ketika pemerintah yang dalam hal ini Bapak Menteri Dalam Negeri berencana akan menunjuk dua orang jenderal bintang dua sebagai Penjabat (PJ) Gubernur untuk daerah Propinsi Sumatera Utara dan daerah Propinsi Jawa Barat. Meskipun Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa itu hanya sekedar usulan, dan usulan tersebut tidak hanya dari institusi POLRI, seperti yang dikutip dari Kompas.com pada hari kamis 25 Januari 2018.

Hal ini kemudian menjadi viral dikalangan masyarakat terutama di media sosial dan menjadi perbincangan hangat di dunia pertelevisian nasional yang masing-masing mendatangkan pakar-pakar dari ilmu yang linear untuk mengkaji apakah keputusan ini tepat atau melanggar undang-undang, bahkan disalah satu televise nasional swasta ada yang mendatangkan Bapak Menteri tersebut untuk memberikan keterangan dan penjelasan kepada masyarakat agar tidak terjadi kegaduhan.

Perlu kita ketahui bersama, jabatan Gubernur Propinsi Sumatera Utara dan Gubernur Propinsi Jawa Barat sama-sama habis pada bulan Juni, dimana tanggal 17 Juni 2018 Untuk Gubernur Sumatera Utara dan tanggal 13 Juni 2018 untuk Gubernur Jawa Barat.  Oleh karena itu, untuk menghindari kekosongan kekuasaan, maka diperlukan seorang pelaksana tugas ataupun penjabat gubernur untuk menjaga stabilitas dan keamanan pemerintahan serta dalam terselenggaranya pemilu hingga masa pelantikan terlaksana.

Akan tetapi, sebagai analisa dasar, dengan memasukkan anggota Kepolisian didalam daftar usulan Penjabat Gubernur bukanlah sebuah pilihan yang tepat meskipun nantinya, kedua nama tersebut akan di non aktifkan untuk sementara waktu dari jabatannya yang asli. Berbagai spekulasi dan alasan mulai muncul dikalangan masyarakat, dari agar pemilihan berjalan aman dan lancar hingga dugaan yang lebih ekstrim seperti adanya kepentingan di tingkat pusat. Namun, apapun itu alasannya, kedua perwira tinggi tersebut masih berstatus anggota meskipun nantinya akan di non aktifkan untuk sementara waktu.

Didalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002, pada pasal 28 ayat 1 dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, dan pada ayat 3 dijelaskan bahwa anggota Kepolisian Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri ataupun pension dari dinas Kepolisian. Berangkat dari pasal ini, sudah di tegaskan bahwa apapun bentuknya, meskipun di non aktifkan, tetap bertentangan dengan UU Kepolisian itu sendiri. 

Lebih dari itu, didalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pada pasal 201 ayat 10 jelas disebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 

Sejalan dengan hal ini, dalam Permendagri No 74 tahun 2016 pada pasal  4 ayat 2 disebutkan bahwa Pelaksana Tugas Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tingi madyaKementerian Dalam negeri atau Pemerintah Daerah Provinsi. Memang, jabatan setingkat pimpinan madya adalah perwira tinggi berbintang dua, tetapi hal tersebut tetap tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan UU No. 2 tahun 2002 tersebut. Terlebih lagi, institusi POLRI adalah sebuah institusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan memiliki komandonya tersendiri.

Sebagai bangsa yang tidak lupa akan sejarahnya, kiranya kita tak boleh menghianati usaha yang dilakukan oleh Presiden ke 4 Republik Indonesia Bapak Alm. Abdurrahman Wahid, yang pada masa pemerintahannya telah berusaha memisahkan Angkatan Bersenjata (TNI/ POLRI) dari kegiatan politik dan jabatan struktural di pemerintahan. Konsep Supremasi Sipil benar-benar ditekankan pada saat itu, meskipun memang "peletakan batu pertama" sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Presiden RI ke 3, Bapak B.J Habibie. Bukan sebagai Justifikasi terhadap sebuah kebijakan, tetapi kiranya, kekurangan yang dilakukan pada masa Orde Baru tidak perlu kita tiru dan harus kita perbaiki agar Indonesia lebih baik lagi.

Meskipun kita menjunjung tinggi asas Hak Azasi Manusia, dan memang benar setiap orang berhak dipilih dan memilih, perlu kita sadari bahwa setiap HAM itu memiliki sifat yang Universal dan Relatif apa yang menjadi fenomena saat ini merupakan cerminan dari relatifnya Hak Azasi seseorang, karena memang sudah sangat jelas diatur didalam Undang-undang. Apapun alasannya, Indonesia tetap menjunjung tinggi peraturan yang berlaku, hukum harus ditegakkan dan sejatinya peraturan itu dibuat tidak bertentangan dengan peraturan yang berada diatasnya.

Sebagai masyarakat yang cinta terhadap negaranya, kita sama-sama berharap bahwa Indonesia akan tetap aman dan tenteram meskipun usulan ini dilontarkan. Kita menginginkan bahwa di tahun pemilu ini akan terselenggara pemilihan umum yang sangat demokratis, dan jauh dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentunya, kita juga menginginkan bahwa pemilu akan diselenggarakan dengan aman dan damai. Sebait harapan tak pula kita haturkan, semoga dari pemilihan kali ini, akan lahir pemimpin-pemimpin baru yang amanah dan bisa membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik lagi. Salam Kebhinekaan...!!!

Pustaka

Ubaedillah, A, Pancasila: Demokrasi dan Pencegahan Korupsi (Pendidikan Kewarganegaraan

Edisi I). Jakarta: Pranadamedia Group, 2015.

hukumonline.com

setkab.go.id

UU. No 10 tahun 2016 tentang Pilkada

Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun