Mohon tunggu...
Candika Putra Purba
Candika Putra Purba Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Bahasa Indonesia

Senang membaca karya fiksi Senang mendengarkan musik Senang dengan dunia fotografi Berjuang untuk menjadi manusia yang berguna 24 Tahun Guru SMP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sulastri

21 Maret 2021   19:31 Diperbarui: 21 Maret 2021   19:36 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(sebuah cerpen dari can)

Wanita itu berdiri menyambut mentari. Memandang kosong ke ujung jalan berharap sebuah kendaraan mengangkut tubuhnya. Pakaian rapi dengan atasan dan bawahan putih terlihat pas di tubuhnya. Namun, walaupun gincu merah menghiasi bibirnya, dan beberapa bahan lain memperindah mata dan menghilangkan kerutan di sana, hati tak mau berbohong dan mata tak mau berdusta.

Namanya Sulastri, perawat muda yang baru pindah dari Sibolga, menetap erat di salah satu rumah di dekat rumah kami di Pematang Raya. Memang tidak terlalu dekat, namun setiap hari ia akan lewat dari rumahku sambil berseragam putih dan tas hitam menggantung di bahunya. Setiap hari sebelum hari ini, aku selalu menikmati senyum Sulastri yang terbit seperti mentari. Indah, hangat dan menyenangkan.

Namun, pagi ini, matahari itu sirna. Mungkin di bawa bulan hingga ke angkasa dan tak mengembalikannya. Wajah Sulastri sedikit mengganggu pikiranku. Menanyakan entah apa yang ada di dalam otaknya. Apakah tentang uang, jodoh, atau keluarga. Aku tak mendapatkan jawaban yang tepat hingga satu hal kupikirkan. Sebelum pagi ini, tepat jam 9.30 tadi malam, beberapa warga berteriak memarahi Sulastri. Aku yang sedang memasak mi goreng tak terlalu peduli keadaan seperti itu, sebab lazim rasanya jika warga batak berkata-kata dengan keras.

Hingga sore, senyum Sulastri tak kunjung terbit. Setelah kakinya turun dari bus, derita dan suram menghiasi wajahnya. Hanya membawa tas hitam, Sulastri berjalan cepat sambil menundukkan kepala layak buronan kelas kakap. Matanya masih redup seperti embun hitam di sore ini.

"Woi, Sulastri, jangan dekat-dekat kau sama kami," beberapa ibu yang sedang bergosip di dekat rumah Sulastri, meneriakkan kata-kata menyakitkan pada Sulastri. Ia diam, menunduk, dan terus bergerak menuju pintu rumahnya.

Dengan pelan, sang Bagaskara melambaikan tangan pada umat manusia. Jam tujuh sudah datang dan bulan akan menemaninya, jika ia tidak lupa. Kunikmati malam ini dengan secangkir teh manis dan roti A.T.B, kiriman cucuku minggu lalu. 

Dengan diam, aku menyimak perbincangan sengit yang terjadi di samping rumah. Berlagak tidak mendengar, namun kuberjuang mencatat info demi info yang terucap dari bibir mereka. Mak Japri, selalu punya info terbaru tentang apa pun. Mulai dari harga cabai, baju rombengan, kalangan artis, hingga perkara suami istri di kampung sebelah pun terdengar jelas di telinganya. Perangainya yang lucu sering menghibur warga, namun kata-kata kasarnya menyiksa warga.

"Kelen tahu weh, si Sulastri itu kerja di rumah sakit kan," Mak Japri memulai dengan pembukaan yang menggiurkan sambil melambaikan tangannya menunjuk ke arah pintu rumah Sulastri.

"Iya tahu kami, emangnya kenapa Jap?" Mak Surni bertanya penasaran.

"Kelen nggak takut? Kan dia kerja ngurusin orang-orang yang kenak Corona." Mak Japri masuk dalam topik bahasan. Beberapa ibu yang ikut berkumpul mempertimbangkan perkataan Mak Japri, sebab memang benar Sulastri bekerja di rumah sakit, namun tidak berarti ia berbahaya di area rumah kami. Pergosipan selesai jam tengah 11, setelah pergosipan tentang Sulastri berujung. Ibu-ibu yang lain menyetujui perkataan Mak Japri untuk tidak terlalu sering bergaul dengan Sulastri. Mereka juga menyebarkan hasil perundingan mereka malam ini pada anak dan keluarga mereka yang lain.

Aku yang duduk tak jauh dari mereka ikut mempertimbangkan juga. Sulastri, perawat baru yang baru pindah ke area rumah kami, tentu memiliki potensi besar untuk menyebarkan virus. Namun, di sisi lain, hatiku berkata bahwa tentu Sulastri menggunakan peralatan yang aman. Malam berlanjut, ku ambil gitar, kupetik satu-satu senarnya mendendangkan beberapa lagu rohani sambil melihat beberapa bintang ikut bergoyang mengikuti irama. Mencoba menyeimbangkan pikiranku.

Pagi ini aku melihat Sulastri lagi, senyumnya tak kuncung muncul pula. Tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati. Matanya semakin kosong. Tak ada pengharapan di sana. Tidak ada kebahagiaan apalagi secercah kedamaian. Berdiri di tepi jalan seperti kemarin sambil menatap kosong ujung jalan menantikan bus Sepadan membawanya pergi ke rumah sakit.

Hingga sore hari, ketika aku menyiram beberapa tanaman di depan rumah, Sulastri lewat dengan muram. Seperti kemarin, ia juga masih menundukkan kepalanya ketika lewat dari perkumpulan ibu-ibu yang segera menjauh setelah tahu Sulastri pulang. Aku yakin, Sulastri menyadari sikap itu. Aku juga berpikir jika Sulastri juga mendengar perbincangan tentang dirinya tadi malam. Tetapi dia masih diam. Tak mau berkata-kata. Mungkin ia merasa baru di sana dan tak berani mengeluarkan kata-kata.

Jarum jam berpindah tempat, malam sudah menyapa dan beberapa lampu teras warga hidup menyambut gelap yang akan menyelimuti bumi. Aku duduk di teras rumah, menghadap rumah Sulastri dan hendak melanjutkan pertimbanganku kemarin malam. Samar-samar aku mencium bau bawang goreng dan cabai serta minyak yang menggoda. Sulastri sedang menyambal telur yang kuberikan beberapa hari lalu. Aku menelan ludah, mengingat makanan kesukaanku sedang tercium dengan nikmat.

"Plakkkk," terdengar seseorang jatuh di atas lantai berbahan keramik. Aku terkejut, lalu hening mencoba menerka apa yang terjadi. Suasana jadi hening. Kompor gas milik Sulastri sudah mati.

"Tolonggg,,,tolongg..." seseorang berteriak dari rumahnya. Aku terkejut, namun tak bisa berbuat apa-apa. Teriakan Sulastri semakin keras, terlihat dia sangat menderita. Namun, aku tetap diam, dan beberapa warga tak kunjung mendengar suara itu sebab suara gorengan minyak lebih keras dari Suara Sulastri. Aku berlari menuju rumah Mak Japri.

"Mak Jap, tolong dulu si Sulastri itu. Nggak kau dengar suaranya minta tolong?" Aku yang sedikit terengah-engah menyampaikan berita itu pada Mak Japri.

"Apa, pung? Nggak dengar aku. Kalaupun dia minta tolong. Nggak mau aku pung, takut aku kenak Corona," Mak Japri melanjutkan masakannya, dia tidak peduli sedikit pun. Bahkan melihat nafasku terpatah-patah saja tak menimbulkan iba di hatinya. Aku terus berpikir. Apa yang dikatakan Mak Japri juga benar adanya. Tubuhku yang renta dan sudah tua akan semakin mudah tertular virus itu. Tapi nyawa Sulastri sudah terancam sekarang.

"Tolong... tolong....." Suara Sulastri masih terdengar di telingaku. Posisiku masih diam di depan rumah Mak Japri. Beberapa isak tangis dari mulutnya ikut terucap dengan kata meminta pertolongan. Aku gemetaran namun tak bisa menyelamatkannya sendiri, tubuhku yang tua ini saja sudah berat untuk diangkat, apalagi mengangkat tubuh Sulastri, sungguh aku tak akan pernah bisa.

Aku berlari ke rumah Pak Lukman, seorang guru SD. Namun tak kutemui pula, anaknya bilang Lukman sedang di kede dan akan lama ia di sana. Aku kehilangan harapan lagi. Semua menjadi membingungkan. Aku ingin membantu Sulastri, aku tak tahan mendengarnya menderita. Tapi, aku sudah tua dan tak mau mati dengan virus korona. Tenaga yang sisa kupaksakan  berlari ke rumah Pak Simon, Pendeta di kampung kami. Berlari terburu-buru dan langsung memberitahunya perihal Sulastri. Untungnya, dia dan istrinya dengan sigap berlari ke rumah Sulastri, dengan cepat, aku juga mengikut di belakang mereka.

Pak Simon terus mendobrak pintu rumah Sulastri. Beberapa warga sudah bergabung juga melihat Pendeta menurunkan tangannya. Suara meminta tolong dan tangisan Sulastri tak terdengar lagi. Tak bisa kubayangkan jika wanita itu meninggal di sana. Sekali dua kali, akhirnya pintu terbuka. Pak Simon mencari Sulastri. 

Namun, waktu tak mungkin terulang. Sulastri jatuh di lantai kamar mandi miliknya, kepalanya yang tepat di bawah pintu, terhias indah dengan darah merah di sana. Pak Simon mengecek nadinya, lalu perlahan menggelengkan kepala pada warga pertanda Sulastri telah tiada. 

Aku gemetar, tak percaya akan kebodohanku sendiri. Penyesalan merambat di setiap nadi, isak dan tangis Sulastri yang tadi kudengar samar-samar datang lagi. Mak Japri dan warga lainnya bersikap biasa saja, namun kurasa mereka merasakan penyesalan yang sama denganku, bedanya, aku sangat menderita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun