Mohon tunggu...
Dece Mulyono
Dece Mulyono Mohon Tunggu... Freelancer - pemerhati masalah sosial

menulis untuk kebaikan bersama...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Lingkar Tambang di Morowali

19 Juli 2019   19:04 Diperbarui: 19 Juli 2019   19:54 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tambang nikel terbesar di Morowali, Sulawesi Tengah.(KOMPAS.COM/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA)

Masyarakat Desa Lingkar Tambang di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu warga asli dan warga pendatang. Warga asli adalah warga desa lingkar tambang yang berasal dari suku Bungku, suku bangsa yang telah mendiami wilayah Bahodopi sejak dahulu. 

Mereka tinggal di desa-desa indigineus yang ada di Kecamatan Bahodopi seperti Lele, Dampala, Lalampu, Siumbatu, Bahodopi, Keuriea, Fatufia, Labota, Padabaho dan Bete-Bete. Sedangkan warga pendatang adalah warga desa lingkar tambang yang tidak berasal dari suku Bungku tetapi dari suku bangsa lain, seperti suku Jawa, Toraja, Bali, Bugis, dan Makasar. 

Mereka tinggal di desa-desa yang terbentuk sejak tahun 1992 berkat pelaksanaan program transmigrasi, seperti Bahomakmur dan Makarti Jaya.

Warga  Asli di Desa Lingkar Tambang 

Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat Bahodopi, warga asli (suku Bungku) baru menempati desa-desa di wilayah Kecamatan Bahodopi sejak tahun 1965. 

Sebelumnya mereka tinggal di daerah Lerea, suatu daerah di kawasan perbukitan yang meskipun hanya berjarak 50-an km dari ibu kota kecamatan Bahodopi, namun untuk mencapai daerah tersebut membutuhkan waktu tempuh perjalan selama beberapa hari. 

Hal itu karena kondisi topografi yang berbukit-bukit, wilayah masih berupa hutan dan belum ada fasilitas jalan yang menghubungkan antara Bahodopi dengan Lerea, sehingga untuk mencapai daerah tersebut hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Lerea sebenarnya juga bukan merupakan daerah pemukiman asli warga suku Bungku, melainkan hanya pemukiman sementara. Mereka terpaksa tinggal di Lerea dan harus meninggalkan rumah mereka di daerah Bungku karena mengikuti pimpinan mereka, Kahar Muzakar. 

Kahar Muzakar melakukan pemberontakan bersenjata melawan pemerintah Republik Indonesia, dan Ia menjadikan Lerea sebagai markas perjuangan. 

Pada saat tinggal di Lerea, pengikut Kahar Muzakar hanya melakukan perang dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka mengumpulkan dari warga yang ada di desa-desa di daerah Morowali.

Pada saat pemberontakan Kahar Muzakar berakhir dengan kemenangan di pihak TNI, maka para pengikut Kahar Muzakar digiring oleh pasukan TNI keluar dari Lerea menuju Bahodopi. 

Di Bahodopi mereka di tempatkan di daerah-daerah kosong yang pada saat ini berkembang menjadi desa-desa indigineus yang ada di Kecamatan Bahodopi.

Setelah sampai di wilayah Bahodopi, para pengikut Kahar Muzakar diberi kesempatan untuk menata hidup kembali. Selain diberi kesempatan untuk membangun pemukiman baru sebagai tempat tinggal, mereka juga diberi kesempatan untuk mengembangkan sumber penghidupan sesuai dengan minat dan keahlian yang dimiliki. 

Sebagian besar mengembangkan usaha tani baik pertanian sawah maupun pertanian ladang, dan sebagian lagi mengembangkan usaha penangkapan ikan (nelayan). Di sela-sela kesibukan bertani atau menangkap ikan, mereka juga melakukan kegiatan mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, dan sagu.

Pertanian sawah banyak dikembangkan di daerah bantaran sungai-sungai yang ada di wilayah Bahodopi. Berkat keberadaan sungai-sungai tersebut, lahan persawahan yang dikembangkan oleh warga relatif subur karena tersedia air yang cukup untuk irigasi pertanian yang diambil dari sungai-sungai tersebut. 

Di lahan persawahan tersebut, hampir sepanjang tahun warga dapat membudidayakan tanaman padi yang hasilnya dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Salah satu desa yang memiliki lahan persawahan relatif luas sehingga menjadi sentra pertanian padi sawah di wilayah Bahodopi adalah Desa Dampala. Di desa tersebut sebagian besar warga bekerja sebagai petani sawah dengan tanaman padi sebagai komoditas pertanian utama.

Di desa-desa lain di wilayah Bahodopi sebenarnya juga ada lahan persawahan, namun jumlahnya relatif terbatas. Hal itu karena rata-rata topografi wilayah di desa-desa tersebut berbukit-bukit sehingga tidak cocok untuk lahan persawahan. 

Keterbatasan lahan persawahan tersebut menyebabkan sebagian besar warga mengembangkan pertanian ladang, baik dilahan hutan milik sendiri maupun milik negara. 

Karena tidak ada saluran irigasi dan hanya mengandalkan air hujan sebagai air irigasi,  maka warga yang bekerja sebagai petani ladang  hanya membudidayakan tanaman padi sekali dalam satu tahun yaitu pada musim penghujan saja (Oktober-Maret). 

Pada musim kemarau lahan ladang milik warga dibiarkan bera (tidak ditanami) hingga tiba musim hujan kembali. Selain menanam tanaman padi, pada umumnya warga juga menamam tanaman buah-buahan di lahan ladang yang dimiliki.

Selain mengembangkan usaha tani sawah/ladang, karena umumnya desa-desa yang dihuni oleh warga asli terletak di wilayah pesisir/pantai maka ada pula warga yang bekerja sebagai penangkap ikan (nelayan). 

Profesi ini juga dapat memberikan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena perairan laut di wilayah Bahodopi kaya dengan ikan dan udang. Sekali melakukan kegiatan melaut rata-rata nelayan bisa mendapat ikan/udang beberapa puluh kilo. Setelah hasil tangkapan tersebut dijual maka mereka menggunakan uang yang diperoleh untuk membeli beras dan aneka barang kebutuhan hidup lainnya.  

Kegiatan mengambil hasil hutan dilakukan oleh semua warga di desa-desa indigineus di wilayah Bahodopi baik yang bermata pencaharian sebagai petani maupun nelayan. Mereka melakukan kegiatan tersebut di sela-sela kesibukan mengolah lahan pertanian atau menangkap ikan dilaut. 

Beberapa hasil hutan yang dikumpulkan oleh warga antara lain damar, rotan dan sagu. Hasil warga melakukan kegiatan mengambil hasil hutan dapat menambah penghasilan keluarga, lebih-lebih pada saat harga ketiga komoditas tersebut tinggi. 

Pada umumnya, hasil hutan yang diperoleh oleh warga dijual ke warga lain yang berprofesi sebagai pengepul. Para pengepul tersebut kemudian menjual dagangannya ke para pedagang di kota Palu dan Kendari.  

Dari hasil bertani, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan warga asli dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak pernah mengalami kekurangan pangan karena hasil pertanian dan hasil tangkapan ikan berlimpah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Penghasilan yang diperoleh semakin meningkat ketika mereka pergi ke hutan untuk mengambil damar, rotan dan sagu yang harganya di pasaran relatif tinggi.  

Warga Pendatang di Desa Lingkar Tambang

Warga pendatang yang berasal dari suku Jawa, Bali, Bugis, Makasar dan Toraja mulai masuk ke wilayah Bahodopi sejak tahun 1992. Mereka tinggal di Desa Bahomakmur dan Makarti Jaya, dua desa di wilayah Bahodopi yang didirikan oleh pemerintah melalui program transmigrasi. 

Jumlah warga transmigrasi yang ditempatkan di masing-masing desa tersebut sekitar 250 kk. Selain mendapatkan rumah untuk tempat tinggal dan jatah hidup (bantuan bahan pangan) selama satu tahun, warga transmigran di desa Bahomakmur dan Makarti Jaya juga mendapatkan lahan pekarangan dan lahan usaha dengan luas keseluruhan mencapai 2 hektar.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, warga transmigran di Desa Bahomakmur dan Makarti Jaya mengembangkan usaha pertanian di lahan usaha yang mereka terima. 

Komoditas pertanian utama yang dibudidayakan adalah padi dan sayuran. Selain itu mereka juga menanam tanaman perkebunan seperti tanaman jambu mete dan kakao. Disamping itu, untuk menambah penghasilan ada pula warga transmigran yang melakukan kegiatan mengambil hasil hutan seperti damar, rotan dan sagu.

Sebelum keberadaan perusahaan pertambangan pertumbuhan ekonomi di desa Bahomakmur dan Makarti Jaya relatif lambat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut adalah kondisi lahan usaha yang kurang subur, akibat tingginya kandungan bahan tambang (nikel). 

Kondisi tersebut menyebabkan lahan tidak cocok untuk membudidayakan tanaman padi. Tanaman padi yang dibudidayakan oleh petani tidak dapat tumbuh subur sehingga hasil panen juga relatif sedikit. 

Warga sering mengalami kerugian dalam usaha tani karena hasil panen tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Kesulitan hidup tersebut menyebabkan banyak warga transmigran yang akhirnya meninggalkan desa Bahomakmur dan Makarti Jaya, kembali ke kampung halaman atau pindah ke kota terdekat untuk mencari sumber penghidupan baru.

Mereka yang tetap tinggal di Bahomakmur dan Makarti Jaya terpaksa mencari sumber penghidupan lain di luar sektor pertanian untuk menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun karena di kedua desa tersebut dan desa-desa lain di wilayah Bahodopi tidak tersedia kesempatan kerja maka akhirnya banyak warga yang merantau ke kota, seperti Kendari dan Palu untuk memperoleh pekerjaan. 

Di kota-kota tersebut, mereka bekerja sebagai tukang bangunan, buruh bangunan, buruh industri pembuatan genteng dan pekerjaan kasar lainnya. Penghasilan dari bekerja sebagai buruh/tenaga kasar di kota tersebut kemudian dibawa pulang ke desa untuk menyambung kehidupan keluarga.

Hingga tahun 2009 kehidupan warga pendatang di Desa Bahomakmur dan Makarti Jaya relatif menderita. Salah satu kasus yang menggambarkan kesulitan hidup yang dialami oleh warga transmigran di Bahomakmur dan Makarti Jaya adalah peristiwa pencurian kabel listrik yang terpasang di jaringan listrik milik PLN di wilayah Bahodopi. 

Jaringan kabel listrik yang dipasang untuk mengalirkan arus listrik tersebut dicuri oleh oknum warga Bahomakmur dan dijual di pasar loak di kota Palu. Ketika ditangkap dan diinterogasi oleh aparat kepolisian, oknum warga Bahomakmur tersebut mengaku mencuri kabel listrik tersebut karena butuh uang untuk membeli beras untuk keluarganya.

Transformasi ekonomi subsisten menuju ekonomi pertambangan 

Sejak tahun 2009 warga masyarakat desa lingkar tambang mengalami perubahan sistem ekonomi, dari ekonomi subsisten menuju ekonomi pertambangan. Mereka mulai meninggalkan kegiatan ekonomi yang tidak berorientasi pada keuntungan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi/domestik, menuju kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif dan sepenuhnya berorientasi pada keuntungan. 

Perubahan tersebut terjadi akibat masuknya perusahaan pertambangan ke wilayah Bahodopi. Perusahaan tambang yang pertama kali masuk dan berinteraksi dengan warga masyarakat Bahodopi adalah PT Bintang Delapan Mineral (BDM).

Transformasi ekonomi dari ekonomi subsisten menuju ekonomi pertambangan terjadi berkat kemampuan warga masyarakat di desa lingkar tambang untuk memanfaatkan kesempatan usaha yang muncul berkat keberadaan perusahaan pertambangan. 

Beroperasinya perusahaan pertambangan di wilayah Bahodopi telah menyebabkan terjadinya pertambahan penduduk di wilayah tersebut. 

Hal itu karena banyak warga dari luar daerah yang datang ke Bahodopi untuk bekerja di perusahaan pertambangan. Mereka membutuhkan tempat tinggal yang bisa dimanfaatkan untuk istirahat atau berkumpul dengan keluarga setelah bekerja. 

Karena perusahaan memiliki keterbatasan dalam menyediakan fasilitas tempat tinggal bagi pekerjanya, maka akhirnya banyak pekerja yang mencari tempat tinggal di desa-desa lingkar tambang. Kondisi tersebut mendorong sebagian warga masyarakat di desa lingkar tambang untuk membangun kos-kosan guna disewakan kepada para pendatang. 

Banyak pula warga masyarakat di desa lingkar tambang yang membuka usaha perdagangan dan jasa, seperti toko kelontong, warung makan, usaha laundry dll untuk memenuhi kebutuhan warga pendatang. Selain itu, ada pula warga masyarakat di desa lingkar tambang yang menjadi mitra perusahaan untuk memasok berbagai kebutuhan perusahaan, misalnya beras, daging ayam, sayur dan telur.

Usaha jasa persewaan tempat kos meski menjadi fenonema di semua desa lingkar tambang, tetapi paling banyak dilakukan oleh warga di desa-desa yang letaknya dekat dengan perusahaan pertambangan, seperti Fatufia, Keuria, Labota, Bahodopi, dan Bahomakmur. 

Sebagian besar warga di desa-desa tersebut memiliki usaha jasa sewa tempat kos, dan rata-rata seorang warga memiliki kamar kos sekitar 5 hingga 10 buah. Pada umumnya warga memperoleh modal untuk membangun bangunan kos dari menjual sebagian lahan yang dimiliki atau mengambil kredit dari lembaga perbangkan.

Usaha jasa persewaan tempat kos mulai muncul sejak tahun 2015 namun semakin marak dalam beberapa tahun terakhir, akibat semakin banyaknya warga pendatang yang bekerja di perusahaan pertambangan. Usaha tersebut juga tidak hanya dilakukan oleh warga lokal, yaitu warga yang sudah lama tinggal di wilayah Bahodopi tetapi juga oleh warga pendatang, khususnya warga pendatang dari Sulawesi Selatan. 

Pada umumnya mereka membeli lahan milik warga lokal dan membuat bangunan untuk tempat kos. Penghasilan dari usaha sewa tempat kos relatif tinggi karena rata-rata tarif kos di wilayah Bahodopi berkisar antara Rp.750.000 hingga Rp.1.500.000,-/bulan. Apabila seorang warga memiliki kamar kos sebanyak 10 buah maka dalam satu bulan ia dapat memperoleh penghasilan minimal sebesar Rp.7.500.000,-.

Usaha di bidang perdagangan yang banyak dilaksanakan oleh warga di desa-desa lingkar tambang adalah usaha warung makan, toko kelontong, toko pakaian, toko BBM, dll. Sedangkan usaha jasa yang banyak dikembangkan oleh warga di desa-desa lingkar tambang selain sewa tempat kos adalah usaha jasa laundry, salon, bengkel motor, tempat pencucian motor/mobil, dll. Usaha di bidang perdagangan dan jasa di wilayah Bahodopi semakin marak berkat keterlibatan warga pendatang dalam usaha tersebut. 

Banyak warga pendatang, khususnya pendatang dari wilayah Sulawesi Selatan yang juga ikut mengembangkan usaha di bidang perdagangan dan jasa. Akibat banyaknya warga pendatang yang mengembangkan usaha di bidang perdagangan dan jasa di wilayah Bahodopi, maka sejak beberapa tahun terakhir jumlah warga pendatang yang memiliki usaha di bidang perdagangan dan jasa jauh lebih banyak dibandingkan warga lokal.

Usaha sebagai suplier atau pemasok barang kebutuhan perusahaan pertambangan seperti beras, sayur dan daging ayam juga dilaksanakan oleh warga di desa-desa lingkar tambang sejak keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah Bahodopi. 

Namun karena kebutuhan permodalan untuk menjadi suplier logistik ke perusahaan pertambangan relatif besar maka yang bisa menjadi suplier logistik ke perusahaan pertambangan hanya warga yang tergolong kaya atau memiliki permodalan kuat, sedangkan warga biasa yang tidak memiliki modal tidak dapat menjadi suplier. 

Untuk menjadi suplier logistik ke perusahaan pertambangan dibutuhkan modal yang relatif besar karena pada umumnya sistem pembayaran yang diterapkan oleh perusahaan pertambangan adalah sistem konsinyasi. 

Suplier memasok barang dahulu ke perusahaan, dan pembayaran harga barang tersebut dilakukan oleh perusahaan setelah 15 hari sejak suplier melakukan pemasokan barang ke perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun