[caption id="attachment_348476" align="aligncenter" width="448" caption="Cafe dadakan di puncak Bukit Tursina menjajakan teh manis, pop mie dan aneka sandwich lainnya. (dokpri)"][/caption]
By. Masykur A Baddal - Nguliner emang gak ada matinya. Kira-kira begitulah ungkapan yang sering keluar dari mulut para pencinta kuliner tanah air. Nguliner masakan sedap dan lezat di berbagai pelosok nusantara sudah biasa. Tapi, pernahkan anda terpikir untuk mencoba nguliner di tempat-tempat ekstrem yang ada di dunia ini? Dijamin pasti rasanya pun akan sangat berbeda. Sebab adrenalin tubuh akan merasa tertantang dengan kondisi alam sedemikian rupa. Makanan boleh biasa-biasa saja, tapi sensasinya itu loh.
Enam tahun yang silam, tepatnya September 2009, adalah kali terakhir kami menaklukkan puncak gunung tertinggi yang ada di semenanjung Sinai Mesir. Yaitu puncak gunung Tursina, atau lebih terkenal dengan sebutan Bukit Tursina.
Gunung yang mempunyai ketinggian 2,285m dpl ini, mempunyai medan yang sangat terjal, curam serta bertebing batu karang tajam. Sehingga menjadi kendala utama bagi setiap wisatawan yang akan mendaki ke puncaknya. Di samping itu, anda juga harus memanfaatkan jasa guide lokal untuk mencapai puncak gunung, jika tidak ingin tersesat diantara batu-batu karang terjal yang bentuknya hampir mirip satu dengan yang lain.
[caption id="attachment_348477" align="aligncenter" width="392" caption="Tebing curam sepanjang pendakian ke puncak Bukit Tursina. (dokpri)"]
Pendakian biasanya dilakukan pada jam 00.00 dini hari, dengan harapan bisa mencapai puncak saat matahari akan terbit. Selain itu, untuk menghindari cuaca ekstrem selama melakukan pendakian ke puncak bukit, yang terkenal gersang, tanpa sebatang pohon pun di puncaknya. Bahkan terkadang diiringi dengan hembusan badai padang pasir nan kencang.
Lapar, dahaga dan lelah adalah tiga rasa yang paling dominan selama melakukan pendakian ke puncak Bukit Tursina. Maklum, membawa minuman kemasan dan makanan selama pendakian adalah beban yang berlebih. Sehingga dapat menyulitkan pendakian ke puncak bukit. Maka rombongan kami pun membatasi diri membawa beban tersebut.
[caption id="attachment_348478" align="aligncenter" width="300" caption="Di puncak Bukit Tursina ada Mesjid dan Gereja mungil. (dokpri)"]
Asyiknya, sebelum mencapai puncak kedua (tertinggi) bukit Tursina, ternyata ada beberapa cafe dadakan diatas sana, yang dijalankan oleh orang-orang dari suku Badui (suku asli Sinai). Makanan yang dijajakan pun sangat sederhana, seperti; aneka minuman hangat, sandwich keju dengan roti khas mesir, air mineral dan pop mie.
Walaupun harga yang dibanderol untuk segelas teh hangat cukup tinggi, yaitu Rp. 15.000 dan pop mie rasa bawang goreng seharga Rp. 25.000, lima kali lipat dari harga aslinya. Namun karena tidak ada pilihan lain, ya terpaksa juga harus membelinya. Kemudian setelah membayar, lalu mencari tempat yang lebih lega di pinggir tebing curam. Diterangi sinar bulan purnama serta tiupan angin dingin menusuk tulang, sembari menjaga posisi duduk supaya tidak tergelincir ke dalam jurang terjal, ternyata makanan sederhana tersebut, malah menjelma menjadi makanan terlezat yang pernah kami rasakan. Kondisi alam sekitar, ternyata telah merubah rasa dan perasaan kami saat menyantapnya. Dahaga, lapar dan lelah pun hilang seketika, diganti dengan semangat untuk melanjutkan perjalanan hingga ke puncak gunung.
[caption id="attachment_348479" align="aligncenter" width="336" caption="Ada 620 anak tangga harus dilangkahi untuk menuju ke puncak teratas Galunggung. (dokpri)"]